Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Sisi Lain Hutan Hitam
Heather, Gale, dan Alvaro terus bergerak melintasi hutan, meskipun suasana semakin menyesakkan. Langkah mereka dipercepat oleh rasa takut yang terus membayangi—tapi juga oleh keyakinan bahwa mereka bisa keluar hidup-hidup, terutama dengan kemampuan Alvaro yang belum sepenuhnya ditunjukkan.
Tiba-tiba, tanah di depan mereka terbelah, dan akar-akar besar muncul dari dalam, melingkar seperti ular raksasa. Dari retakan itu, muncul tiga monster lain, kali ini lebih besar dan berbentuk seperti manusia kayu berukuran dua kali lipat dari Gale. Tubuh mereka bersinar samar, menandakan bahwa mereka dilindungi oleh energi magis hutan.
Heather mengeluarkan pedangnya lagi, bersiap menyerang, tetapi Alvaro menghentikannya.
“Jangan dulu,” katanya tegas. “Biarkan aku yang menghadapinya kali ini.”
Heather menatapnya skeptis. “Kau yakin? Mereka kebal terhadap serangan biasa.”
“Aku tidak bilang akan menyerang dengan cara biasa.” Alvaro menggenggam daggernya erat, matanya berkilat penuh determinasi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba merasakan energi di sekelilingnya. Tangan kirinya mulai bergerak, menciptakan pola-pola yang seolah-olah membentuk nyala api dari udara.
Dalam hitungan detik, daggernya diselimuti api yang membara, panasnya terasa bahkan hingga ke tempat Gale berdiri. Api itu bukan sembarang api, warnanya oranye dengan semburat biru di ujungnya, menandakan kekuatan elemen yang kuat dan murni.
“Cukup pamerannya,” kata Heather, sedikit terkesan tapi berusaha menyembunyikannya. “Kalau kau punya rencana, lakukan sekarang.”
Monster kayu itu melangkah maju dengan gerakan lamban, tetapi setiap langkahnya mengguncang tanah. Salah satu dari mereka mengayunkan lengannya yang besar ke arah Alvaro, tapi ia menghindar dengan mudah. Dalam satu gerakan cepat, ia menebaskan dagger apinya ke lengan makhluk itu. Api langsung menyebar, membakar lengan tersebut hingga jatuh ke tanah dengan suara berderak.
Makhluk itu mengeluarkan raungan yang aneh, seperti suara kayu yang retak, sebelum menyerang lagi. Namun, Alvaro sudah siap. Ia melompat tinggi ke atas, memutar tubuhnya di udara, dan menebaskan daggernya langsung ke kepala makhluk tersebut. Api membara langsung melahap tubuhnya, membuatnya runtuh menjadi abu.
“Hebat sekali!” Gale berteriak kagum. “Kenapa kau tidak pakai itu dari awal?”
“Bukan kemampuan yang bisa kugunakan sembarangan,” jawab Alvaro sambil mengatur napas. “Butuh konsentrasi tinggi, dan kalau terlalu sering, aku bisa kehabisan energi.”
Dua monster lainnya tampak ragu untuk mendekat, tetapi akhirnya mereka maju bersama, berusaha mengapit Alvaro dari kedua sisi. Heather memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang satu dari mereka dari belakang, pedangnya menebas akar-akar yang melindungi tubuh makhluk itu.
Sementara itu, Alvaro menghadapi monster yang tersisa. Kali ini, ia mengubah pendekatannya. Ia menusukkan dagger apinya ke tanah, menciptakan gelombang api yang merambat dengan cepat, melingkari makhluk itu. Api itu naik ke tubuh monster tersebut, membakar seluruhnya dalam waktu singkat.
Heather berhasil menghabisi makhluk terakhir dengan bantuan anjing-anjingnya, yang mencabik-cabik sisa-sisa tubuh kayunya.
Saat semuanya berakhir, Gale bersandar pada pohon, terengah-engah. “Tolong, jangan bilang ada lagi.”
Heather memandang Alvaro dengan tatapan baru—bukan hanya rasa hormat, tapi juga kekhawatiran. “Kau benar-benar harus belajar mengendalikan itu lebih baik. Kekuatan seperti itu bisa membahayakanmu kalau kau terlalu memaksakannya.”
“Aku tahu risikonya,” jawab Alvaro, menyarungkan daggernya yang kini mulai mendingin. “Tapi kalau kita ingin keluar dari hutan ini, aku harus menggunakan apa yang kupunya.”
Heather mengangguk pelan. “Kau benar. Tapi jangan pernah lupa, Al, kekuatan besar selalu mengundang perhatian. Dan hutan ini sedang memperhatikan kita.”
Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan hati-hati yang lebih besar. Tapi satu hal kini jelas—Alvaro tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri, menyerah pada kegelapan hutan.
***
Setelah melangkah melewati sisa-sisa abu para monster kayu, ketiganya sampai di bagian hutan yang berbeda—sebuah area yang terasa seolah berada di dimensi lain. Cahaya redup berpendar dari lumut-lumut bercahaya yang menyelimuti batang pohon, memberikan nuansa magis seperti ribuan bintang yang menggantung di kegelapan malam. Daun-daun besar menggantung seperti tirai, menyaring sinar biru lembut yang entah berasal dari mana.
Heather menahan langkahnya, pandangannya terpaku pada danau kecil di tengah area itu. Permukaannya memantulkan cahaya seperti kaca, memantulkan warna-warna hijau, ungu, dan emas yang muncul dari akar-akar bercahaya di bawah air. Di tepian danau, bunga-bunga dengan kelopak transparan berkilau seperti kristal bermekaran, seolah bernyanyi dalam harmoni yang hanya bisa dirasakan, bukan didengar.
“Luar biasa,” Gale berbisik, nyaris tak berani mengeluarkan suara lebih keras, takut mengganggu keheningan yang hampir sakral. Ia melangkah maju, matanya tak berkedip, terpikat oleh panorama yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di atas mereka, kanopi pohon menjulang seperti katedral alami, dihiasi anggur-anggur bercahaya yang menjuntai dengan kilauan seperti kunang-kunang abadi. Udara di sekitarnya beraroma segar, campuran manis dari dedaunan basah dan bunga liar. Heather memejamkan mata sesaat, menikmati kesejukan yang membelai wajahnya.
“Aku tidak pernah menyangka hutan ini punya sisi seperti ini,” gumam Alvaro, matanya tetap waspada meski ia tak bisa menahan decak kagum.
Sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar, seperti alunan nyanyian dari kejauhan. Itu berasal dari burung-burung berwarna perak yang hinggap di cabang pohon. Ketika mereka mengepakkan sayap, debu bercahaya jatuh perlahan, menyatu dengan tanah yang sudah berkilau.
Heather mengarahkan tangan untuk menenangkan anjing-anjingnya yang gelisah. “Keindahan ini adalah jebakan juga,” katanya, suara rendah tapi tegas. “Hutan ini selalu memiliki sisi gelap, dan tempat seperti ini bisa jadi cara untuk membuat kita lengah.”
“Bahkan keindahan ini bisa jadi ancaman?” Gale bertanya dengan nada setengah bercanda, tapi matanya menyiratkan ketakutan.
Alvaro menjawab dengan tatapan serius. “Segala sesuatu di tempat ini memiliki tujuan. Kalau kita ingin selamat, kita tidak boleh lupa itu.”
Namun, meski hati mereka tetap waspada, mereka tak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa takjub yang memenuhi dada. Hutan Hitam, dengan segala misteri dan bahayanya, juga memiliki keindahan yang sulit dilupakan. Meskipun dunia luar penuh dengan teknologi dan struktur modern, tidak ada yang mampu menandingi keajaiban organik dari tempat ini—keajaiban yang tak hanya bisa dilihat, tapi juga dirasakan hingga ke jiwa.
Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan keindahan itu di belakang mereka, membawa serta perasaan bahwa Hutan Hitam adalah entitas yang hidup—mengamati mereka setiap saat.