seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 24
Sementara itu, Devano tidak tinggal diam. Ia kembali ke apartemennya, langsung menghubungi pengacaranya untuk membahas langkah-langkah hukum. Ia tidak hanya berniat mempertahankan pernikahan, tetapi juga ingin memastikan Ayana tidak memiliki peluang untuk pergi begitu saja.
Devano duduk di sofa apartemennya, memandangi layar ponsel dengan tatapan penuh tekad. Pikiran tentang Ayana yang benar-benar pergi dari hidupnya menghantui setiap detik. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, tetapi kemarahan dan rasa takut terus membara di dalam dadanya.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menekan tombol panggil, menghubungi pengacaranya, seorang profesional andal yang selama ini menjadi kepercayaannya dalam urusan bisnis. Namun kali ini, Devano meminta bantuan bukan untuk bisnis, melainkan untuk masalah yang jauh lebih personal.
“Pak Devano, ada yang bisa saya bantu?” suara di ujung telepon terdengar ramah namun tegas.
“Ada. Saya ingin memastikan satu hal,” Devano memulai, nadanya dingin dan penuh kendali. “Istri saya, Ayana, ingin menggugat cerai. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Pengacaranya terdiam sejenak sebelum menjawab, “Baik, Pak. Kita bisa mempelajari dasar hukum untuk mempertahankan pernikahan. Namun, secara hukum, jika ada persetujuan kedua belah pihak, perceraian bisa berjalan lebih mudah. Anda yakin ingin menentang ini?”
“Ya,” jawab Devano tegas. “Saya ingin setiap celah yang bisa dia gunakan untuk lepas dariku tertutup rapat. Kalau perlu, cari alasan hukum yang kuat untuk menunda prosesnya.”
Pengacaranya menarik napas, merasa ini bukan masalah sederhana. “Pak, Anda harus tahu, jika salah satu pihak terlalu memaksakan kehendak, ini bisa menjadi bumerang. Perceraian bukan hanya soal hukum, tapi juga emosi. Anda harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”
“Aku tahu,” Devano menjawab, suaranya terdengar lebih berat. “Tapi aku juga tahu Ayana masih ragu. Dia tidak benar-benar yakin dengan apa yang dia lakukan. Kalau aku berhasil menunda proses ini, mungkin aku bisa mengubah pikirannya.”
Devano mulai menyusun rencana. Ia ingin menggunakan waktu penundaan itu untuk menunjukkan bahwa ia bisa berubah, bahwa ia masih bisa menjadi suami yang diharapkan Ayana. Namun, di balik itu, ada sisi lain dari Devano yang lebih gelap. Ia ingin memastikan Ayana tidak kembali kepada Biantara. Pikiran itu membuatnya semakin terobsesi untuk mempertahankan pernikahan ini, bukan hanya karena cinta, tetapi juga karena rasa memiliki yang tidak ingin ia lepaskan.
Ia mulai menginstruksikan pengacaranya untuk mempersiapkan segala dokumen hukum, termasuk peninjauan aset bersama, perjanjian pranikah, dan hak-hak Ayana yang bisa ia gunakan sebagai alat negosiasi.
“Aku akan datang ke Jakarta besok untuk membahas ini lebih detail,” katanya sebelum menutup telepon. “Aku ingin semua ini selesai sebelum dia benar-benar merasa menang.”
Setelah panggilan itu selesai, Devano menatap kosong ke jendela apartemennya. Di luar, lampu-lampu kota berkilauan, tetapi ia merasa hidupnya sedang redup. Ia mencintai Ayana, tetapi caranya mencintai kini berubah menjadi obsesi yang membuatnya gelap mata.
Di hatinya, ia merasa Ayana sedang menjauh, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi,” bisiknya pada dirinya sendiri, seolah berjanji pada hatinya yang terluka.
Malam itu, Devano mulai menyusun strategi untuk menjaga Ayana tetap di sisinya, meskipun ia tahu perjuangan ini akan semakin rumit dan mungkin membawa lebih banyak luka di kedua belah pihak.
___
Di sebuah sore yang mendung, Devano melangkah masuk ke rumah ibunda Ayana dengan perasaan bercampur aduk. Ia merasa ini adalah langkah terakhir yang bisa diambil untuk menyelamatkan pernikahannya. Ia ingin menunjukkan kepada ibunda Ayana bahwa dirinya tidak menyerah begitu saja dan bahwa ia masih mencintai Ayana, meski situasi semakin rumit.
Setelah obrolan ringan awal, Devano mulai menyampaikan niatnya.
"Ibu, saya mohon bantuannya. Saya ingin Ayana kembali. Saya yakin ini hanya fase sulit. Dia sedang bingung dengan perasaannya," kata Devano dengan nada memohon.
Senyum ibunda Ayana perlahan mengembang, meski lebih bernuansa manipulatif daripada tulus.
"Devano, ibu setuju denganmu. Ayana terlalu terbawa emosi. Dia hanya perlu diingatkan apa yang benar untuk hidupnya," balasnya tegas.
Mereka mulai berdiskusi tentang strategi, dengan ibunda Ayana menyarankan langkah-langkah yang lebih manipulatif.
"Kita harus membuatnya merasa bahwa apa yang dia lakukan salah. Kalau perlu, kita libatkan keluarga besar. Ayana perlu diingatkan bahwa keluarga ini punya aturan, dan dia tidak bisa bertindak sesuka hatinya," ujar sang ibu dengan nada penuh otoritas.
Devano ragu sejenak, tetapi ia merasa tidak punya pilihan.
"Kalau itu yang ibu pikirkan terbaik... saya akan ikut," katanya, meski hatinya merasa berat.
Sementara itu, Ayana Merasakan Tekanan dari Jauh
Di rumah Raka, Ayana sedang mencoba menikmati sore dengan membaca buku. Namun, rasa gelisah yang tidak bisa ia jelaskan terus menghantuinya. Telepon ibunya yang selalu penuh tuntutan, surat dari pengacara Devano, dan rasa bersalah yang terus menghantui membuat pikirannya tak pernah tenang.
Saat itu, Raka masuk ke ruang tamu dan melihat wajah adiknya yang tampak kusut.
"Ayana, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut.
Ayana menutup bukunya dan menghela napas panjang.
"Rasanya seperti semua orang ingin aku kembali ke tempat yang justru membuatku hancur, Kak. Mereka tidak peduli bagaimana perasaanku," jawabnya dengan suara bergetar.
Raka duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya dengan lembut.
"Kamu sudah melangkah jauh, Ayana. Jangan biarkan mereka dan rasa cemasmu menyeretmu kembali. Kamu punya hak untuk bahagia," ujar Raka tegas.
Namun, Ayana tahu bahwa kata-kata Raka tidak cukup untuk menghentikan tekanan yang terus membebaninya. Ia merasa seperti dikepung dari segala sisi, dan itu membuat pikirannya semakin kacau.
Malam itu, Ayana kesulitan tidur. Kepalanya penuh dengan suara-suara tuntutan ibunya, janji Devano, dan kenangan bersama Biantara. Ia mulai merasa bahwa tidak ada jalan keluar dari semua ini.
Adegan ini menunjukkan bahwa meski Devano dan ibunda Ayana berpikir mereka sedang "membantu," kenyataannya mereka justru mendorong Ayana ke jurang depresi yang lebih dalam. Ayana merasa semakin sulit untuk menemukan kekuatannya kembali.
Di tempat lain, Devano dan ibunda Ayana merasa puas dengan rencana mereka.
"Percayalah, Devano, Ayana akan sadar bahwa tidak ada yang lebih baik untuknya selain kamu," ujar sang ibu dengan percaya diri.
Namun, mereka tidak sadar bahwa tindakan mereka justru memperburuk kondisi mental Ayana. Dalam kesunyian malam, Ayana menangis dalam diam, memikirkan betapa sulitnya berjuang untuk dirinya sendiri ketika orang-orang yang seharusnya mendukungnya malah menjadi beban terberatnya.
kejadian ini menjadi titik yang menggambarkan bagaimana konflik ini bukan hanya eksternal, tetapi juga internal, mempermainkan mental Ayana hingga Ayana merasa dirinya hampir dibuat menyerah oleh keadaan dan perasaannya yang berkecamuk.