Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Takut Kehilangan
“Iya, Nek,” jawab Airin, senyum di wajahnya perlahan memudar. “Jam tangan itu pasti sangat berharga bagi Kak Ivan, tapi dia rela menjualnya demi berobat dan menafkahi aku.”
Nenek Asih menggeleng perlahan, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. “Suamimu itu memang luar biasa,” gumamnya akhirnya, nada suaranya campuran antara kekaguman dan keharuan.
Airin hanya bisa mengangguk, merasa semakin terharu dengan kebaikan hati Kaivan. “Aku akan memanfaatkan uang ini sebaik mungkin, Nek. Demi masa depan kita semua,” katanya dengan tekad yang kuat.
Nenek Asih terdiam sejenak setelah mendengar penjelasan Airin. Matanya menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang mendalam. Akhirnya, ia berkata dengan nada perlahan, “Jam tangan yang dipakai Ivan saja bisa dihargai segitu? Nek merasa Ivan bukan orang sembarangan, Rin.”
Airin mengernyitkan alisnya, merasa sedikit bingung. “Maksud Nenek?” tanyanya hati-hati.
“Lihat saja sikapnya, Rin,” Nenek Asih melanjutkan, kini dengan suara yang lebih serius. “Dia tenang, berwibawa, gerak-geriknya seperti seseorang yang terlatih. Tubuhnya tegap, langkahnya tegas meskipun dia tidak bisa melihat. Kulitnya juga putih bersih, seperti orang yang hidup berkecukupan, bukan orang biasa.”
Airin terdiam, memikirkan ucapan neneknya. Ia harus mengakui bahwa Kaivan memang berbeda dari pria kebanyakan. Ada sesuatu dalam sikapnya yang penuh ketenangan namun tegas, membuat orang sulit mengabaikannya.
Airin menatap neneknya sambil mengangguk pelan. "Nenek benar. Terlebih, meski Kak Ivan tak bisa melihat, kemarin dia dengan tenang melumpuhkan anak buah Juragan Wongso sendirian. Semua itu dilakukan seolah tanpa usaha berlebihan, hanya dengan insting yang tajam dan gerakan yang begitu terukur," gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Nenek Asih yang mendengarnya langsung terbelalak. "Apa? Dia bisa mengalahkan anak buah Wongso sendirian?" suaranya mengandung campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.
Airin kembali mengangguk dan akhirnya menceritakan kejadian di gerbang desa kemarin. Ia menjelaskan bagaimana Juragan Wongso menghadang mereka, memaksa Kaivan menceraikannya, dan mengancam tukang ojek yang membantu mereka.
Nenek Asih mendengarkan dengan saksama, tetapi raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Jadi... Ivan melawan anak buah Wongso sendirian? Dan dia melakukannya dengan mata tertutup?" tanyanya, masih sulit mencerna apa yang baru saja diceritakan Airin.
Airin mengangguk. "Iya, Nek. Aku sendiri masih tidak percaya kalau aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kak Ivan benar-benar melumpuhkan mereka dengan mudah, seolah semua itu hanyalah hal kecil baginya. Gerakannya cepat, pasti, dan... berbeda dari yang lain."
Nenek Asih menghela napas panjang, wajahnya kini campuran antara kagum dan bingung. "Kalau begitu... dia memang bukan pria biasa. Ada sesuatu tentang Ivan yang... sulit dijelaskan," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Airin menunduk, memikirkan kata-kata neneknya. Ia tahu bahwa Kaivan adalah pria yang penuh misteri, tetapi kejadian kemarin semakin menguatkan perasaan bahwa suaminya memiliki sisi yang belum sepenuhnya ia pahami.
Nenek Asih menghela napas panjang, berusaha mencerna semua itu. "Ivan... dia benar-benar bukan orang biasa," ujarnya dengan nada penuh arti. Wajahnya memancarkan kekaguman sekaligus rasa penasaran yang mendalam.
Airin diam, hanya memandang neneknya. Ia pun tak bisa menyangkal, semakin lama ia mengenal Kaivan, semakin ia merasa bahwa pria itu menyimpan banyak misteri di balik sikapnya yang tenang.
“Kalau dia memang orang kaya, kenapa hidup seperti ini bersama kita? Bahkan sampai menjual jam tangannya untuk kita, Nek?” gumam Airin, lebih kepada dirinya sendiri daripada bertanya pada neneknya.
Nenek Asih menggeleng perlahan. “Itulah yang membuat Nenek bingung, Rin. Orang seperti dia tidak mungkin hidup seadanya tanpa alasan. Mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan,” katanya akhirnya.
Airin hanya terdiam, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Siapa sebenarnya Kaivan? Apa yang ia sembunyikan? Tapi di balik semua itu, ia merasa bersyukur karena pria itu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka.
Namun, tiba-tiba, pikiran itu muncul di benak Airin, seperti angin yang tak terduga datangnya. "Jika Kak Ivan sebenarnya orang kaya, apa mungkin suatu saat dia akan meninggalkanku? Aku ini hanya orang kampung, berpendidikan rendah, apa aku cukup untuknya?"
Hati Airin mencelos, dan rasa takut perlahan menyusup, menguasai pikirannya. Bayangan kehilangan pria itu mulai menghantuinya, membuat dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibirnya, mencoba menepis kecemasan yang mendadak melanda.
Namun, semakin ia mencoba untuk tidak memikirkan hal itu, semakin rasa gelisah itu menguat. Sejak hari pernikahan mereka, Kaivan memang selalu tampak tenang dan tak banyak bicara. Kehadirannya yang penuh misteri kini memicu pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Airin mengingat pria itu selalu terlihat datar, namun ada ketegasan dan kekuatan yang memancar darinya. Airin menghela napas panjang, berusaha mengenyahkan keraguan dari hatinya, tetapi tak dapat mengusir rasa takut akan kemungkinan kehilangan suaminya di masa depan.
***
Airin melangkah ringan memasuki kamarnya setelah selesai menyiapkan sarapan. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Kaivan yang sudah duduk di tepi ranjang. Postur tubuh pria itu tegap, meski matanya yang kosong hanya menatap lurus ke depan.
Pembicaraannya dengan Nenek Asih tadi pagi kembali terngiang, mengusik hatinya. Pertanyaan tentang siapa sebenarnya Kaivan dan ketakutan akan kemungkinan kehilangan pria itu membuat dadanya terasa sedikit sesak.
Namun, Airin berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap seperti biasa. Ia berjanji dalam hati untuk memperlakukan Kaivan dengan lebih baik lagi, meskipun bayangan bahwa pria itu mungkin suatu hari akan meninggalkannya terus menghantui pikirannya.
Airin bertekad menjadi istri yang baik, namun di saat yang sama, ia juga berusaha menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia harus ikhlas jika takdir akhirnya memisahkan mereka. Ia tak menyadari bahwa hatinya semakin terikat pada Kaivan.
Namun, benarkah ia akan mampu benar-benar ikhlas dan melupakan pria itu jika suatu saat Kaivan meninggalkannya?
“Kak Ivan,” panggil Airin lembut sambil mendekat. Kaivan menoleh sedikit ke arah sumber suara, menunjukkan bahwa ia mendengarkan.
Airin menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca apa yang ada di balik ekspresi tenangnya. “Lukamu sudah mulai kering,” katanya pelan, mengingat luka-luka yang didapat Kaivan setelah terseret arus sungai beberapa waktu lalu. “Tapi, sebaiknya Kakak mandi agar lebih segar. Aku akan membantumu mandi.”
Kaivan terdiam sejenak sebelum akhirnya menoleh lebih jelas ke arah Airin. “Aku bisa melakukannya sendiri,” jawabnya dengan nada datar namun tegas.
Airin tersenyum kecil, berusaha meyakinkannya. “Kak, lukamu masih belum sepenuhnya sembuh. Kalau Kakak mandi sendiri dan salah gerakan, bisa jadi malah memperparah luka-lukanya. Biar aku saja yang membantu.”
Kaivan menarik napas panjang, seolah mempertimbangkan. “Kau yakin? Bukankah ini akan merepotkanmu?” tanyanya pelan.
Airin menggeleng meskipun Kaivan tak bisa melihat. “Tidak, aku tidak merasa direpotkan. Aku hanya ingin Kakak cepat sembuh,” ucapnya dengan tulus.
Mendengar ketulusan di suara Airin, Kaivan akhirnya mengangguk kecil. “Baiklah, kalau itu maumu. Tapi aku tidak ingin terlalu merepotkanmu.”
Airin tersenyum lega. “Tidak apa-apa. Sekarang, mari kita ke kamar mandi.” Ia membantu Kaivan bangkit dari ranjang dengan hati-hati, memastikan langkahnya aman saat berjalan menuju kamar mandi. Di dalam hatinya, Airin merasa semakin terhubung dengan Kaivan, meskipun pria itu masih menyimpan banyak misteri yang belum ia pahami.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso