Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab. 8
Malam semakin larut di peternakan, dan suasana hening hanya diiringi suara jangkrik di kejauhan. Setelah percakapan mendalam dengan Dylan, Rose duduk di kamar tamu yang biasa ia tempati setiap kali mengunjungi kakeknya. Di luar, bulan bersinar terang, seolah mengingatkan dirinya akan sebuah bayangan di masa lalu.
Di tangannya, ia memegang sebuah gelang kecil dari anyaman tali sederhana. Itu adalah hadiah dari seseorang yang pernah berarti dalam hidupnya—Junho, teman masa kecilnya di Korea Selatan yang kini tinggal jauh di negeri lain. Junho adalah orang pertama yang membuatnya merasa istimewa, meski mereka tak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan masing-masing.
Rose menghela napas panjang, memandang gelang itu dengan senyum pahit. "Junho… apa kau masih memikirkan aku seperti aku memikirkanmu?" gumamnya pelan.
Keesokan paginya, Dylan sedang membantu Mr. Harold memberi makan kuda-kuda di kandang. Meskipun terlihat santai, pikirannya terus saja memutar ulang percakapan tadi malam. Perasaan canggung mulai tumbuh, terutama karena ia tak tahu bagaimana Rose merespons sepenuhnya.
Saat itu, Rose muncul dari arah rumah, mengenakan sweater hangat dan syal, wajahnya terlihat lebih cerah meski ada sedikit kebingungan di matanya. "Selamat pagi," sapanya, mencoba terlihat normal.
“Selamat pagi,” balas Dylan sambil tersenyum kecil. Namun, ia tahu ada sesuatu yang dipendam oleh Rose.
Mr. Harold, yang tak pernah melewatkan peluang, menyela dengan nada riang. “Ah, pagi yang cerah, bukan? Chaeng, apa kau ingin berkuda bersama Dylan? Itu cara terbaik untuk menikmati peternakan ini.” kata Mr. Harold.
Rose tersenyum tipis. “Aku rasa aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Mr. Harold mengangguk, memahami. "Baiklah, kalau begitu. Dylan, mungkin kau bisa temani dia berjalan-jalan? Aku yakin dia butuh seseorang untuk berbicara."
Rose menatap kakeknya, ingin protes, tapi tahu percuma. Mr. Harold selalu punya cara untuk membuat situasi tampak alami. Akhirnya, ia setuju, dan mereka berjalan menyusuri jalan setapak kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua.
Hening di antara mereka terasa berat, sampai akhirnya Dylan memutuskan untuk memulai percakapan. "Rose, aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan dengan apa yang aku katakan semalam. Jika itu membuatmu tidak nyaman, aku minta maaf."
Rose menggeleng pelan, menatap jalan setapak di depannya. "Bukan begitu, Pak Dylan. Aku hanya… tidak yakin dengan perasaanku sendiri."
Dylan mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Rose berhenti berjalan, memandang lembah di kejauhan. "Ada seseorang dalam hidupku. Seseorang yang pernah sangat berarti. Tapi hubungan itu tidak pernah benar-benar selesai. Aku tidak tahu apakah aku masih mencintainya, atau hanya terjebak dalam kenangan."
Dylan terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rose. Meski hatinya sedikit sakit mendengar itu, ia tetap ingin mendukung Rose. "Jika dia masih penting bagimu, mungkin kau perlu mencari jawaban. Kadang, kita tidak bisa melangkah maju sebelum menyelesaikan apa yang ada di masa lalu."
Rose menoleh padanya, terkejut dengan sikap pengertian Dylan. "Kau tidak marah?"
Dylan tersenyum kecil, meski sedikit pahit. "Bagaimana aku bisa marah? Perasaan tidak bisa dipaksakan, Rose. Aku hanya ingin kau bahagia, apa pun keputusanmu."
Kata-kata itu membuat hati Rose hangat, tapi juga bingung. Dylan menunjukkan sisi yang berbeda dari pria-pria lain yang pernah ia kenal—pengertian, sabar, dan tulus. Namun, bayangan Junho tetap menghantui pikirannya.
"Terima kasih, Dylan," katanya akhirnya. "Aku hanya butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya aku rasakan."
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara. Dylan tetap berusaha tersenyum, meski ia tahu jalan menuju hati Rose mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Sementara itu, di rumah utama, Mr. Harold mengamati mereka dari jauh sambil tersenyum bijak. "Cinta memang rumit," gumamnya pada dirinya sendiri. "Tapi aku yakin hati selalu tahu jalannya."
***
Sejak hari itu, suasana di peternakan berubah. Rose semakin menjauh dari Dylan, hanya berbicara seperlunya saat mereka bertemu di kantor atau saat ada urusan yang tak bisa dihindari. Ia lebih sering menghabiskan waktu sendirian di ruang tamu, memandangi gelang anyaman yang masih setia di tangannya, berusaha mencerna perasaan yang semakin membingungkannya.
Dylan, di sisi lain, merasa kebingungannya semakin dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Rose selalu menghindar dengan alasan yang tak jelas. Bahkan ketika mereka bertemu di kantor, percakapan mereka terasa dingin dan terbatas. Dylan bisa merasakan ada sesuatu yang dipendam oleh Rose, tetapi ia tak tahu bagaimana cara membantunya. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya semakin kuat, namun ia merasa ragu karena khawatir akan membuat segalanya semakin rumit.
Suatu sore, setelah seharian bekerja di kantor, Dylan memutuskan untuk berbicara dengan Rose. Ia tahu bahwa jika mereka terus menghindar, masalah ini tidak akan pernah selesai. Ia menunggu Rose dilobi kantor, tempat biasa mereka berbincang saat malam menjelang. Ketika Rose akhirnya keluar, ia tampak terkejut melihat Dylan di sana.
“Pak Dylan?” tanya Rose dengan nada yang sedikit kaku, meski ia berusaha terlihat tenang.
Dylan berdiri, menghembuskan napas panjang. “Rose, aku tahu kau sedang bingung, tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin bicara denganmu, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuatmu menjauh?”
Rose menunduk, menggigit bibir bawahnya, ragu untuk membuka hati. Namun, melihat keseriusan di mata Dylan, ia tahu ia tak bisa terus menghindar. “Aku… aku tidak ingin membuatmu terluka, Pak Dylan. Aku hanya… tidak tahu bagaimana perasaan ini bisa berkembang. Aku masih terjebak di masa lalu, di kenangan bersama Junho.”
Dylan mengangguk perlahan, hatinya berdebar. “Aku mengerti. Kamu merasa bingung karena perasaanmu belum selesai dengan dia. Tapi Rose, aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, siap mendengarkan dan mendukung apapun keputusanmu. Tidak ada paksaan.”
Rose menatap Dylan, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi aku tidak ingin membuat semuanya lebih rumit. Aku tidak ingin mengabaikan perasaanmu, Pak Dylan. Kau sudah banyak menunjukkan pengertian, dan aku merasa bersalah. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi kepastian, karena aku sendiri masih belum tahu apa yang aku rasakan.”
Dylan tersenyum lembut, walaupun rasa sakitnya tidak bisa sepenuhnya disembunyikan. “Aku tidak mencari kepastian, Rose. Aku hanya ingin kamu bahagia. Jika itu berarti kamu harus mencari jawaban di masa lalu, aku akan mendukungmu. Aku ingin kamu merasa bebas untuk membuat pilihan yang benar untuk dirimu.”
Suaranya lembut, tapi ada kekuatan dalam kata-katanya yang membuat Rose terdiam. Ia merasa lega, namun juga semakin bingung. “Aku… Aku hanya takut. Takut jika aku salah memilih, takut jika aku melukai hati seseorang lagi,” ucapnya, suaranya hampir berbisik.
Dylan mengulurkan tangan, menyentuh bahu Rose dengan penuh perhatian. “Hati-hati memang bisa terluka, Rose. Tapi lebih baik kita mencoba daripada hidup dalam penyesalan. Dan, jika kamu memutuskan untuk mencari tahu tentang perasaanmu terhadap Junho, aku akan tetap ada untukmu, apa pun hasilnya.”
Rose menatap tangan Dylan yang masih ada di bahunya, kemudian menghela napas. "Aku rasa aku perlu waktu untuk berpikir lebih banyak. Tapi terima kasih, Pak Dylan. Terima kasih sudah sabar."
Dylan mengangguk, meski hatinya sedikit terluka. “Ambil waktumu, Rose. Aku akan menunggu, jika itu yang kamu butuhkan.”
Rose berjalan kembali ke dalam mobil untuk pulang ke apartemen. Sementara Dylan tetap berdiri di luar, menatap matahari yang mulai tenggelam. Ia tahu perjalanan ini belum selesai, dan mungkin takkan mudah, tetapi ia bersedia untuk menunggu.
Sementara itu, di tempat yang jauh, Junho sedang duduk di kafe, menatap layar ponselnya. Sebuah pesan dari Rose masih terdiam di sana, belum terbaca. Dia tahu waktunya untuk kembali ke masa lalu semakin dekat, dan entah bagaimana, takdir sepertinya sedang mengarahkannya kembali pada Rose.