Cassandra Magnolia Payton, seorang putri dari kerajaan Payton. Kerajaan di bagian utara atau di negeri Willems yang dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kehebatan penyihirnya.
Cassandra, gadis berumur 16 tahun berparas cantik dengan rambut pirangnya yang diturunkan oleh sang ayahanda dan mata sapphiernya yang sejernih lautan. Gadis polos nan keras kepala dengan sejuta misteri.
Dimana kala itu, Cassandra hendak dijodohkan dengan putra mahkota dari kerajaan bagian Timur dan ditolak mentah-mentah olehnya karena ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya dan memilih kabur dari penjagaan ketat kerajaan nya dengan menyamar menggunakan penampilan yang berbeda, lalu pergi ke kekerajaan seberang, untuk mencari pekerjaan dan bertemulah dengan Duke tampan yang dingin dan kejam.
Bagaimana perjalanan yang akan Cassandra lalui? Apakah ia akan terjebak selamanya dengan Duke tampan itu atau akan kembali ke kerajaan nya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon marriove, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXX. Pertanda
Kael berdiri tegak di antara tubuh-tubuh tak berdaya yang baru saja ia kalahkan. Tangannya masih mengepal erat, sementara napasnya tetap stabil. Begitu memastikan semuanya aman, dia berjalan ke arah Cassa yang masih berdiri terpaku. Wajahnya tetap tenang, tetapi sorot matanya memancarkan kehangatan yang sulit diabaikan.
Dengan langkah mantap, Kael mendekat, lalu tanpa aba-aba, memeluk tubuh Cassa erat. Pelukan itu begitu tiba-tiba, membuat gadis itu membeku di tempat.
“Aku merindukanmu, Vior,” bisik Kael pelan, nyaris seperti angin malam yang lembut namun menusuk.
Cassa terkesiap, tubuhnya refleks mendorong Kael perlahan, melepaskan diri dari pelukan itu, “Pangeran… apa maksud Anda? Saya bukanlah Vior yang Anda maksud,” katanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas, berusaha untuk menutupi sesuatu agar tidak terbongkar. Kenapa juga Kael bisa mengetahui dirinya?
Kael hanya tersenyum kecil, matanya menelusuri wajah Cassa, “Mata itu… meskipun warnanya berbeda, aku mengenali pupil itu. Itu adalah milik Laviora. Aku tidak mungkin salah. Ah sekarang Cassandra bukan? Cantik, masih cantik.”
Cassa mendesah, mencoba menyembunyikan perasaannya yang sedikit goyah. Senyumnya muncul tipis, seolah menutupi hal yang ia rasakan. Ya ia tahu bahwa Kael mencintai dirinya waktu menjadi Laviora, tapi ternyata cinta itu bisa mengetahui penyamarannya, namun tetap saja dia tidak bisa melakukan apa-apa, “Anda terlalu banyak berpikir, Pangeran. Mungkin Anda sudah mabuk karena minum-minum di pesta, ” balasnya, berusaha menutupi dengan cengiran khas.
Kael mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh wajah Cassa, tetapi dia menahannya, “Tidak peduli kamu Cassandra atau Vior, kamu tetap gadis tercantik yang pernah aku temui. Mau kamu menyamar menjadi siapapun, aku pasti akan mengenalimu.”
Cassa mengalihkan pandangan, tidak ingin berlama-lama dengan Kael. Takutnya sang Ibunda dan Ayahnya akan khawatir pada dirinya, “Saya harus kembali,” gumamnya, mencoba menghindar dari tatapan Kael yang seperti tidak ingin melepaskannya.
Namun Kael dengan cepat menegaskan, “Aku akan ikut denganmu agar aku bisa menjagamu.”
Cassa hanya mengangguk daripada menolak. Dia berjalan sebentar ke arah pengawal dan menyuruh untuk membawa empat orang tersebut ke penjara bawah tanah. Kael mengawal Cassa hingga kembali ke taman, di mana Jasver langsung menyambut dengan kekhawatiran yang terlihat jelas.
“Kau lama sekali, putriku,” ucap Jasver, suaranya sedikit tajam tapi penuh kekhawatiran.
Cassa tersenyum menenangkan, “Aku baik-baik saja, Ayah. Tidak perlu khawatir, aku sudah kuat jika Ayah lupa.”
Namun, Jasver melirik Kael tajam. Kael hanya membalas dengan senyum tipis, sementara Jezgar, yang berdiri di samping ayahnya, terlihat mengusap pelipisnya.
“Kenapa banyak sekali pria yang suka adikku? Rasanya membuatku pusing,” gumamnya lirih. Entah sihir apa yang membuat Adiknya banyak dikagumi oleh seorang lelaki maupun pria, padahal Adiknya adalah gadis yang berbeda dari gadis lainnya. Tapi itu yang menjadikan pesona nya bukan?
Di sisi lain taman, Alaric dan Kenzo memperhatikan interaksi itu. Kenzo tampak tenang meski tatapannya tidak bisa lepas dari Cassa. Namun, Alaric berdiri dengan rahang mengeras, matanya memicing saat melihat Kael tersenyum ke arah Cassanya.
Jam menunjukkan pukul 12 malam, dan semua orang mulai berkumpul di tengah taman untuk menyaksikan peluncuran kembang api. Peluncuran kembang api ini adalah pertama kalinya di Kekaisaran Bulan, karena Kerajaan Payton lah yang menciptakannya dan dimulai perkenalannya pada waktu ulang tahun Cassa. Para bangsawan terlihat antusias, membicarakan keajaiban apa yang akan terlihat di langit malam itu.
Ketika petasan pertama diluncurkan,Malam itu suasana semakin semarak. Kembang api meledak di langit, memancarkan warna-warni yang menghiasi gelapnya malam. Cahaya merah, biru, hijau, dan emas menyatu, menciptakan pemandangan yang memukau. Para bangsawan bersorak kagum, decak penuh kekaguman terdengar dari berbagai sudut taman. Cassa berdiri di tengah, tersenyum kecil saat melihat pertunjukan itu. Langit tampak begitu megah, seolah memeluk semua kebahagiaan yang terpancar dari perayaan malam itu.
Cassa memandang ke atas dengan senyum kecil di wajahnya, menikmati keindahan langit. Namun, dia dikejutkan oleh sentuhan lembut di pinggangnya.
Alaric memanfaatkan momen ketika perhatian orang-orang terfokus pada langit. Tangannya telah melingkar di pinggang Cassa yang begitu ramping. Gadis itu mendelik, terkejut dengan tindakan tiba-tiba Alaric, "Apa yang kau lakukan?" desisnya dengan suara rendah, berusaha agar tidak menarik perhatian.
Alaric hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap menghadap ke langit, “Kamu terlalu jauh dari jangkauanku tadi. Aku hanya memastikan kamu tidak akan kedinginan," jawabnya, meskipun cengkeramannya di pinggang Cassa semakin kuat.
Cassa mencoba melepaskan diri, tangannya berusaha menepis tangan Alaric. “Lepaskan aku. Banyak orang yang melihatnya !” bisiknya panik, meskipun sebenarnya tak ada yang benar-benar memperhatikan mereka.
Namun Alaric tidak bergeming. Dia justru menariknya lebih dekat, hingga Cassa bisa merasakan detak jantungnya yang tenang. “Biarkan saja, Cassie,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin malam. “Tenangkan dirimu kucing nakal… dan nikmati ini.”
Cassa menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba tidak teratur. Dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, membuat pikirannya kacau, “Ada apa sih dengan jantungku?” pikirnya dalam hati, “Kenapa aku selalu seperti ini kalau dekat dengan Duke jelek sepertinya?”
Dari kejauhan, Kael memperhatikan mereka. Matanya menajam ketika melihat Alaric memeluk pinggang Cassa. Tanpa ragu, dia melangkah mendekati mereka, sorot matanya penuh dengan permusuhan. Ketika dia sampai, Kael berhenti tepat di depan Alaric dan Cassa.
Kael menatap Alaric tajam, lalu beralih ke Cassa. Dengan nada lembut namun tulus, dia berkata, “Ternyata kamu lebih indah dari kembang api ya, Cassa.”
Cassa membulatkan matanya, tidak tahu bagaimana harus merespons. Dalam pikirannya, begitu malas dengan lelaki-lelaki yang mengelilinginya. Alaric yang mendengar hanya menghela napas panjang, jelas merasa muak dengan ucapan manis sahabatnya. Dia mendesis pelan, “Kau bisa pilih waktu yang lebih baik untuk bicara omong kosong, Kael.”
Kael tersenyum tipis, tidak mengindahkan sindiran itu. Dia tetap fokus pada Cassa, seolah-olah Alaric tidak ada di sana, “Aku bersungguh-sungguh, Cassa. Tidak ada satu pun yang bisa menandingi kecantikanmu malam ini. Aku boleh memanggilmu Cassa bukan?”
Cassa menatap datar Kael, lalu mengangguk pelan. Tidak ingin berbicara apa-apa lagi dan memilih untuk menatap langit agar tidak terganggu dengan tatapan intens Duke jelek di sampingnya dengan tangannya yang masih melingkat dipinggangnya.
Namun, jika gombalan Kael bisa ia tangkis dengan mudah, lain cerita dengan tatapan Alaric. Tatapan itu penuh arti, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu membuat Cassa merona, meskipun ia berusaha keras menutupinya, “Ah, aku harus berhenti memikirkan hal-hal aneh ini,” batinnya.
Belum selesai mereka bertiga, Kenzo tiba-tiba datang dan bergabung. Dia melangkah dengan senyum, tentunya senyuman itu hanya ditujukan oleh Sandranya. Dengan lembut, dia mengelus kepala Cassa, membuat gadis itu tersenyum ceria, “Kau menikmati malam ini, Sandra?” tanyanya dengan nada hangat khasnya.
“Ya, Kak Enjo. Semuanya luar biasa,” jawab Cassa sambil tersenyum manis. Ada kehangatan berbeda yang selalu ia rasakan setiap kali Kenzo berada di sekitarnya. Kenzo memang sahabat sekaligus orang yang selalu membuatnya nyaman, tapi berbeda dengan yang dirasakan oleh Kenzo sendirinya.
Melihat interaksi itu, Alaric hanya bisa menahan diri agar tidak langsung menegur. Tangannya mengepal pelan di sisi tubuhnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak merusak suasana. Dia menatap Cassa sebentar sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan mereka. Namun, tidak sebelum dia berbisik pelan, cukup untuk Cassa dengar, “Kamu tahu bukan aku tidak suka berbagi? Besok aku ingin kita jalan-jalan. Mengerti?”
Cassa mendengar itu, namun memutuskan untuk tidak membalasnya. Dia kembali berbincang dengan Kenzo, sementara Kael tetap berada di sisi mereka, memperhatikan setiap detail dengan hati-hati. Meski malam itu tampak damai, ada ketegangan yang tidak terlihat di antara mereka bertiga. Sementara langit terus dihiasi kembang api yang indah, takdir perlahan bergerak menuju konflik yang lebih besar.
...****************...
Di langit, kembang api terus meledak, menciptakan keindahan yang memukau. Namun, di balik semua itu, seseorang telah duduk didalam kegelapan yang menyelimuti. Seorang pria gagah berdiri dengan rambut rambut hitam legam dengan mata tajamnya memandang ke arah luar jendela.
“Aku telah kembali,” katanya dengan suara rendah namun penuh keyakinan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, tapi bagi yang melihatnya itu adalah senyuman yang mengerikan.
Di depannya, seorang nenek tua dengan tongkat menunduk hormat, “Yang Mulia… akhirnya Anda bangun dari bertahun-tahun lamanya, " ucapnya dengan penuh penghormatan tetapi juga penuh ketegangan.
Malam itu adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang akan mengubah hidup seseorang selamanya.
"Hm, kekuatanku sudah terkumpul dan aku menjadi lebih kuat. Aku pastikan gadis sialan itu akan mati ditanganku," nenek tua di sampingnya tersenyum cerah, dia tidak sabar untuk menguasai dunia ini bersama pria didepannya! Mata merah dan putinya berkilatkan cahaya bersamaan dengan suara auman serigala yang terdengar mengerikan di telinga.
***
Angin di pesta menjadi berubah , apalagi suara serigala yang mengaum terdengar berisik. Jasver memerintahkan untuk tamu tidur ditempat yang disediakan, ada juga yang pulang untuk ke kediaman masing-masing. Jasver bertanya-tanya, pertanda apa ini? Atau jangan-jangan..
"Sandra, kau tidak apa-apa?, " Kenzo yang sempat berbicara dengan Cassa menjadi khawatir. Padahal Cassa tadi baik-baik saja, namun kenapa Cassa seperti ingin kehilangan kesadaran?
"Cassa?, " tanya Kael khawatir, lalu Alaric darang dengan tergesa-gesa membuat ketiga pemuda disekitarnya bingung.
"A-aku..." suara Cassa terdengar bergetar, hampir seperti bisikan yang terseret oleh angin. Tubuhnya mulai kehilangan kekuatan, membuat lututnya bergetar hebat sebelum akhirnya ia jatuh terkulai.
Alaric, langsung bergerak cepat. Dalam hitungan detik, dia berhasil menangkap tubuh Cassa yang hampir menyentuh tanah, "Cassie!" panggilnya dengan nada panik, mengguncang tubuh gadis itu dengan lembut.
Mata Cassa hanya terbuka setengah, buram, seperti tirai yang mulai menutup dari dunia. Nafasnya lemah, tapi bibirnya bergerak perlahan, mencoba mengucapkan sesuatu.
"Jangan bicara, simpan tenagamu," ujar Alaric tegas, meski wajahnya menyiratkan ketakutan yang jarang terlihat. Ia mendekap Cassa lebih erat, mencoba menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin.
Langit yang mendung semakin gelap, tapi Alaric tak peduli. Dia menggigit bibir, berpikir cepat, lalu berlari menuju tempat perlindungan terdekat. Setiap langkahnya terasa seperti perlombaan melawan waktu.
"Cassie, aku aku akan selalu disampingmu," bisiknya pelan, penuh tekad, "Aku janji, aku mencintaimu sayang walau di tujuh kehidupan sekalipun."
...— Bersambung —...