Cassandra Magnolia Payton, seorang putri dari kerajaan Payton. Kerajaan di bagian utara atau di negeri Willems yang dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kehebatan penyihirnya.
Cassandra, gadis berumur 16 tahun berparas cantik dengan rambut pirangnya yang diturunkan oleh sang ayahanda dan mata sapphiernya yang sejernih lautan. Gadis polos nan keras kepala dengan sejuta misteri.
Dimana kala itu, Cassandra hendak dijodohkan dengan putra mahkota dari kerajaan bagian Timur dan ditolak mentah-mentah olehnya karena ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya dan memilih kabur dari penjagaan ketat kerajaan nya dengan menyamar menggunakan penampilan yang berbeda, lalu pergi ke kekerajaan seberang, untuk mencari pekerjaan dan bertemulah dengan Duke tampan yang dingin dan kejam.
Bagaimana perjalanan yang akan Cassandra lalui? Apakah ia akan terjebak selamanya dengan Duke tampan itu atau akan kembali ke kerajaan nya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon marriove, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXXII. Sebentar Lagi
Di tengah keheningan yang kontras, suasana di dalam ruangan itu berubah semakin mencekam. Ruangan tersebut, yang dipenuhi bayangan gelap dan aroma lembab yang menyengat, memancarkan aura yang menekan. Dinding-dinding batu tua tampak memantulkan sinar redup dari lilin-lilin yang hampir habis, seakan mereka menjadi saksi bisu dari kebangkitan seorang raja kegelapan.
Pria dengan rambut hitam legam dan sorot mata tajam, yang dikenal sebagai Damien di dunia manusia, berdiri tegap di tengah ruangan. Matanya menyala merah, menembus kegelapan seperti obor neraka yang baru saja dinyalakan. Aura kekuatannya terasa begitu pekat hingga membuat udara di sekitarnya terasa berat. Sementara itu, di depannya, seorang nenek tua yang penuh keriput, dengan tongkat kayu yang ujungnya dihiasi kristal gelap, menundukkan kepala dengan penuh hormat.
“Yang Mulia,” suara seraknya terdengar gemetar, “Bagaimana rencana Anda untuk menghadapi kedua orang itu? Apakah adaperintah selanjutnya, Yang Mulia?”
Damien tidak langsung menjawab. Dia mengarahkan pandangannya keluar jendela, menatap rembulan yang tertutup awan hitam. Hembusan napas berat terdengar dari pria itu. Seolah menahan gejolak amarahnya, ia memejamkan mata sejenak sebelum berbicara dengan nada yang dalam dan penuh otoritas.
“Aku akan melatih diriku lebih keras, dan meningkatkan kekuatan ku saat ini,” katanya, suaranya tegas namun terkendali, seperti pedang yang baru diasah, “Sihir kuno yang telah lama terlupakan… itu akan menjadi kunciku untuk menghabisi mereka. Kau tahu bukan mereka telah melampaui batas kesabaranku.”
Damien berbalik, tatapannya kini tertuju langsung pada nenek tua yang tubuhnya gemetar di bawah tekanan auranya, “Apakah mereka sudah bertemu?” tanyanya dingin, “Beritahu aku segalanya. Dan awas saja jika kau membawa kabar buruk padaku.”
Nenek tua itu, yang sering dipanggil Madame Zilda, menelan ludah. Ia tahu bahwa Raja Kegelapan tidak mentolerir kegagalan, apalagi berita yang tidak menyenangkan. Suaranya terdengar bergetar ketika ia menjawab, “Ya, Yang Mulia. Mereka… mereka telah bertemu. Dan…” ia terdiam sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan.
“Dan apa?” suara Damien meninggi, membuat ruangan berguncang pelan. Cahaya lilin bergetar, seolah ikut merasakan amarah yang menyala-nyala dari dirinya.
Madame Zilda dengan cepat menundukkan kepala lebih dalam, mencoba menyembunyikan ketakutannya, “Salah satu dari mereka, Yang Mulia… pria itu… dia sudah memiliki tanda itu. Dan kekuatannya…,” ia terhenti, suara gemetar, “Cukup kuat untuk menahan sihir gelap yang telah saya gunakan sebelumnya.”
Ruangan itu menjadi hening sesaat. Namun keheningan itu lebih menakutkan daripada suara apa pun. Damien menghela napas panjang, tetapi itu bukanlah tanda ketenangan. Mata merahnya menyala lebih terang, memancarkan amarah yang hampir tak terkendali. Tanpa peringatan, suara dentuman keras terdengar. Salah satu pilar di sudut ruangan hancur begitu saja, memperlihatkan kekuatan Damien yang tak terkontrol saat emosinya memuncak.
“Keluar dari sini,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik namun penuh ancaman. “Jangan biarkan aku melihat wajahmu sampai kau membawa informasi yang lebih berguna. Temukan kelemahan antara mereka!”
Madame Zilda tidak berani membantah. Ia membungkuk dalam-dalam, hampir menyentuh lantai dengan dahinya, sebelum dengan tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu. Setiap langkahnya terasa seperti membawa beban, sementara pikiran-pikirannya dipenuhi ketakutan akan kemarahan Damien yang belum sepenuhnya reda.
Setelah pintu besar dari kayu gelap itu tertutup rapat, Damien berdiri sendiri di ruangan yang kini dipenuhi kehancuran kecil akibat luapan emosinya. Ia mengepalkan tangan, matanya yang merah perlahan meredup. Dalam keheningan itu, ia bergumam pada dirinya sendiri, “Tanda itu… dan kekuatan mereka… Aku akan memastikan mereka tidak akan bisa melawanku. Dunia ini hanya milikku. Ck, Aelion memang perusak kesenanganku.”
Damien kemudian melangkah menuju meja besar di sudut ruangan, di mana sebuah buku kuno dengan kulit hitam dan tulisan emas terbuka, menampilkan mantra-mantra yang telah lama dilupakan dunia. Ia menunduk, membiarkan dirinya tenggelam dalam dunia sihir kuno yang akan membantunya meraih kemenangan.
***
Di ruang pertemuan yang sunyi, suasana tegang terasa menyelimuti. Jasver menatap tajam ke arah Alaric, sementara Cassa duduk dengan sikap yang jelas menunjukkan ketidaksetujuannya. Di sisi lain, Alaric tampak santai, duduk dengan posisi tenang namun tetap penuh percaya diri. Sesekali, ia melirik ke arah Cassa dengan senyum tipis, yang hanya dibalas dengan pandangan tajam dari gadis itu.
Setelah beberapa saat keheningan yang menekan, Jasver akhirnya berbicara. Suaranya tegas dan penuh wibawa, “Keputusanku telah dibuat. Pertunangan antara Cassa, dan Alaric harus segera dilaksanakan. Apa pun alasanmu untuk menolak, Cassa, hal ini adalah yang terbaik untuk menjaga nama baik keluarga kita dan menyelesaikan masalah ini.”
Cassa menghela napas panjang, matanya memancarkan protes yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, akhirnya ia membuka suara dengan nada yang tegas, meski berusaha tetap sopan, “Ayah, dengan segala hormat, keputusan ini terlalu mendadak. Aku membutuhkan waktu untuk mempertimbangkannya lebih jauh. Apalagi aku harus bertunangan dengan lelaki menyebalkan.”
Jasver menatap putrinya dengan tajam, namun tetap menahan diri, “Tidak ada lagi waktu untuk mempertimbangkan, Putriku. Ibumu telah menyampaikan kepadaku bahwa kalian hampir melakukan hal-hal yang dapat mencoreng kehormatan keluarga. Sebelum hal itu benar-benar terjadi dan menimbulkan masalah yang lebih besar, pertunangan ini harus segera dilaksanakan.”
Cassa memandang ayahnya dengan ekspresi terkejut sekaligus kesal, pipinya menggembung tidak terima dengan tuduhan yang diberikan, “Ayah, itu tidak seperti yang Ayah pikirkan! Tidak ada yang terjadi tahu! Kemarin Ibu hanya salah paham.”
Jasver mengangkat tangan untuk menghentikan bantahan Putri keras kepalanya, “Apa pun yang sebenarnya terjadi, Ibumu adalah saksi yang dapat Ayah percaya. Ayah tidak akan membiarkan nama baik keluarga kita ternoda. Pertunangan ini adalah keputusan terbaik untuk menjaga kehormatanmu, Cassa.”
Cassa ingin membantah lagi, tetapi Alaric memotongnya dengan nada santai namun penuh makna, “Aku setuju dengan keputusan ini,” katanya sambil melirik ke arah Cassa. “Lagipula, ini bukan sesuatu yang buruk, bukan? Kita hanya akan mempercepat sesuatu yang sudah ditakdirkan.”
Cassa menoleh cepat, ekspresi terkejut bercampur geram terlihat di wajahnya, “Ditakdirkan? Kau ini terlalu percaya diri, Aric!” katanya dengan nada dingin.
Alaric hanya tersenyum kecil, memiringkan kepalanya sedikit ke arah Cassa. “Aku hanya mengatakan fakta, Lady. Lagipula, siapa lagi yang pantas untukmu selain aku?”
Sebelum Cassa sempat menjawab, Jasver menengahi, suaranya kembali memenuhi ruangan. “Adikku, kau harus belajar menerima kenyataan. Alaric adalah calon yang tepat, bukankah kau juga memiliki perasaan kepadanya tapi masih malu-malu?Dia juga memiliki segalanya—kedudukan dan kekuatan. Ini bukan hanya soal hubungan pribadi, tetapi juga tentang tanggung jawabmu terhadap keluarga dan kerajaan.”
Cassa mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan kekesalannya, “Aku mengerti tanggung jawabku, Ayah, tetapi tidak bisakah aku diberi waktu lebih banyak? Ini terlalu cepat untukku. DAN MAKSUD AYAH APA, JIKA AKU MEMILIKI PERASAAN KEPADA ARIC,” pipi Cassa memerah, bisa-bisanya sang Ayah mengatakan hal yang memalukan seperti itu.
Jasver menghela napas, sedikit melonggarkan nada tegasnya, “Cassa, Ayah tahu ini sulit bagimu, tetapi kau harus memahami bahwa ini adalah langkah yang perlu diambil. Ibumu melihat sendiri apa yang hampir terjadi, dan Ayah tidak akan mengambil risiko. Kita harus bergerak cepat demi kebaikan semua pihak. Bukannya begitu putriku? Cepatlah sadar dengan perasaanmu sendiri”
Jezgar, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, “Adikku, aku tahu kau merasa keputusan ini terlalu mendadak. Tapi Ayah tidak akan mengambil langkah ini tanpa alasan yang kuat. Aku di sini untuk mendukungmu, apa pun yang terjadi, tetapi aku juga percaya bahwa keputusan Ayah adalah untuk kebaikanmu.”
Cassa menoleh ke arah Jezgar, “Kakak, aku kira kau akan membelaku sepenuhnya. Kakak menyebalkan! Kalian semua menyebalkan!” dia tidak peduli dianggap kekanakan, tapi memang inilah sifat aslinya. Selama ini dia sudah cukup belajar menjadi dewasa, tapi entah kenapa dia kelepasan saat ini.
Jezgar meletakkan tangannya di bahu adiknya, memberi dukungan dengan sikap tenang, “Adikku, aku membelamu dengan cara terbaik. Kadang, kita harus mempercayai mereka yang lebih tua untuk mengambil keputusan demi kita, bahkan ketika kita tidak menyukainya.”
Sementara itu, Alaric bersandar sedikit ke kursinya, tersenyum tipis seperti seseorang yang baru saja memenangkan sebuah permainan, “Aku hanya ingin memastikan bahwa Cassie-ku tidak merasa keberatan, apalagi aku sangat senang mendengar bahwa ternyata Cassie-ku memiliki perasaan yang sama denganku,” katanya, meski jelas ucapannya hanya menambah tekanan pada Cassa.
“Huh! Jangan membuatku semakin kesal, Aric,” Cassa mendesis pelan, namun cukup keras untuk membuat pria itu tersenyum lebih lebar.
Jasver mengetuk meja dengan ringan untuk mengembalikan fokus pembicaraan, “Sudah cukup,” katanya tegas. “Pertunangan akan diumumkan dalam waktu dekat. Tidak ada perdebatan lagi soal ini. Aku harap kalian semua dapat menerima keputusan ini dengan baik.”
Ruangan kembali sunyi setelah itu, hanya tersisa ketegangan di udara. Cassa diam, menunduk dengan pikiran yang berputar-putar, sementara Alaric tetap tersenyum, seolah menikmati situasi ini. Di sisi lain, Jasver dan Jezgar tampak yakin bahwa keputusan ini adalah langkah terbaik untuk semua pihak.
...****************...
Di tengah suasana yang hampir terasa mencekam, tiba-tiba sebuah ide cemerlang muncul di kepala Jasver. Matanya menyipit, lalu ia melangkah maju dan berbicara dengan suara yang penuh kewibawaan, "Aku tidak akan menyerahkan putriku begitu saja kepadamu tanpa jaminan apapun, bahkan jika dia adalah calon yang terhormat sekalipun,” katanya dengan nada yang lebih tajam dari sebelumnya.
Cassa menatapnya dengan bingung, bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Jasver menatap Alaric, lalu berbicara dengan tegas, "Kau tahu bukan kalau putriku akan pergi ke akademi selama satu bulan lagi? Jadi syaratku adalah kau harus menjauhi putriku sampai dia lulus, agar kalian tidak melakukan hal-hal yang aneh sekali lagi.”
Alaric, yang sebelumnya merasa cukup percaya diri, kini tampak cemas. Wajahnya melas, dan suaranya terdengar sedikit putus asa, “Tunggu, apa?! Ayah mertua, menginginkan aku menjauhi Cassa selama tiga tahun? Itu… itu tidak mungkin!”
Jezgar, yang sejak awal terdiam, akhirnya tersenyum lebar, “Keputusan Ayah memang yang terbaik. Tidak ada yang lebih bijaksana selain ini.” Dia menatap Alaric dengan tatapan yang jelas menunjukkan bahwa dia tidak terlalu senang dengan calon adik iparnya itu, meskipun ia mendukung pertunangan tersebut.
Alaric menatap Jezgar, lalu kembali menatap Jasver dengan mata memelas, “Kakak ipar, bagaimana bisa aku menjauhi gadisku selama itu? Tiga tahun tanpa bertemu dengannya?” Ia terlihat frustasi, tubuhnya sedikit terkulai ke belakang, tampak seolah-olah beban besar tengah menimpa dirinya.
Namun Jasver tetap pada pendiriannya, “Kau masih belum menjadi menantuku! Tidak ada pengecualian. Kau bisa menunggu, atau pergi menjauh, tapi Cassa akan tetap melanjutkan pendidikannya tanpa gangguan. Aku tidak akan memberi kebebasan seperti itu lagi.”
Nathanio, tangan kanan Alaric yang selalu siap membantu, tersenyum jahil dari sudut ruangan, seolah menikmati penderitaan yang sedang dialami Alaric, “Astaga, Duke, kasihan sekali Anda..”
Alaric hanya bisa melemparkan pandangan penuh harapan kepada Cassa, yang duduk dengan wajah yang seakan memancarkan kebosanan. Badannya sedikit menunduk, wajahnya tampak tak terlalu peduli. Cassa menggembungkan pipinya, menyimpan perasaan kesalnya, “Aku tidak peduli, Aric. Ini masalahmu, bukan masalahku,” ucapnya dengan suara datar.
Alaric merasa hancur dengan reaksi Cassa, namun dia tidak menyerah begitu saja. Ia berbisik, suaranya lembut namun penuh keyakinan, “Tenang saja, sayang. Tentunya aku memiliki cara untuk bisa bertemu denganmu secara sembunyi-sembunyi. Jangan khawatir.”
Cassa menoleh sebentar, melihat ekspresi wajah Alaric yang penuh dengan ambisi. Meskipun dia tidak mengungkapkan perasaannya, hatinya merasa sedikit senang. Aneh memang Ia memalingkan wajahnya lagi, berharap situasi ini segera berakhir.
Jasver menatap mereka semua dengan tegas, “Keputusan ini sudah final. Tidak ada yang bisa merubahnya.” Setelah berkata demikian, ia berdiri dan mengakhiri pertemuan tersebut, meninggalkan keheningan yang kembali melingkupi ruangan
...— Bersambung —...
Misal.
"Kakak, kau sudah gila, ya? Apa perlu kupanggilkan seorang tabib?" tanya Cassandra BLA BLA BLA.
Debutante. Ini kata asing, kan? bukan kata dari KBBI atau serapan?
Kalo iya, harusnya menggunakan font italic (miring) sebagai kata asing.