Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Strategi Pelabuhan dan Diplomasi Bisnis
Bab 24: Strategi Pelabuhan dan Diplomasi Bisnis
Rabu, 22 Februari 1984
Hari itu, suasana Kota Sekayu ramai dengan kegiatan Lomba Seni dan Kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah daerah untuk murid sekolah dasar se-Kabupaten Musi Banyuasin. Lapangan besar di depan kantor bupati dipenuhi suara musik tradisional, tawa anak-anak, dan tepuk tangan dari penonton yang antusias. Kegiatan ini dirancang untuk memupuk kecintaan generasi muda terhadap seni dan budaya lokal, sekaligus menjadi ajang persaingan sehat antar sekolah dasar.
Arya dan teman-temannya, Saka dan Abdi, hadir sebagai perwakilan dari kelas 5. Mereka tidak mengikuti lomba, tetapi datang untuk mendukung teman sekelas mereka, termasuk Mitha, yang mengikuti lomba melukis. Semangat dukungan mereka begitu terasa saat Mitha mulai menggoreskan kuasnya di atas kanvas, menggambarkan lanskap sungai Musi yang tenang dengan perahu-perahu kecil melintasinya.
“Lihat Mitha, tangannya sangat cekatan. Aku yakin dia akan menang,” ujar Saka sambil melahap jajanan yang baru saja ia beli.
“Iya, lukisannya terlihat indah sekali. Dia punya bakat,” tambah Abdi sambil menatap kagum.
Arya hanya tersenyum. Ia tahu bahwa Mitha memang memiliki bakat seni yang luar biasa. Sambil menonton, mereka menyaksikan berbagai lomba lain, seperti tari tradisional, menyanyi, dan prakarya. Acara ini berlangsung dari pagi hingga sore, memberikan hiburan sekaligus pelajaran berharga tentang budaya kepada para peserta dan penonton.
Ketika sore tiba, pemenang lomba diumumkan. Mitha berhasil meraih juara kedua dalam lomba melukis, yang membuat teman-temannya bersorak bahagia.
“Selamat, Mitha! Kami tahu kamu pasti menang,” seru Saka, penuh semangat.
“Terima kasih, semuanya. Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukungan kalian,” jawab Mitha sambil tersenyum malu.
***
Setelah pengumuman selesai, Mitha memperkenalkan Arya dan teman-temannya kepada dua teman dari sekolah lain yang ikut lomba tari, Windah dan Putri. Mereka adalah teman Mitha dari sanggar tari yang sama.
“Aku sering menari bersama mereka di sanggar,” ujar Mitha.
“Senang bertemu kalian,” sapa Arya sopan sambil menjabat tangan mereka.
"Apakah kamu Saka? " Tanya Windah sambil bersalaman dengan Saka.
"Iya aku Saka, salam kenal," Jawab Saka dengan malu-malu.
"Apakah kamu yang membuat game elektronik Simon says dan pong? Aku dan teman-teman lainnya di sekolah kami sangat suka dengan permainan itu," Kawat Windah dengan mata kagum kepada Saka.
"Iya kami yang membuat nya," Kata Saka dengan nada malu namun sedikit bangga.
Mereka berenam mulai berbincang santai sambil menikmati jajanan yang dijual di pinggir jalan. Obrolan mereka penuh tawa, membuat sore itu terasa lebih menyenangkan. Ketika acara hampir selesai, mereka duduk di bawah pohon besar, menunggu jemputan masing-masing.
Karena rumah Arya dan Mitha bertetangga, Arya akhirnya ikut pulang bersama keluarga Mitha. Hubungan keluarga mereka semakin erat setelah piknik bersama sebelumnya, dan orang tua Mitha sering membantu menjaga Amanda saat keluarga Arya sibuk.
Di perjalanan, ibu Mitha, seorang wanita ramah, membuka percakapan. “Arya, kenapa Amanda akhir-akhir ini jarang bermain ke rumah? Biasanya dia selalu datang sore-sore.”
“Amanda sedang tinggal di rumah kakek di Babat Toman, tante,” jawab Arya sopan.
“Oh, pantas saja. Kata Tiara, Amanda sudah lama tidak masuk TK,” ujar ibu Mitha. Tiara adalah adik Mitha yang seumuran dengan Amanda.
Arya hanya tersenyum. Ia teringat bagaimana kehidupannya di masa lalu sangat berbeda. Di kehidupan sebelumnya, ia tinggal di asrama polisi sehingga tidak pernah bertetangga dengan keluarga Mitha. Kini, takdir memberikan kesempatan baginya untuk lebih dekat dengan Mitha dan keluarganya.
***
Ketika Arya tiba di rumah, ia menemukan Sulastri sedang berdiskusi serius dengan Ratna, tangan kanannya yang dipercaya untuk mengelola banyak urusan perusahaan. Kertas-kertas peta dan dokumen administratif tersebar di meja kerja.
“Ibu, apakah ada masalah di perusahaan?” tanya Arya sambil menghampiri meja Sulastri.
“Iya, Arya. Ibu sedang berdiskusi dengan Ratna mengenai pembukaan lahan Inti-Plasma dan pembangunan desa transmigrasi baru,” jawab Sulastri sambil menghela napas.
“Apakah lokasi lahan sudah ditentukan oleh pemerintah?” Arya bertanya dengan penasaran.
“Sudah, tapi ada sedikit masalah,” ujar Sulastri, ragu-ragu.
“Maksud ibu, apa lokasinya masih berupa hutan? Kalau itu masalahnya, bukankah itu malah bagus? Kita bisa membangun fasilitas jalan dan meningkatkan prestise perusahaan,” kata Arya mencoba menenangkan ibunya.
Sulastri menjelaskan dengan nada serius, “Masalahnya bukan hanya itu, Arya. Awalnya kami meminta lokasi di daerah Sungsang, dekat dengan pelabuhan Tanjung Api-Api. Tapi tiba-tiba, lokasi kami dipindahkan ke Karang Agung. Sementara itu, Sungsang diberikan kepada pengusaha lain dari Palembang.”
Arya mengerutkan kening. “Siapa pengusaha itu? Dan apa latar belakangnya?”
“Namanya Haji Nurim. Dia adalah pengusaha kayu dengan banyak relasi di pemerintahan Kota Palembang,” jawab Sulastri. “Meskipun ia mendapat lahan yang lebih kecil, akses ke pelabuhan memberinya keuntungan strategis. Sedangkan kita harus membangun jalan baru untuk menghubungkan Karang Agung dengan pelabuhan sungai di Sungai Lilin.”
Mendengar nama itu, Arya segera mengenali sosok Haji Nurim. Di masa depan, ia menjadi salah satu pengusaha terkaya di Sumatera Selatan, tetapi tidak pernah memberi dampak positif pada ekonomi warga lokal. Sebaliknya, ia malah sering menindas warga desa di sekitar tanahnya. Pernah ada satu kasus seorang warga desa menebang pohon di belakang rumahnya untuk membangun rumah anaknya, tetapi kemudian dia di penjara sampai di hukum mati karena belakang rumah warga tersebut berbatasan langsung dengan tanah yang di kuasai Nurim, jadi warga desa tersebut di anggap mencuri kayu milik perusahaan Nurim.
Arya melihat peta Sumatera Selatan di meja ibunya dan memperhatikan posisi Karang Agung. Lokasinya tepat di seberang sungai dari Pelabuhan Tanjung Api-Api. Ide sederhana muncul di benaknya.
“Ibu, kenapa kita tidak membangun pelabuhan laut saja di sana?” usul Arya.
Sulastri tersenyum pahit. “Awalnya ibu juga berpikir begitu. Tapi modal kita sudah dialokasikan untuk proyek lain. Selain itu, membangun pelabuhan laut membutuhkan biaya besar dan izin yang rumit.”
Arya berpikir sejenak sebelum menjelaskan, “Kita bisa menggunakan perusahaan cangkang yang akan didirikan di Singapura. Dengan modal 1,2 miliar dolar AS yang sudah kita siapkan, kita hanya perlu mengalokasikan sekitar 100 juta dolar untuk membangun dermaga. Karena perusahaan itu dianggap investor asing, pemerintah daerah lebih mungkin mengeluarkan izin tanpa banyak hambatan.”
Sulastri terdiam sejenak, merenungkan ide tersebut. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Arya, itu ide yang brilian. Kita akan memulai langkah ini secepatnya. Besok siang, ibu ingin kamu ikut ke kantor pusat untuk membahas pembentukan perusahaan Holding di Singapura.”
“Siap, Bu,” jawab Arya dengan nada bercanda, sambil memberikan hormat pura-pura.
***
Malam itu, Arya merefleksikan kejadian hari itu sambil menulis di buku catatannya. Ia merasa bahwa setiap langkah yang diambil semakin mendekatkan keluarganya pada masa depan yang gemilang. Meski ia masih anak-anak di mata orang lain, pikiran dan rencananya jauh melampaui usianya.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa