Amora Kiyoko, seorang gadis yatim piatu yang lembut hati, menjalani hidup penuh cobaan. Ia tinggal bersama bibinya, Tessa, dan sepupunya, Keyla, yang memperlakukannya dengan kejam.
Di tempat lain, Arhan Saskara, CEO muda PT Saskara Group, tengah menghadapi masalah di perusahaannya. Sikapnya yang dingin dan tegas membuat semua orang segan, kecuali sahabatnya, Galang Frederick.
Hari itu, ia ada pertemuan penting di sebuah restoran, tempat di mana Amora baru saja bekerja sebagai pelayan.
Namun, saat hendak menyajikan kopi untuk Arhan, Amora tanpa sengaja menumpahkannya ke tangan pria itu. Arhan meringis menahan sakit, sementara Galang memarahi Amora, "Kau ini bisa kerja atau tidak?!"
Penasaran kelanjutan cerita nya, yuk ikuti terus kisahnya, beri dukungan dan votenya🙏🏻😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Up 26
Di kamar utama, Vio memeriksa kondisi Amora.
“Bagaimana, Vio? Perlu kita bawa ke rumah sakit?” tanya Arhan
“Amora hanya kelelahan. Mungkin juga dia tertekan, jadi kondisinya drop.”
“Sebentar lagi kita bawa saja, Han” usul Zeline khawatir.
Vio mengangguk. “Tunggu 15 menit. Kalau dia belum sadar, kita bawa ke rumah sakit.”
Arhan menggenggam tangan Amora erat, berdoa dalam hati. Galang masuk ke kamar, melaporkan situasi.
“Mereka sudah diusir,” katanya.
“Bagus,” jawab Arhan tanpa melepaskan pandangannya dari Amora.
Arhan duduk di sisi tempat tidur, matanya tak lepas memandangi wajah Amora yang mulai membuka mata perlahan.
“Kak,” lirih Amora.
“Sayang, kita ke rumah sakit ya?” ajak Arhan lembut.
“Tidak, Kak. Aku nggak apa-apa kok, ini cuma kelelahan,” jawab Amora sambil mencoba tersenyum.
“Kamu yakin?”
Amora mengangguk pelan. “Iya, Kak.”
Vio berdiri, menatap Amora dengan simpati. “Kalau begitu, kami pamit ya. Kamu istirahat yang cukup, Amora. Sekali lagi, selamat.”
“Terima kasih, Vio,” ucap Amora dengan suara pelan.
Zeline ikut berpamitan. “Aku juga pamit ya, Ra. Kamu hati-hati, jangan memaksakan diri.”
“Iya, Zel. Hati-hati juga.”
Setelah para tamu pergi, Arhan kembali menoleh ke arah Amora. “Sayang, mau ke mana?” tanyanya ketika Amora mulai bangkit perlahan.
“Aku mau ganti baju, Kak. Nggak mungkin aku tidur pakai kebaya kayak gini,” jawabnya lemah.
“Ya sudah, aku bantu ya,” tawar Arhan dengan lembut.
Amora menggeleng malu. “Aku malu...”
“Aku hanya akan menggendong mu ke kamar mandi, Sayang. Aku akan menunggu di luar.”
Amora akhirnya mengangguk. Arhan melepas jasnya, menggulung lengan bajunya, dan menggendong Amora ke kamar mandi, tak lupa membawakan pakaian ganti.
Beberapa menit kemudian, Arhan kembali menggendong Amora ke tempat tidur. Dia membaringkannya dengan hati-hati.
“Kamu mau makan sesuatu, Sayang?” tanyanya penuh perhatian.
Amora menggeleng. “Nggak, Kak.”
Hening sejenak sebelum Amora akhirnya berbicara lagi, suaranya pelan dan sedikit ragu. “Kak...”
“Ya?”
“Kenapa Kakak cuma diam? Kenapa Kakak nggak meminta hak Kakak?”
Arhan menatap Amora bingung. “Hak apa, Sayang?”
“Malam ini kan malam pertama kita. Aku tahu aku nggak sempurna, tapi aku takut Kakak menyesal menikah dengan aku...” Suaranya bergetar, dan air mata mulai mengalir. “Aku nggak berguna...”
“Sayang, jangan berpikir begitu,” bisik Arhan, membungkuk untuk mencium keningnya.
Perlahan, ciuman itu berpindah ke bibir, mendalam dengan penuh kasih. Malam itu, kehangatan cinta mereka menjadi bukti pengabdian dan penerimaan tanpa syarat.
...----------------...
Pagi harinya, Arhan terbangun dan mendapati Amora tidak di sisi tempat tidur. Dia mencuci muka di kamar mandi, lalu turun ke bawah mencari istrinya.
“Kamu sudah bangun, Kak?” sapa Amora sambil membawa nampan sarapan ke meja makan.
“Kamu dari mana saja, Sayang? Aku mencari mu.”
“Aku buatkan sarapan. Baru saja aku mau bangunin Kakak,” jawab Amora sambil tersenyum.
Arhan menatapnya khawatir. “Kenapa kamu repot-repot? Kita bisa pesan makanan. Aku nggak mau kamu kelelahan.”
Amora memandang Arhan dengan mata penuh harap. “Kak, izinkan aku menjalankan tugasku sebagai istri. Aku mohon...”
Arhan menghela napas, merasa tersentuh. “Maaf ya, Sayang. Jangan sedih lagi. Ini kelihatannya enak.”
“Kakak mau yang mana?” tanya Amora, tersenyum kecil.
“Rendang saja.”
“Apa lagi, Kak?”
“Ini dulu cukup, Sayang.”
Namun tiba-tiba, Amora meringis kesakitan. “Akhh...”
“kamu nggak apa-apa?” tanya Arhan panik.
“Nggak apa-apa. Aku ke kamar mandi sebentar.”
“Baiklah,” jawab Arhan, walau tatapannya tetap penuh khawatir.
Di kamar mandi, Amora memegangi kepalanya yang terasa sakit. Ketika dia menyisir rambut dengan jemarinya, segumpal rambut rontok di tangannya.
“TIDAK... Tidak mungkin...” bisiknya, sebelum tangisnya pecah. “Hiks... hiks...”
Arhan mendengar tangis itu dan segera mengetuk pintu. “Sayang, buka pintunya! Kamu kenapa, Ara?”
mohon dukungan like dan vote nya 🙏🏻😁