Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19-Membujuk
Kuhidangkan teh hangat beserta biskuit di atas meja. Bang Fariz terlihat mengernyitkan kening, bisa kutangkap saat ini dirinya tengah kebingungan. Sebab, aku memang sangat jarang menghidangkan teh, lebih sering menyeduhkan kopi yang memang menjadi minuman favoritnya.
"Tumben teh? Ditambah biskuit pula," katanya terheran-heran.
"Gak papa, biar bervariasi aja. Jangan terlalu banyak mengonsumsi kopi, gak baik buat kesehatan Bang Fariz," jawabku.
Bang Fariz manggut-manggut lantas meneguk tehnya hingga sisa setengah gelas. "Kenapa gitu banget lihatin Abangnya? Ada yang salah?"
"Abang capek gak? Mau mandi atau makan dulu?" tawarku karena Bang Fariz memang baru saja pulang kerja.
"Kok kamu aneh sih? Ada apa?"
"Abang capek gak? Mau mandi atau makan dulu?" ulangku enggan menjawab pertanyaannya.
Bang Fariz menghela nafas singkat lantas berucap, "Nggak capek, alhamdulilah kerjaan hari ini gak terlalu banyak. Mandi dan makannya nanti aja."
Aku pun mengangguk dan tersenyum tipis. "Ada yang mau aku omongin sama Abang."
Bang Fariz malah terkekeh pelan dan mengacak gemas puncak kepalaku yang saat ini tak tertutup hijab. "Apa?"
Aku membawa tangan Bang Fariz dalam genggaman, menatapnya dengan penuh kelembutan, lalu berujar, "Besok antar aku ke rumah sakit, bisa?"
Sontak Bang Fariz pun melepaskan genggamannya dan beralih memegang keningku. "Kamu sakit apa, hm? Kenapa gak bilang dari tadi. Sekarang juga Abang anterin. Gak usah nunggu besok. Jangan buat Abang khawatir."
Aku tertawa kecil melihat raut kepanikan di wajahnya. Di mataku sangat amat menggemaskan. "Abang lucu," komentarku masih dengan diiringi tawa.
"Abang khawatirin kamu, malah dibilang lucu. Kesehatan jangan dibuat bercandaan, Kirania."
"Aku gak papa, alhamdulilah sehat wal afiat. Aku minta anterin ke rumah sakit buat ketemu dokter kandungan. Kita program hamil yah, Bang," terangku.
Tak ada sedikit pun respons, Bang Fariz malah berkawan geming.
"Bang Fariz kenapa?"
Sebuah gelengan Bang Fariz berikan. "Kenapa tiba-tiba? Ada orang yang julidin kamu lagi yah?"
Tak mungkin aku berterus terang, alasan mendatangi dokter kandungan hanya alibi agar aku bisa membawa Bang Fariz ke rumah sakit tempat Papanya dirawat.
"Memangnya Abang gak mau punya momongan? Kok malah kayak gak antusias gitu."
Bang Fariz kembali menggenggam tanganku. Tatapannya begitu teduh menenangkan. "Ada atau tidak adanya anak di tengah-tengah kita, Abang gak masalah. Anak itu rezeki, kalau diberi kita syukuri kalaupun tidak jangan sampai kita berkecil hati. Tujuan kita menikah bukan untuk itu, kamu jangan pikirkan apa kata orang. Mereka gak tahu apa-apa tentang hidup kita."
"Hanya konsultasi, gak lebih. Abang gak mau?"
"Seberapa besar keinginan kamu untuk memiliki momongan?" Bang Fariz malah mengajukan sebuah pertanyaan.
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berucap, "Bukankah itu keinginan lumrah manusia? Menikah lantas memiliki keturunan."
"Pernikahan kalau dibangun hanya untuk melahirkan manusia baru, pasti gak akan bertahan lama. Karena pasti akan berpisah jika tujuan itu tidak terlaksana, padahal memiliki anak ataupun tidak, sama-sama ujian. Manusia itu kadang tidak puas dengan satu pencapaian, selalu ingin yang lebih. Saat masih sendiri, mau menikah supaya punya pasangan, saat sudah menikah minta diberi momongan. Siklusnya akan terus seperti itu."
"Abang gak mau mengikuti permintaan kamu, hanya untuk menepis stigma masyarakat yang selalu menyudutkan perempuan kalau belum kunjung dikaruniai momongan. Abang akan lebih senang, kalau kamu mengajak Abang ke dokter kandungan karena kita memang sama-sama menginginkan keturunan, bukan atas dasar desakan orang lain, apalagi bertujuan untuk membungkam mulut orang-orang yang gak suka sama kita."
"Untuk menjadi orang tua, kita harus punya bekalnya. Kita gak bisa hanya bermodalkan mau, tapi minim akan ilmu. Kasihan, anak kita yang akan menjadi korban nantinya," tukas Bang Fariz.
Niat hati hanya ingin beralibi, malah perbincangan ini dianggap serius oleh Bang Fariz. Sepertinya alasan yang kubuat tidak cukup kuat untuk bisa membawa Bang Fariz menemui ayah kandungnya.
"Memangnya Mama gak pernah nuntut untuk diberikan cucu? Abang, kan anak tunggal."
Bang Fariz malah tertawa kecil dan mencubit pelan pipiku. "Mama gak banyak nuntut, lihat aku sama kamu hidup rukun dan bahagia juga sudah lebih dari cukup. Kamu jangan kebanyakan nonton sinetron, Mama gak akan menyuruh aku untuk selingkuh apalagi berpoligami."
Aku membatu di tempat, terlebih saat kata selingkuh dan poligami terucap dari bibir Bang Fariz. Mendadak teringat dengan cerita Mbak Rumi dua hari lalu.
"Kok malah bengong? Mikirin apa, hm?"
"Gak papa, kok."
Bang Fariz geleng-geleng kepala. "Kamu ini aneh, sekarang lebih sering bengong. Jangan terlalu ambil pusing omongan orang, gak ada faedahnya tahu."
Sepertinya Bang Fariz masih mengira aku menerima banyak judgement dari orang-orang, karena masalah keturunan. Padahal aku sama sekali tak ambil pusing akan hal itu, yang saat ini aku pikirkan bagaimana caranya membawa Bang Fariz ke rumah sakit. Hanya itu.
"Aku mau tanya sesuatu sama Abang, tapi Abang jangan marah yah."
Bang Fariz mengangguk singkat.
"Apa Abang gak penasaran sama keberadaan Papa sekarang? Selama kita menikah, gak pernah sedikitpun Bang Fariz menceritakan beliau. Aku hanya sekilas tahu, itu pun dari cerita Mama. Memangnya Abang gak mau ketemu sama beliau?" tanyaku sehati-hati mungkin. Takut salah bicara dan malah tak sengaja membongkar rahasia yang sudah Mbak Rumi amanahkan.
"Kenapa kamu tiba-tiba bahas dia?" sahut Bang Fariz dengan suara dingin dan rahang yang sudah mengencang keras.
Aku mendadak gagu, bingung harus menjawab pertanyaannya.
"Saat dia memutuskan untuk memilih selingkuhannya, saat itu juga Abang sudah menganggap dia nggak ada. Abang hanya punya Mama."
Aku mengelus pelan lengannya, berharap bisa sedikit menenangkan emosi Bang Fariz yang tiba-tiba naik ke permukaan. "Abang mandi dulu yah, aku siapkan air hangatnya."
Tanganku dicekal Bang Fariz, hal itu membuat langkahku terhenti. "Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Abang, Kirania?!"
Aku merapatkan mata sejenak, sebelum akhirnya kembali membalik arah agar kami saling berhadapan. Sebisa mungkin aku terlihat tenang, bahkan aku pun memberikan senyum lebar. "Gak ada, Bang Fariz. Maaf kalau pertanyaan aku tadi membuat Abang gak nyaman dan tersinggung. Aku hanya penasaran, gak lebih."
Tanpa diduga Bang Fariz merengkuhku dengan sangat erat. Pelukan yang entah apa artinya, aku pun hanya mampu membalas pelukan itu dan mengelus lembut punggungnya.
"Aku gak mau Abang menyimpan dendam, apalagi sama ayah kandung Abang sendiri. Aku tahu kesalahan Papa memang fatal dan sulit dimaafkan, tapi aku gak mau memiliki suami yang hatinya diliputi rasa dendam. Mau seburuk apa pun beliau, akan tetap menjadi ayah kandung Bang Fariz. Berbakti pada beliau tetap menjadi suatu kewajiban," bisikku berharap hati Bang Fariz sedikit luluh.
"Saat ini Papa sedang dirawat di rumah sakit, kondisinya jauh dari kata baik. Aku gak akan memaksa Abang untuk mengunjungi beliau, aku tahu luka yang Bang Fariz rasa belum pulih benar."