Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Restoran mewah itu berdengung dengan bisikan halus dan tawa tertahan. Axel duduk tegak, aura dingin mengelilinginya seperti lapisan es. Jas hitamnya tampak sempurna, namun tatapan matanya tajam dan menusuk, tanpa sedikit pun kelembutan. Ia memainkan sendok garpu dengan acuh tak acuh, sesekali melirik jam tangan mahalnya seakan waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan sedang disia-siakan.
Clara, gadis yang duduk di hadapannya, terlihat gugup. Ia mengenakan gaun merah yang mencolok, namun kecantikannya tersamarkan oleh kegugupannya.
Clara memberanikan diri untuk memulai percakapan, suaranya sedikit gemetar.
"Senang bertemu denganmu, Axel."
Axel hanya berdehem, tanpa menatap Clara. Ia mengangkat segelas air mineral dan meminumnya dengan gerakan yang sangat terukur. Sikapnya dingin dan menyinggung.
"Aku tidak tertarik dengan basa-basi," potong Axel, suaranya datar dan tanpa emosi.
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan."
Clara menggigit bibirnya. Ia tahu Axel terkenal dingin dan kejam, namun ia tak menyangka akan sedingin ini. Namun, ada sesuatu dalam diri Axel yang membuatnya tak bisa menyerah begitu saja. Ada aura misterius dan kuat yang menariknya. Meskipun sedikit takut, Clara mencoba untuk tetap tenang.
"Aku… aku ingin mengenalmu lebih dekat, Axel," kata Clara, mencoba menjaga agar suaranya tetap stabil.
"Aku tahu kau mungkin tidak tertarik, tapi aku ingin membuktikan padamu bahwa aku layak untukmu."lanjut clara lagi.dia begitu percaya diri.
Axel menyeringai tipis, sebuah senyuman yang lebih menyerupai cemoohan.
"Layak? Dasar pemikiran yang naif. Tidak ada yang layak untukku."
Clara menahan napas. Kata-kata Axel menusuk hatinya, namun ia tak menunjukkannya. Ia bangkit berdiri, tatapannya menantang.
"Mungkin kau benar," kata Clara, suaranya sedikit bergetar, tapi tetap teguh.
"Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan menunjukkan padamu siapa aku sebenarnya, Axel. Aku tidak akan mudah menyerah."katanya tegas.
Axel mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan keberanian Clara. Ia terbiasa melihat wanita-wanita terintimidasi oleh sikapnya, namun Clara berbeda. Ada percikan api dalam dirinya, sebuah keberanian yang jarang ia temukan. Untuk pertama kalinya, Axel merasa sedikit tertarik.
Bukan tertarik pada Clara sebagai seorang wanita, tapi tertarik pada keberanian dan keteguhannya. Ia tertantang. Pertemuan ini, yang awalnya ia anggap sebagai sebuah kewajiban yang membosankan, kini terasa lebih menarik. Permainan telah dimulai.
Mata Axel, sedingin es, kembali memindai ruangan restoran mewah itu. Ia mencari sosok seorang wanita.bukan dengan kerinduan, melainkan dengan perhitungan yang dingin dan akurat. Kehadiran Clara, dengan keberaniannya yang tak terduga, telah membuatnya jengkel.
Yah,dia adalah Elina, bukan sekadar wanita cantik, melainkan bagian penting dari rencananya yang telah disusun matang-matang. Kesepakatan di antara mereka terjalin kuat, sebuah ikatan yang didasari oleh kepentingan, bukan perasaan.
Clara, yang merasakan tatapan tajam Axel, merasakan gelisah yang semakin menguat. Ia tahu, sesuatu yang tidak menyenangkan akan segera terjadi. Ia mencoba untuk tetap tenang, namun kegelisahan mulai menguasainya.
Axel bangkit, meninggalkan Clara yang semakin cemas. Ia mendekati Elina, yang berdiri di dekat pintu masuk, terlihat gugup namun berusaha tegar. Tidak ada sapaan hangat, tidak ada senyuman ramah, hanya tatapan dingin yang penuh perintah. Elina mengangguk kecil, sebagai tanda pemahaman atas rencana mereka. Kesepakatan mereka telah terpatri dalam setiap tatapan mata.
Axel memperkenalkan Elina kepada Clara, suaranya datar dan tanpa emosi.
"Ini Elina, pacarku." Kata katanya jelas dan tegas, bukan ungkapan perasaan. Tidak ada kehangatan, hanya kehampaan yang dingin dan penuh perhitungan.
Elina, dengan sedikit ragu, membalas senyuman tipis Clara. Namun, di balik senyum itu, tersimpan kesepakatan rahasia mereka. Elina tahu, perannya dalam rencana ini sangat penting. Ia harus berpura-pura menjadi kekasih Axel untuk mengakhiri pertemuan ini dan menghancurkan harapan Clara.
Clara terdiam, merasakan tamparan keras yang tak terlihat. Ia menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban dalam permainan dingin Axel dan Elina. Mereka telah merencanakan semuanya dengan rapi. Kekalahan Clara bukan hanya kekalahan pribadi, tetapi juga kekalahan atas sebuah harapan.
Axel, dengan tatapan puas, menikmati kekalahan Clara. Rencananya telah berjalan sempurna. Kesepakatan dengan Elina telah terlaksana dengan baik. Elina, dengan perannya sebagai kekasih palsu, telah berhasil menghancurkan harapan Clara.
Kekejaman dan keangkuhan Axel terpancar dengan jelas, sementara Elina, meskipun terlihat gugup, telah menjalankan perannya dengan sempurna. Permainan telah berakhir, dan Axel telah memenangkannya.
Clara terdiam sejenak, matanya menatap tajam Elina, lalu beralih ke Axel yang masih mempertahankan wajah dinginnya, acuh tak acuh terhadap situasi yang menegangkan. Kekalahan ini bukan akhir dari segalanya. Siapa yang tak kenal Axel Steele? Pengusaha muda yang sukses, tampan, dan penuh misteri. Itulah yang membuat Clara terlanjur jatuh hati. Kekalahan ini hanya akan membuatnya semakin bersemangat.
"Kau pikir ini sudah berakhir?" bisik Clara, suaranya bergetar menahan amarah, namun tatapannya penuh tekad. Ia menatap Elina.
"Kau hanya boneka di tangannya. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan."
Elina semakin gemetar, wajahnya pucat pasi. Ia tak menyangka Clara akan mengancamnya. Ia hanya menjalankan perannya sesuai kesepakatan dengan Axel, namun ia tak menyangka akan berujung pada ancaman ini. Ketakutan yang sebenarnya mulai muncul. Ia hanya seorang wanita biasa, bukan pemain dalam permainan berbahaya ini.
"Jangan coba-coba mengusikku lagi," lanjut Clara, suaranya lebih keras kali ini.
"Aku tahu kau hanya dimanfaatkan. Dan aku tidak akan menyerah begitu saja." Clara kemudian berdiri, meninggalkan Axel dan Elina dalam keheningan yang mencekam.
Axel hanya mengamati kepergian Clara dengan tatapan dinginnya. Ia tak menunjukkan emosi apa pun, seolah-olah ancaman Clara tak berarti baginya. Sikap acuhnya semakin memperkuat citra dingin dan kejamnya.
Elina, yang masih gemetar ketakutan, menoleh ke Axel, berharap mendapatkan sedikit dukungan atau setidaknya rasa simpati. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin yang sama. Axel tidak menunjukkan sedikit pun rasa khawatir atau simpati terhadap ketakutan Elina.
Baginya, Elina hanyalah alat, dan alat yang sudah digunakan akan dibuang begitu saja. Ia tidak peduli terhadap perasaan Elina. Yang penting, rencananya telah berhasil. Clara telah mundur, untuk sementara.
Elina tersentak, menyadari bahwa ia sendirian dalam permainan ini. Ia telah menjadi korban dari kesepakatan yang ia buat sendiri. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.
Setelah Clara pergi, meninggalkan jejak kekecewaan dan amarah, keheningan mencekam menyelimuti restoran mewah itu. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang sesekali beradu, memecah kesunyian yang berat. Elina masih berdiri tegang, tubuhnya gemetar menahan beban yang tak terlihat. Ia menunggu.
Beberapa saat kemudian, notifikasi dari ponselnya berbunyi. 500 juta rupiah telah ditransfer ke rekeningnya. Kesepakatan telah terlaksana. Axel telah menepati janjinya. Namun, bukan rasa lega yang ia rasakan, melainkan beban yang semakin berat. Uang itu terasa seperti batu panas yang membakar tangannya.
Axel bangkit, tanpa sepatah kata pun. Ia menatap Elina dengan tatapan dingin, matanya seperti dua butir es yang tak mencair.
"Sudah selesai.dan setelah ini aku jamin kita tidak akan bertemu lagi" ucapnya singkat, suaranya datar dan tanpa emosi..
.
.
.
.
Lanjut yah
See you 😊