Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan Nara Dengan Arven
Pergerakan Nara begitu cepat dari prediksi orang-orang di istana. Gadis itu bahkan tidak memberi ruang sedikit pun untuk dirinya mengeksplorasi kerajaan bayangan. Semacam menelusuri kuliner, baju, atau cowok ganteng misalnya. Nara benar-benar hanya tertarik pada sebuah kasus.
Setelah mengantongi bukti portal rusak beserta rekam jejak energi yang ditinggalkan, Nara bergegas ke langkah selanjutnya tanpa menye-menye. Pertama, dia menganalisis masalah hasil panen melimpah namun selang sehari langsung krisis pangan, dia kepikiran pada lumbung penyimpanan yang tersebar di beberapa titik. Nara mengunjungi satu diantaranya, dipilih dari letaknya yang paling terpencil.
Di sana, mata Nara menyapu setiap bagian yang ada. Ceruk tak abai dia sentuh, seluruhnya ia jajaki dengan teliti. Sampai Nara kepikiran, dimana ada gudang penyimpanan, disitu pasti ada rekapan. Dia minta pada penjaga lumbung tentang rekapan tersebut kemudian akan dicocokkan dengan yang ada di istana. Tahu tidak apa yang terjadi? Nara menemukan angkanya beda jauh dengan laporan resmi ke Istana.
Selepas menemukan bukti tersebut, Nara kembali ke Istana untuk membicarakan soal ini kepada Arven. Nara melangkah tegas seperti biasa dengan kepala tegak. Meskipun tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang dari lumbung, pikirannya masih terfokus dan tajam. Hasil pencarian bukti tadi menjadi kekuatan baru baginya--yang kemudian untuk dikembangkan.
Di tangannya tergenggam sebuah gulungan kertas dengan coretan-coretan penting. Itu bukan sekadar coretan, tapi kunci untuk mengungkap siapa yang bermain kotor di balik pengalihan hasil panen rakyat.
Begitu memasuki aula utama istana, suasana berubah tegang. Mata-mata penuh penilaian dari para putri bangsawan dan istri para menteri tertuju padanya. Mereka duduk anggun di kursi-kursi berukir, berbincang ringan sambil menyeruput teh, tapi pembicaraan mereka langsung terhenti begitu Nara masuk. Beberapa bahkan sengaja menyeringai sinis, seakan mengingatkan bahwa dia hanya orang luar di tempat ini.
"Ah, nona Nara sudah kembali," ujar salah satu dari mereka, suaranya tinggi dan dibuat-buat. "Sungguh mengagumkan, seorang wanita sepertimu begitu rajin berkelana ke tempat-tempat yang... seperti laki-laki."
Nara menoleh dengan senyum tipis, matanya tak tergoyahkan. "Betul sekali, tempat-tempat itu sering menyimpan banyak kejujuran. Sesuatu yang terkadang sulit ditemukan di istana yang penuh kemewahan." Begitu katanya, membuat gadis-gadis yang ada di sana terperangah.
Seseorang tertawa kecil, tapi nadanya menyindir. "Tentu saja. Tapi aku penasaran, bagaimana nona Nara bisa begitu sibuk. Bukankah tugas seperti itu lebih cocok untuk rakyat biasa?"
"Justru karena itu," balas Nara dengan tenang. "Tugas ini memerlukan kepekaan untuk melihat apa yang biasa diabaikan oleh mata yang terbiasa dengan kemewahan. Saya pikir, kita semua di sini terlalu sibuk dengan cermin masing-masing untuk memahami rakyat."
Tatapan mereka saling bertukar, beberapa tampak terkejut oleh ketajaman jawabannya. Namun, yang lainnya memilih menyerang dari arah lain.
"Tapi jangan lupa, ada aturan tak tertulis di sini. Seorang wanita dengan latar belakangmu seharusnya tahu batasnya."
Nara mendekati meja tempat mereka duduk, sengaja berdiri sedikit lebih tinggi dari posisi mereka. "Aturan itu ditulis oleh siapa? Mereka yang takut perubahan? Atau mereka yang khawatir akan kehilangan sesuatu yang bukan miliknya?" Nada suaranya lembut, tapi maknanya sepedas seblak level sepuluh.
Perlahan, suasana di ruangan itu berubah. Salah satu dari mereka, seorang wanita muda dengan gaun merah berkilauan, mencoba tertawa meski suaranya terdengar canggung. "Kau benar-benar berani, nona Nara. Tapi semoga keberanianmu itu tidak membawamu ke dalam bangsal nestapa."
Nara menatapnya lekat, senyumnya tetap menghiasi wajahnya. "Keberanian yang benar selalu membawa seseorang ke jalan yang benar, walaupun jalannya sulit. Dan jika itu menakutkan untuk beberapa orang, maka mungkin mereka harus bertanya pada diri sendiri... apa yang sebenarnya harus takutkan?"
Ruangan itu kembali sunyi. Nara tidak menunggu balasan langsung pergi dari sana. Ia membalikkan badan dan melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan mereka dengan senyuman kecil.
Pangeran Arven, kau dimana? aku ingin bertemu.
...****...
Nara menatap Pangeran Arven yang berdiri di hadapannya dengan tenang. Mereka berada di tempat tersembunyi milik Arven.
"Di lumbung itu," ujar Nara, mengeluarkan selembar catatan dari sakunya, "aku menemukan papan rekap panen yang angkanya jauh berbeda dari laporan resmi ke istana. Ada sesuatu yang tidak beres di sini."
Arven mengamati catatan itu sekilas, wajahnya tetap tak terbaca. "Papan rekap seperti ini seharusnya tak mudah dimanipulasi," gumamnya sambil mengembalikan kertas itu. Ia kemudian menatap Nara, "Kau tahu, informasi seperti ini tak bisa hanya dibiarkan menggantung tanpa dasar yang kuat."
"Aku tahu itu," jawab Nara tegas. "Makanya aku memberitahumu. Tapi aku butuh lebih dari sekadar keyakinan. Aku butuh dokumen pendukung, bukti yang tak bisa dibantah. Kalau kau punya cara untuk---"
Sebelum Nara selesai bicara, Arven menyela. "Ikut aku." Tanpa menunggu jawaban, ia mulai berjalan menuju lorong sempit di belakang taman. Nara mengikutinya, meskipun penuh tanda tanya. Lorong itu ternyata mengarah ke sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik pohon besar. Arven membuka pintu itu dengan kunci khusus, memperlihatkan sebuah tangga spiral yang mengarah ke bawah.
"Kita akan ke ruang arsip istana," ujar Arven sambil menuruni tangga. "Ada jalur distribusi dan catatan administratif di sana. Kalau papan rekap yang kau temukan memang tak sesuai dengan laporan istana, aku yakin kita bisa menemukan jejak manipulasi di sana."
Lorong bawah tanah yang sempit dan berliku akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi rak-rak kayu tinggi, penuh dengan gulungan perkamen dan buku tebal. Cahaya dari beberapa lentera menggantung di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak. Nara menyapu pandangannya ke sekeliling, merasakan atmosfer ruangan yang beraroma tua dan berdebu. Arven melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan, mengambil beberapa dokumen dari salah satu rak, lalu menyerahkannya pada Nara.
"Ini daftar distribusi panen resmi," kata Arven sambil menunjuk salah satu dokumen. "Cocokkan dengan peta distribusi yang kau temukan di lumbung."
Nara membuka gulungan peta yang dibawanya, meletakkannya di atas meja, lalu membandingkannya dengan dokumen yang disediakan Arven. Dahinya berkerut saat ia memperhatikan, "Pangeran, lihatlah ini!" katanya sambil menunjuk salah satu wilayah di peta.
"Menurut peta di lumbung, sebagian hasil panen dialihkan ke wilayah selatan, tapi laporan resmi menyebutkan distribusi penuh ke barat."
Arven mendekat, matanya menyusuri garis-garis di peta. "Jika ini benar, maka ada hasil panen yang disembunyikan. Tapi kita butuh bukti lain untuk menguatkan klaim ini." Nara mengangguk dan melanjutkan pencariannya di meja. Tangannya berhenti ketika ia menemukan gulungan dokumen lain yang disertai stempel kerajaan. Mata Nara menyipit, memerhatikan cetakan stempel itu. "Ini aneh," gumamnya.
Arven mendekat lagi, kali ini fokus pada dokumen yang dipegang Nara. "Apa yang aneh?" Nara mengarahkan jarinya ke detail kecil di stempel. "Lihat simbol ini. Garisnya lebih kasar dibandingkan stempel yang asli." Ia kemudian mengeluarkan dokumen lain untuk membandingkan.
"Stempel ini palsu. Ini jelas digunakan untuk membuat perintah resmi yang tidak pernah dikeluarkan oleh istana." Seru Nara.
Arven menarik napas panjang. " Sebentar lagi, Kau akan mengguncang sistem di kerajaan ini Nara. Aku hanya mau mengingatkan, tanpa bantuan dariku, kau tidak bisa masuk kesini."
"Hehehe, iya ya. Raja sudah menjanjikan ku hadiah sebagai tanda pembersihan nama, jika aku berhasil menemukan bukti bahwa aku bukan pelakunya. Nanti hadiahnya buat Pangeran saja."
"Bisa aku tagih janjimu ini?" Arven meminta kejelasan.
"Bisa Pangeran. Terimakasih sudah selalu ada ketika aku butuh bantuan. Tidak seperti Uto, pemandu yang diutus oleh dirimu. Dia kadang-kadang suka menghilang disaat genting hehe." Nara cengengesan, mengadukan anak buah kepada bosnya. Arven tersenyum lebar. Matanya menatap Nara dengan cara yang sama Uto menatap gadis itu.
Eh, kenapa aku seperti sedang melihat Uto?
"Pangeran, walaupun aku berkata jujur, namun tolong jangan hukum Uto karena aduan ku ini. Meskipun dia suka menghilang, tapi dia baik kok. Asyik juga jadi pemandu, tidak terlalu kaku. Dia sarkas, tapi kadang-kadang juga bijak. Apa dia sedang di tugaskan ke tempat lain?"
Entahlah. Semakin dilihat-lihat, senyumnya, tatapan matanya, Arven begitu mirip dengan Uto. Nara menundukkan kepala, kemudian melihat lagi ke arah Arven. Memicingkan mata, lalu menunduk lagi sambil cengar-cengir. Kenapa jadi berhalusinasi begini? Gumam gadis itu sambil menepuk-nepuk pipi.
"Nara, lo kangen gue ya?" Begitu kata Arven. Jantung Nara berdegup diluar batas kewajaran.
"Uto?"
"Iya. Uto adalah bagian dari ku. Uto adalah Arven. Arven adalah Uto. Mau peluk gak nih? Mumpung gue dalam mode Uto."
"Aaaaahhh Uto, ternyata lo Pangeran Arven!!!"
.
.
Bersambung.