Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 14
Brak!
Mataku seketika terpejam tatkala Raka menggebrak meja. Tubuhnya berdiri dengan mata menatap nyalang padaku. Kuhela napas menenangkan hati yang tersengat rasa terkejut.
"Jangan harap kamu bisa pisah sama aku, Shanum. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah menceraikan kamu!" tekannya penuh emosi.
Kutekan rasa sakit yang mendera hati, sesak yang menghimpit rongga dada. Perih segala rasa dengan keegoisan laki-laki yang menikahiku ini. Kubuka mata perlahan, tepat di hadapanku jari telunjuk Raka menuding lurus.
Kulirik matanya, kutepis jari tersebut agar turun dari wajah. Dia pikir aku takut dengan mata merahnya? Dia pikir aku akan melemah dengan luapan emosinya? Jika dulu iya, tapi kali ini tidak! Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri.
"Kita ngomong di rumah, nggak di sini. Nggak enak dilihatin banyak orang, ini aib keluarga kita," kuutarakan keinginan, sekalian saja aku undang orang tua untuk menyaksikan keputusan finalku. Rumah tangga yang kubina rasanya tak dapat aku pertahankan lagi.
"Nggak perlu! Kenapa kamu bilang mau pisah cuma gara-gara Shila minta maaf sama kamu?!" hardik Raka masih dengan posisi berdiri menatap nyalang ke arahku.
Aku mengerutkan dahi mendengar ucapannya. Shila meminta maaf? Kapan dia meminta maaf kepadaku?
"Dia datang mau minta maaf sama kamu, Shanum, tapi kenapa kamu ngomong macam-macam sama dia. Kamu bilang dia perempuan nggak baik, kamu juga bilang kalo kamu mau pisah sama aku. Apa maksud kamu? Aku cuma nolongin Shila, nggak lebih. Kamu terlalu berlebihan!"
Lagi-lagi Raka menggebrak meja, kemudian membanting diri di atas kursi. Astaghfirullah al-'adhiim! Jadi, Shila ngadu begitu sama Raka. Dasar perempuan licik, demi mendapatkan simpati Raka dia sampai mengarang cerita.
"Maaf, tapi aku nggak mau ngomong di sini. Aku tunggu kamu di rumah, kita selesaikan masalah malam ini juga!" tegasku seraya berdiri dari duduk dan berlalu begitu saja. Tak kuhiraukan panggilan Raka yang terus terdengar, aku tetap melangkah keluar setelah membayar makananku.
Menyelesaikan masalah di tempat umum bukanlah hal yang baik apalagi ini menyangkut aib rumah tangga yang seharusnya orang lain tak pernah tahu. Kulajukan mobil meninggalkan restoran masih dapat kulihat melalui kaca spion Raka mengejar, tapi kemudian berhenti menatap kepergianku.
Kurogoh ponsel, memutuskan mengundang Mamah dan Papah untuk datang ke rumah menyelesaikan semua masalah.
"Mah, nanti malam mamah sama papah ke rumah, ya. Shanum tunggu," pintaku melalui seluler yang lantas disanggupi Mamah tanpa bertanya ini dan itu.
Aku juga mengirim pesan kepada mamah mertua meminta keduanya untuk datang. Enggan menelpon karena sudah pasti dia akan bertanya ini dan itu. Tak lagi mampir ke manapun aku segera ke rumah menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka.
Entah ke mana perginya Raka, aku tak peduli. Yang pasti, datang atau tidak dia malam nanti aku akan tetap membicarakan keputusanku kepada mereka.
****
"Ya, wa'alaikumussalaam!" Kujawab salam yang diiringi ketukan pada pintu. Suara Mamah terdengar.
"Mamah!" Kuhamburkan tubuh memeluk wanita paling berjasa dalam hidupku ini. Ingin rasanya aku menangis, menumpahkan segala rasa sakit yang mendera hatiku.
Namun, kutahan air mata agar tak melaju turun menjatuhi pipi. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Kuurai pelukan bergantian pada pelabuhan cinta pertamaku yang tak pernah menyakiti.
"Papah!" Kurasa lisanku bergetar kala memanggilnya. Apakah aku lemah di hadapan laki-laki ini? Aku rapuh. Kusapu sudut mata segera agar embun yang berkumpul tak lolos begitu saja.
Pelukan hangat yang selalu memenangkan, dan belum pernah aku dapatkan dari Raka, suamiku. Betapa beruntungnya Mamah mendapatkan laki-laki penuh cinta dan kasih sayang seperti Papah.
"Masuk, yuk. Shanum kangen sama Mamah sama Papah," ajakku sembari menarik tangan keduanya untuk masuk ke dalam rumah.
Kusuguhkan dua cangkir teh hangat berikut camilan yang aku buat sore tadi. Benar-benar, sampai malam menggantikan siang Raka belum terlihat batang hidungnya.
"Dalam rangka apa kamu ngundang kami ke sini, Nak? Nggak biasanya, kenapa nggak datang ke rumah aja? Si Mbah sama Eyang kangen sama cucunya," tanya Mamah sambil tersenyum cerah.
Aku tersenyum, teringat pada kedua lansia yang aku bawa dari Jawa sana. Semoga keduanya sehat dan baik-baik saja.
"Iya, Shanum juga kangen sama mereka. Mereka betah tinggal di sini, Mah?" Aku yakin, mereka berdua pasti tidak terbiasa dengan kehidupan kota.
"Ya, begitulah, Sha. Katanya bosan nggak ada kebun, cuma lahan kecil aja di belakang rumah dan sekarang banyak sayurannya ditamanin si Mbah." Mamah melirik Papah, sedikit tersenyum. Lalu, kembali menatapku setelah mengedarkan pandangan ke seisi rumah.
"Di mana Raka? Apa dia belum pulang?" Mamah bertanya sembari melipat dahinya.
"Mungkin bentar lagi, biasa akhir bulan pembukuan."
Maaf, Mah. Shanum bohong.
Mamah terlihat maklum dan tidak mempertanyakan lagi tentang keberadaan Raka. Tak lama suara salam kembali terdengar, Mamah dan Papah mertua menyusul kemudian. Mereka masuk ke rumah sebelum aku sampai ke pintu.
"Lho, ada besan juga di sini? Ada acara apa ini?" seru Mamah mertua seraya memeluk Mamah.
Terjadi perbincangan hangat seputar cucu mereka yang sedang aku kandung. Mereka tampak akrab, Mamah mertua terlihat berbeda di depan Mamah, tapi percakapannya dengan Raka di rumah sakit tak dapat aku lupakan.
"Udah waktunya makan malam, Shanum udah masak banyak. Kita makan dulu," ajakku pada mereka menyudahi obrolan. Semua beranjak menuju dapur, Papah mertua menatap takjub hidangan di atas meja.
Mereka tampak antusias ingin segera menyantap makanan yang kubuat dengan tangan sendiri.
"Lho, Raka di mana, Sha? Apa dia belum pulang?" tanya Mamah mertua ketika teringat pada anaknya.
"Belum, Mah. Mungkin sebentar lagi juga datang," jawabku sambil mengulas senyum.
Tak ada lagi pertanyaan tentang Raka, semua mulai sibuk dengan makanan di piring masing-masing. Entah, di mana Raka saat ini dan sedang bersama siapa. Apakah bersama Shila?
Ting!
Sebuah pesan masuk ke ponselku, kulirik pesan bergambar entah dari siapa. Nomor asing. Kubuka pesan tersebut, sebuah gambar yang memperlihatkan Raka tengah berada di toko perhiasan. Kuhela napas, semakin yakin dengan keputusanku.
"Dari siapa, Sha?" tanya Mamah mertua menatapku. Aku mendongak dan tersenyum.
"Dari Raka?" Aku hanya bisa mengangguk meski berbohong.
Tak lagi bertanya, ia kembali melanjutkan makannya. Astaghfirullah al-'adhiim! Kenapa Raka semakin menjadi saja? Bukannya pulang ke rumah, malah pergi bersama perempuan itu. Ya Allah! Apa yang merasuki pikiran suamiku itu?
Tak habis pikir memang, tapi untuk apa Raka di toko perhiasan? Apa dia sedang membelikan Shila perhiasan? Ya Allah! Keadaan toko sedang sekarat, dia malah menghamburkan uang.
"Assalamu'alaikum!"
"Nah itu ...."
Panjang umur.