Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Hanya Berdua
Ratri langsung bereaksi mendengar ucapan Eliana. Dia menatap sesaat, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan. “Yang benar saja,” gumamnya, seakan tak percaya dengan apa yang Eliana katakan.
“Praduga seperti itu tiba-tiba muncul di benakku.”
“Kuperingatkan satu hal, El,” ucap Ratri, seraya melipat tangan di dada. “Ketika satu prasangka buruk sudah meracuni pikiranmu, maka akan ada banyak masalah yang kamu timbulkan karenanya. Makin lama, kamu tidak lebih dari orang bodoh yang menyedihkan karena diperbudak rasa takut. Terlebih, jika ketakutan itu tak beralasan.”
Eliana terdiam beberapa saat, seakan tengah mencerna ucapan Ratri. “Jadi, menurutmu aku terlalu berlebihan?”
Ratri menggeleng pelan. “Bukan terlalu berlebihan,” bantahnya. “Kurasa, kamu hanya perlu meminta penjelasan secara ….” Tiba-tiba, Ratri tertawa pelan. “Aku tidak pantas memberikan saran padamu. Aku bahkan tidak pernah terlibat dalam hubungan serius dengan siapa pun.”
“Mungkin, itu jauh lebih nyaman,” ucap Eliana menanggapi.
“Entahlah.” Ratri menggeleng pelan. “Aku hanya berusaha menghindari sesuatu, yang akan mendatangkan beban pikiran. Lihatlah aku sekarang, El. Apa aku tampak bahagia?” Ratri berdiri di hadapan Eliana.
“Kamu selalu terlihat tenang dan tanpa beban.”
Ratri tersenyum cukup lebar. “Baguslah. Setidaknya, aku tak terlihat menyedihkan di mata orang lain.”
Setelah berkata demikian, Ratri kembali ke belakang meja kerja. Dia mengembuskan napas dalam-dalam, saat menghadapi pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Lupakan dulu urusan percintaan. Kita punya tanggung jawab yang harus diselesaikan. Pekerjaan,” ucap Ratri sambil menepuk-nepuk permukaan meja. “Tetaplah jadi seseorang yang profesional, El.”
Eliana mengembuskan napas pelan bernada keluhan, seraya kembali ke meja kerjanya. Apa yang Ratri katakan tidaklah keliru. Untuk sejenak, dia harus melupakan masalah pribadi, yang tengah mengusik ketenangannya.
Hari ini, Ratri dan Eliana sepakat untuk menutup firma pukul empat sore. Itulah kenapa, mereka fokus pada pekerjaan selama sisa waktu. Namun, jarum jam seperti bergerak dengan sangat cepat, hingga tiba di angka empat.
“Apa Sastra akan menjemputmu?” tanya Ratri, setelah mereka selesai merapikan meja.
“Aku rasa tidak,” jawab Eliana malas.
Mendengar itu, Ratri langsung mengernyitkan kening. “Apa kalian tidak ada acara? Sore ini, cuaca cerah. Terlalu sayang untuk dilewatkan.”
“Ah, cuaca cerah yang menyedihkan. Kurasa, Sastra sedang sibuk. Seharian ini, dia tidak menghubungiku sama sekali.” Eliana meraih tas dari meja, lalu berjalan keluar.
Sementara itu, Ratri termenung sejenak dekat meja kerja. Dia ingat betul semalam Sastra mengajaknya memilih lukisan. Bagaimana mungkin Eliana tidak diikutsertakan?
Ratri tak mengerti. Lama-kelamaan, dia mulai memikirkan ucapan Eliana. “Apa mungkin Sastra memiliki wanita lain? Jika iya, kenapa dia kembali ke Indonesia?” gumamnya, seraya menaikkan sebelah alis.
“Rat!” panggil Eliana dari ambang pintu keluar. “Kamu mau pulang denganku atau tidak?” tawarnya cukup nyaring.
Seketika, Ratri tersadar. Dia segera meraih tas ransel kecil kesayangan, lalu keluar dari ruang kerja. “Aku masih ada urusan lain.”
“Ya, sudah. Kalau begitu, aku duluan. Jangan lupa kunci pintunya.” Eliana memeluk Ratri sesaat, sebelum masuk ke mobil.
Sepeninggal Eliana, Ratri masih terpaku di ambang pintu. Ada rasa penasaran, yang mulai menggelitik perasaannya.
“Apa maksudmu, Sastra? Kenapa kamu mengajakku, tetapi tidak mengajak Elia?” Pertanyaan seperti itu terus berputar di benak Ratri, saat meninggalkan halaman depan firma.
Ratri berjalan tenang menyusuri trotoar. Namun, baru beberapa langkah, dia tertegun dan menoleh pada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“Sastra?” Ratri menautkan alis, melihat pria itu mendekat.
“Bagaimana dengan rencana semalam?” tanya Sastra, yang sudah berdiri di hadapan Ratri.
Bukannya menjawab, Ratri justru melihat ke sekeliling, seakan memastikan keadaan aman. “Kamu tidak mengajak Elia?”
Sastra menggeleng. “Biar kujelaskan nanti. Mobilku ada di sana.” Dia menunjuk ke belakang, di mana mobil double cabin-nya terparkir. “Ayo,” ajak pria itu santai dan penuh percaya diri, seolah sudah yakin Ratri akan ikut dengannya.
“Aku tidak tahu kenapa kita hanya pergi berdua,” protes Ratri, yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Sastra yang sudah berjalan lebih dulu, tertegun dan menoleh. “Kujelaskan di dalam mobil,” sahutnya enteng, lalu kembali berbalik ke depan. Dia tak menoleh lagi, hingga tiba di dekat kendaraan yang terparkir rapi.
Sastra membukakan pintu penumpang, sambil menatap Ratri penuh arti. Dia menunggu wanita itu mendekat.
Akan tetapi, Ratri tidak menurut. Bukan karena tak paham dengan isyarat dari Sastra, tetapi memang tidak berniat melakukan apa yang pria itu inginkan. Ratri justru memalingkan wajah, bersikap tak peduli.
“Temanku sudah menunggu. Aku juga terbiasa tepat waktu dalam segala hal. Itu merupakan kunci kesuksesan yang paling sederhana,” ujar Sastra tenang, seakan menyindir halus Ratri, yang dianggap membuang waktu.
“Ayolah, Ratri,” bujuk Sastra lembut, tetapi tak terkesan berlebihan. Kesan wibawa masih terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang elegan.
Ratri mengembuskan napas pelan dan dalam. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia mengalah. Ratri mendekat, lalu masuk ke mobil. “Terima kasih,” ucapnya, sebelum Sastra menutup pintu.
“Kembali,” balas Sastra kalem, lalu menutup pintu.
Tak berselang lama, mobil double cabin yang Sastra kendarai melaju gagah, membelah lalu lintas kota di sore yang cerah.
“Jadi, kenapa kamu tidak mengajak Elia?” tanya Ratri, membuka perbincangan.
“Elia tidak memiliki jiwa seni,” jawab Sastra, tanpa menoleh.
“Dia seorang arsitek berbakat,” bantah Ratri.
“Itu merupakan dua hal yang berbeda, Ratri.” sanggah Sastra. Nada bicaranya terdengar lain, saat menyebutkan nama Ratri. Sejujurnya, itu berhasil menghadirkan perasaan aneh di hati si pemilik nama tersebut.
Tiba-tiba, Ratri jadi agak kikuk. Namun, dia berusaha menghalau perasaan itu. dengan bersikap sok tak peduli.
“Kuakui, Elia merupakan arsitek muda yang sangat berbakat. Sama sepertimu,” ucap Sastra, setelah beberapa saat terdiam. “Dia juga pandai menggambar. Namun, bukan untuk sebuah karya seni seperti lukisan. Elia tidak memiliki getaran kuat dalam hal itu,” jelasnya.
“Bagaimana kamu bisa menilai sedetail itu?” Ratri menatap keheranan.
“Bukan hal sulit bagiku untuk menilai seseorang,” jawab Sastra kalem. “Aku pernah mengajaknya ke Perancis. Kami pergi ke museum. Ada banyak lukisan indah dan bernilai seni tinggi di sana. Namun, bagi Elia itu hanya coretan kuas tak bermakna. Dia tak memahaminya sama sekali,” tutur Sastra menerangkan.
“Apakah itu cukup dijadikan sebagai acuan?” Ratri masih menatap penuh keheranan.
“Aku memiliki penilaian sendiri, yang tak harus dijabarkan secara detail padamu. Kurasa, kamu bisa memahami itu.” Sastra menoleh sekilas, seraya tersenyum kalem. Dia terlihat begitu tampan dan menawan.
Ratri terdiam sejenak, sebelum mengangguk. “Baiklah,” ucapnya. “Kurasa tak masalah, selama kamu tidak selingkuh."
"Apa?" Sastra refleks menginjak pedal rem.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...