Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 11
Perhatian : Bagi para pembaca setia "Misteri Rumah Kosong" mohon bantuannya untuk memberikan rating 5 dan komentar di setiap babnya ya, supaya author makin semangat lagi buat update.
Terima kasih sebelumnya. 😊🙏
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beruntung bagi Sukma, ibu mertuanya tiba di rumah sesaat setelah dua wanita sepuh itu selesai menceritakan kisah lama. Kini mbah Sani dan mbah Giyem berbincang dengan ibu mertuanya, sementara Sukma memilih merapikan dapur.
Di lain tempat, Nadira mendekati Rendra yang tengah sibuk menyiangi rumput di kebun kyai Usman. Lelaki itu hanya sendiri di tengah tanaman cabe dan terong. Nadira berjalan pelan hendak mengejutkan Rendra, tapi sayang ia justru terpeleset dan jatuh.
“Aaaw…”
“Astaghfirullah.” Rendra berbalik badan, menemukan seorang gadis jatuh tengkurap di atas tanah kebun yang becek. Hijab dan pakaian gadis itu tentu saja kotor, begitu juga wajahnya. Meski begitu gadis itu justru hanya peduli pada tas bekal di tangan yang ia angkat tinggi-tinggi.
“Tolong selamatkan tas ini Kak,” ucapnya. Dengan wajah kebingungan Rendra tetap menerima tas bekal dari tangan Dira. Setelah itu barulah Dira bangkit dan tersenyum lebar menatapnya.
“Ngapain kamu disini?”
“Cari kak Rendra, mau kasih itu.” Menunjuk tas bekal di tangan Rendra.
Rendra menunjuk sebuah toilet di ujung kebun, meminta Dira membersihkan diri disana. Nadira mengangguk setuju, sementara Rendra memilih duduk pada sebuah pondok bambu tak jauh dari toilet, sambil berjaga kalau-kalau dua temannya tiba-tiba datang.
Tak lama kemudian Dira kembali, noda di pakaian dan wajah sudah hilang, menyisakan basah disana. Gadis itu mengambil duduk tepat di sisi Rendra, dan perlahan Rendra membuat jarak di antara mereka.
Nadira tersenyum kikuk, ia tahu Rendra tak ingin berdekatan dengannya. Sebelumnya lelaki itu pun sudah mengatakan jika tak ingin menjadi dekat atau berteman dengan dirinya. Tapi, itu tak menjadikan semangat Dira melemah, ia justru tertantang untuk menaklukkan hati pria di depannya itu.
“Kak Rendra sedang sibuk ya?”
“Seperti yang kamu lihat. Tapi tunggu, kenapa kamu masuk kesini? kamu nggak tahu peraturannya?”
“Tahu kok, kata mbak Maria santri putri dilarang masuk ke wilayah kamar santri putra.”
Rendra heran dengan jawaban santai gadis itu, ia melirik sebentar gadis yang menurutnya masih kecil itu. “Lantas?”
“Aku kan bukan santri Kak, harusnya nggak masalah kan?” jawab Dira menatap Rendra dengan tatapan polos.
Rendra menghela nafas kasar, gadis di sampingnya begitu pemberani. Sayang sifat pemberani itu dipraktekkan pada tempat yang salah. “Dengarkan Nadira, maksud dari santri putri adalah siapapun perempuan dilarang masuk ke sini. Kecuali, anak-anak.”
“Bukankah kata Kak Rendra aku masih anak kecil?” Nadira tersenyum lebar, bergerak maju tanpa aba-aba. Hal itu cukup mengejutkan Rendra sebab jarak mereka menjadi begitu dekat, Rendra reflek memundurkan kepala, hendak protes tapi sadar jika ternyata Dira hanya ingin mengambil tas bekal miliknya.
“Santai saja Kak, sebentar lagi aku pasti pulang kok. Aku cuma mau antar ini sih, kayaknya pas banget kak Rendra lagi sibuk di kebun gini pasti lapar kan? Aku tadi belajar masak sama ibu.” Nadira berbohong, ia ingin menciptakan kesan wanita dewasa di depan lelaki incarannya itu. “Cobain ya Kak, kasih komentar juga.”
Rendra menatapnya tajam, tapi tak menemukan kalimat yang pas untuk menjawab rasa percaya diri Nadira yang begitu besar. Nadira membuka kotak bekal, lantas menyuguhkan nasi goreng di depan wajah Rendra.
“Ini,” ucapnya. Rendra bergeming, ia bingung. Bolehkah dirinya menerima pemberian gadis itu? sebenarnya dalam hati bertekad tak akan lagi dekat dengan wanita manapun, hanya ingin fokus belajar agama saja. Meski baginya Dira hanya gadis kecil yang baru lulus SMA, tapi tetap saja dia wanita.
“Ayolah Kak, tanganku pegel nih,” rengek gadis itu lagi.
“Kamu makan sendiri aja, aku tak bisa menerimanya.”
“Astaga, orang cuma nasi goreng.” Dira meraih tangan Rendra, memaksanya menerima kotak bekal. Ekspresi terkejut Rendra membuatnya tertawa, lelaki itu terlihat lucu dengan matanya yang membulat. Sementara Rendra justru merasa kan hal aneh, ada desiran halus di hatinya kala melihat senyum ceria gadis kecil itu.
Rendra mengalihkan tatapannya ke arah kebun, mata berkedip-kedip sebagai usaha menetralkan perasaan aneh yang tak seharusnya ada. Ia merasa begitu buruk, baru beberapa hari lalu menghadiri pernikahan wanita pujaan, dan berasumsi tak akan mudah baginya untuk move on, tapi yang terjadi hari ini. Rendra tak bodoh untuk memahami semuanya.
“Lebih baik kamu pulang, kalau sampai kyai dan bu nyai tahu kamu ada disini, mbah Ratih dan kang Jaya yang akan malu, begitupun ibumu.”
“Baiklah, tapi nasi gorengnya dimakan ya. Nanti malam berikan komentarnya, oke?”
Rendra mengangguk, membiarkan Nadira pergi begitu saja. Saat gadis itu melambaikan tangan, ia berpura-pura tak melihat. Dalam hati meyakini bahwa desiran di hatinya hanya karena efek terlalu terkejut saja.
Bahkan ketika Indra tiba-tiba datang di sampingnya, Rendra memberikan nasi goreng pada temannya itu. Ia sendiri memutuskan segera mandi dan beristirahat di kamar.
***
Hujan kembali mengguyur desa malam itu, udara berubah menjadi lebih dingin daripada biasanya. Nadira yang terbiasa menghidupkan kipas angin setiap malam kini memilih membungkus tubuh dengan selimut. Berjalan kesana kemari seperti kepompong, Wijaya menertawakan kekonyolannya itu.
Nenek Ratih berdiam diri di kamar sejak sore, Sukma mengira mungkin ibu mertuanya itu lelah karena seharian sibuk membantu Wijaya membenahi etalase di gudang.
“Wah gimana tuh acara pernikahan di rumah sebelah kalau hujan kayak gini?” tanya Nadira, ini kali pertama ia bersuara setelah badmood sebab tak bisa berangkat mengaji dan berjumpa Rendra.
“Kalau kata orang mungkin pengantinnya mandi itu, makanya hujan,” jawab Sukma terkekeh pelan, tangannya sibuk mengupas kacang kulit.
“Maksudnya gimana Bu? apa hubungannya hujan sama pengantin mandi?”
“Itu cuma mitos Dira, warga desa punya kepercayaan kalau menikah pengantin dilarang mandi karena dikhawatirkan akan turun hujan,” kata Wijaya.
“Idih, gimana konsepnya itu. Masa malam pertama sama suami badan bau asem.”
Sukma tertawa mendengar ucapan putrinya, lantas menguap untuk yang kesekian kalinya. “Aduh, ibu ngantuk sekali malam ini. Tadi juga nggak sempat tidur siang, suara sound nggak berhenti-berhenti.”
“Istirahat aja Mbak, mumpung sound nya mati. Biasanya kalau malam malah dihidupkan khusus tembang-tembang jawa gitu." Wijaya sendiri lantas berpamitan masuk ke dalam kamar, lelaki itu yang paling lelah diantara mereka semua.
“Baiklah, ibu tidur juga. Kamu masih mau nonton televisi?” tanyanya pada sang putri. Dira menggeleng, ia tentu takut jika harus menonton televisi sendiri.
“Ya sudah, kita tidur saja,” ajak Sukma. Mematikan televisi dan hendak masuk ke dalam kamar, tapi tiba-tiba saja Nadira mendahuluinya. “Hey, kenapa?”
“Tidur bareng yuk Bu.”
Sukma tersenyum dan mengangguk, sebenarnya ia juga agak takut setiap kali malam tiba, suara-suara aneh selalu mengganggunya. Sukma mengunci pintu kamar, lantas menyusul Nadira rebah di atas tilam. Tak ada percakapan di antara keduanya, karena Sukma sudah sangat mengantuk, sementara Nadira sibuk melihat sosial media Rendra yang berhasil ditemukannya.
Sekitar pukul satu malam, Sukma terbangun karena ingin buang air kecil. Melihat putrinya tidur begitu nyenyak ia tak tega membangunkannya, dan memilih berangkat sendiri ke kamar mandi. Untuk mencapai kamar mandi, Sukma harus melewati kamar nenek Ratih dan juga kamar Wijaya.
Tapi, saat itu pintu kamar ibu mertuanya terbuka lebar, dan nenek Ratih tak ada disana. Sukma mendengar seseorang membuka pintu belakang, ia bergegas memeriksa siapa yang membuka pintu malam-malam begini.
Sukma berjalan cepat dan ia melihat nenek Ratih keluar membawa ember berisi kelapa, pandan dan beberapa hal lain yang tak dapat dilihatnya secara jelas. Nenek Ratih menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah memastikan tak ada yang melihat pergerakannya. Wanita tua itu lantas berjalan tergesa menuju rumah kosong, Sukma diam-diam mengikutinya, hatinya benar-benar tak nyaman melihat semua ini.
“Ibu, sebenarnya apa yang ibu sembunyikan dari kami?” gumamnya lirih.
.
Tbc