abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Penutupan yang Terlambat
Isabella berdiri di depan pintu yang terbuat dari kayu hitam, gagangnya berkerak dengan ukiran yang mengerikan. Di belakangnya, pria berjubah itu berdiri diam, menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. Tetapi di dalam hati Isabella, hanya ada satu hal yang mengisi kepalanya: keinginan untuk mengakhiri semuanya.
Siklus ini harus dihentikan, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan segalanya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lari lagi. Tidak ada jalan mundur.
Dengan tangan gemetar, Isabella meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu itu terbuka dengan suara berderak yang menakutkan, mengungkapkan ruangan yang sangat besar dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup yang berasal dari sebuah api yang membara di tengah ruangan.
Di tengah ruangan itu berdiri sebuah meja batu besar, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala. Di atas meja, ada sebuah buku besar yang tampak sangat tua, sampulnya terbuat dari kulit yang sudah lapuk. Buku itu tampak seperti kitab yang penuh dengan rahasia kelam.
"Ini adalah akhir dari perjalananmu, Isabella," suara pria itu terdengar di belakangnya. "Kau akan memilih antara kehidupan yang tak terhingga dalam kegelapan, atau mengorbankan segalanya untuk menghentikan semuanya."
Isabella melangkah maju, mendekati meja batu itu. Ia merasa ada sesuatu yang kuat di dalam dirinya yang memaksanya untuk menyentuh buku itu. Rasanya seperti kekuatan yang tak terlihat sedang menariknya.
Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, suara tawa keras kembali menggema di seluruh ruangan. Tawa yang sangat familiar—pria bertopeng.
"Begitu mudahkah kau berpikir bahwa kau bisa mengakhirinya?" suara itu terdengar, semakin dekat, semakin mengerikan. "Kau pikir menghancurkan kastil itu bisa menghapus apa yang telah terjadi? Kau pikir menghancurkan tubuhku bisa menghentikan kegelapan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu?"
Isabella menoleh, dan di hadapannya, sosok pria bertopeng muncul, berdiri di tengah kegelapan, wajahnya semakin kabur, dan matanya bersinar merah.
"Ini adalah takdirmu, Isabella," pria bertopeng itu berkata dengan suara yang seakan datang dari kedalaman jiwa. "Kau adalah bagian dariku. Selamanya."
Isabella merasa kakinya melemah. Namun, di dalam dirinya, ada sebuah dorongan yang semakin kuat. Sebuah suara yang memanggilnya untuk melawan.
---
Perjuangan Terakhir
Dengan seluruh kekuatan yang masih ada, Isabella mengangkat tangan dan menyentuh buku itu. Begitu jarinya menyentuh sampulnya, sebuah ledakan cahaya putih membanjiri ruangan, menyilaukan matanya dan membuat semuanya terasa berputar.
Pria bertopeng itu menjerit keras, dan bayangannya mulai bergetar, seolah-olah ia sedang terpecah menjadi serpihan-serpihan kegelapan yang terbang ke udara.
"Ini belum selesai, Isabella," teriaknya, suaranya semakin memudar. "Aku akan kembali. Selalu."
Dengan satu dorongan terakhir, Isabella membuka halaman pertama buku itu. Segera, sebuah kekuatan tak terbayangkan mengalir melalui tubuhnya. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia terbalik, dan kemudian, sebuah gelombang energi yang luar biasa mengalir dari buku itu, memaksa kegelapan untuk mundur.
Pria bertopeng itu, yang kini hanya berupa bayangan kabur, berusaha melawan, namun tubuhnya terhisap ke dalam kekosongan yang semakin menguat.
Sebelum bayangannya menghilang sepenuhnya, pria itu mengeluarkan satu kalimat terakhir, suara yang hampir tak terdengar. "Kau tidak akan pernah bisa menghindari takdirmu."
Tiba-tiba, kegelapan itu lenyap, dan semuanya menjadi sunyi.
---
Kehidupan Baru yang Menanti
Isabella terjatuh ke lantai, kelelahan dan gemetar. Tetapi ketika ia membuka matanya, ia mendapati bahwa ruangan itu kini terang benderang. Cahaya matahari menyusup dari jendela-jendela yang sebelumnya gelap, dan udara di sekitarnya terasa segar, seolah-olah dunia telah dibersihkan dari bayang-bayang kegelapan yang menguasainya.
Ia berdiri dengan susah payah, dan melihat ke sekeliling. Ruangan itu kini kosong. Tidak ada meja batu, tidak ada buku, tidak ada bayangan pria bertopeng. Semua yang ada hanyalah keheningan dan cahaya yang menenangkan.
Sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda. Rasa takut yang dulu menguasai dirinya kini telah hilang, tergantikan oleh rasa lega yang mendalam. Ia tahu bahwa siklus itu akhirnya berakhir.
Namun, meskipun dunia di sekitarnya tampak normal, Isabella merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kegelapan itu telah hilang, tapi apakah benar-benar selamanya? Ataukah hanya menunggu untuk kembali suatu saat nanti?
Ia berjalan keluar dari ruangan itu, melangkah menuju jalan yang tampak lebih cerah dari sebelumnya. Tetapi di dalam hatinya, ada satu pemikiran yang terus mengganggu: meskipun ia telah mengakhiri satu babak, mungkin, perjalanan ini belum sepenuhnya selesai.
Isabella tahu, selama ada kegelapan di dunia ini, akan selalu ada pertarungan yang harus dihadapi. Namun untuk saat ini, ia merasa bahwa ia telah mengalahkan musuh terbesarnya—takdir yang telah lama memburu dirinya dan teman-temannya.
Langit di atasnya cerah, matahari bersinar hangat di wajahnya. Ada harapan baru yang terbit di dalam dirinya. Tetapi Isabella juga sadar, dunia ini tidak pernah benar-benar bebas dari bahaya.
Dan dengan langkah tegap, ia melanjutkan perjalanannya—mencari kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi kali ini, ia siap menghadapi apapun yang datang.