Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Melihat Ranu tidak percaya dengan ucapannya, Surojoyo hanya tersenyum kecil.
"Kau boleh tidak percaya dengan ucapan Kakek, Ranu. Namun setelah kakek menata detak nadi dan aliran darahmu, kau akan bisa membuktikan ucapan kakek ini benar atau salah," kata Surojoyo.
Ranu tidak membalas perkataan Surojoyo. Dia hanya merenung dan memandang ke bawah.
"Apa kau pernah mempelajari gerakan di kitab ini?" tanya Surojoyo.
Ranu mengangguk pelan, "Aku mempelajari gerakan Pukulan Dewa Api, Kek."
"Apakah kamu sudah hapal semua gerakannya?"
Ranu kembali mengangguk, " Sudah, Kek.Namun anehnya, ketika jurus itu aku gunakan melawan Sanjaya dan teman-temannya, gerakanku malah terasa kaku."
Surojoyo tertawa lebar. "Jelas saja, Ranu. Itu karena kau belum menguasai tenaga dalam Dewa Api yang ada dan diajarkan dalam kitab ini. Meskipun Kakek yang menggunakannya, jurus itu tidak akan bisa keluar, karena kakek tidak memiliki dasar tenaga dalam yang sama."
"Pukulan Dewa Api itu mempunyai unsur tenaga dalam juga, Ranu. Jurus itu akan muncul aslinya jika dipadukan dengan tenaga dalam Dewa Api," lanjut Surojoyo.
"Jadi begitu..." Ranu mengangguk-angguk kecil.
"Tapi kenapa bisa seribet itu, Kek?"
"Kau ini masih sangat lugu, Ranu. Inilah istimewanya jurus-jurus yang ada dalam kitab legendaris itu. Hanya orang terpilih yang bisa menguasai jurus Dewa Api dan akan menjadi Pendekar Dewa Api berikutnya," jawab Surojoyo sambil menggeser sedikit pantatnya."Jadi, para pendekar yang memperebutkan kitab ini bisa dibilang mereka bodoh karena memperebutkan sesuatu yang tidak mungkin bisa mereka pelajari. Kalaupun mereka berhasil mendapatkan dan mempelajari jurus-jurus di dalam kitab ini dengan menggunakan tenaga dalam yang mereka miliki, yang ada malah tenaga dalam mereka akan rusak." tambahnya.
"Berarti tenaga dalamku sudah rusak, ya, Kek? Kan aku sudah mempelajari jurus Pukulan Dewa Api."
Surojoyo menepuk jidatnya. Ingin dia menjerit dengan keras melihat kebodohan yang ditunjukkan Ranu. "Kamu belum punya tenaga dalam, Ranu. Dan juga kau yang dipilih untuk menjadi penerus Pendekar Dewa Api!" jawabnya sedikit ketus.
Sambil meringis kecil, Ranu menggaruk kepalanya yang gatal karena sudah 10 bulan tidak mandi.
"Maaf, Kek, aku lupa."Surojoyo menggelengkan kepalanya, "Ternyata ada yang lebih parah daripada aku dulu," gumamnya pelan.
"Apanya yang parah, Kek?"
"Kamu ini...! Ketika dijelaskan tidak nyambung. Tapi suara yang sangat pelan malah terdengar jelas, aneh," gerutu Surojoyo.
Ranu terkekeh mendengar Surojoyo menggerutu seperti tawon yang lagi haus kasih sayang.
"Sudah, Jangan tertawa saja, cepat mandi sana! Baumu sudah seperti mayat hidup yang ngompol di celana."
"Baik, Kek. Tapi aku tidak punya pakaian lagi. Kalau pakaian ini aku cuci, aku memakai pakaian apa?"
"Itu ada daun pisang buat menutupi belalai gajahmu," jawab Surojoyo sambil menahan tawanya.
Ranu berjalan lunglai menuju sungai kecil yang tidak jauh dari gua. Dia tidak pernah menyangka akan menggunakan daun pisang untuk menutupi tubuhnya.
Setelah Ranu keluar dari gua, Surojoyo juga menyelinap keluar untuk mencarikan pakaian buat pemuda yang secara tidak langsung sudah membuat hidupnya kembali ceria.
Bagaimanapun juga, Puluhan tahun menyendiri di dasar jurang dirinya sangat kesepian.
Hadirnya Ranu yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri, membuat semangat hidupnya kembali tumbuh.
Sambil bersiul kecil, Ranumenggosok seluruh tubuhnya dengan batu kali hingga kotoran dan bekas darah yang menempel di tubuhnya hilang. Tak lupa juga dia mencuci rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk karena saking kakunya.
Setelah merasa tubuhnya sudah bersih, Ranu kemudian mengambil daun pisang yang sudah diambilnya sebelum mandi, dan melilitkan daun pisang tersebut ke tubuhnya.
Pemuda yang sudah memasuki usia 16 tahun itu kemudian beranjak menuju gua setelah menjemur pakaian yang tadi dicucinya.
Di dalam gua, Surojoyo yang sudah kembali langsung tertawa ngakak melihat Ranu hanya memakai daun pisang untuk menutupi tubuhnya. Dia tidak menyangka ucapannya yang hanya bercanda ternyata dianggap serius oleh Ranubaya. Entah Ranu memang polos atau bodoh, tapi dia menyimpan harapan besar kepada pemuda tanggung tersebut.
"Kenapa Kakek tertawa?" tanya Ranu tanpa rasa bersalah.
Surojoyo kemudian melemparkan pakaian kepada Ranu. "Pakai itu! Aku tidak mau satu ruangan dengan manusia aneh,"
Ranu menangkap pakaian yang dilemparkan Surojoyo sambil menggerutu pelan. "Bukannya Kakek sendiri yang nyuruh aku pakai daun pisang, kenapa dibilang aku manusia aneh?"
Surojoyo kembali menepuk jidatnya pelan. Tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya.Setelah Ranu memakai pakaian yang diberikannya, Surojoyo menyuruh pemuda itu untuk mengisi perut. setelah itu dia akan memulai proses awal menata detak nadi dan aliran darah Ranubaya yang tidak beraturan.
"Apa Kakek setiap hari makan buah-buahan?"
Surojoyo menggeleng, "Kadang Kakek naik ke dusunmu untuk meminta makanan."
Ranubaya menautkan kedua alisnya dan menatap lekat-lekat wajah Surojoyo.
"Tapi aku tidak pernah melihat Kakek di dusunku?"
"Apa Kakek harus meminta ijin dulu padamu sebelum meminta makanan di dusunmu?" jawab Surojoyo sengit.
Ranu tertawa kecil, "Benar juga, ya?" ucapnya sambil menggaruk kepalanya.Surojoyo mengangguk tanpa bersuara.
"Bagaimana keadaan dusunku, Kek?"
"Dusunmu sudah tidak berpenghuni, Ranu. Nampaknya penduduk yang selamat sudah trauma dan tidak mau kembali ke dusun Karangasri lagi."
"Berarti percuma nanti aku kembali kesana. Aku mau tinggal disini saja dengan Kakek. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya Kakek satu-satunya orang yang peduli denganku." Mata Ranubaya berkaca-kaca. Ingin sekali dia menumpahkan tangisnya, namun rasa malu membuatnya urung menangis.
"Sampai kau siap berkelana nanti, kau boleh tinggal disini. Kau harus gunakan ilmu kanuragan yang nanti kau miliki untuk menebar kebaikan."
"Itu berarti aku harus meninggalkan Kakek?"
"Kau jangan cengeng, Ranu! Kau ini lelaki yang harus siap menempuh perjalanan demi mencapai cita-citamu."
Ucapan Surojoyo seperti palu godam yang menghantam dada Ranu. Pemuda yang baru memasuki usia 16 tahun itu sadar, bahwa dia mempunyai cita-cita besar seperti ucapan ayahnya yang harus diwujudkan.
Selesai mengisi perutnya, Ranu diajak Surojoyo menuju kolam yang airnya mendidih dan mengeluarkan asap tebal.
Lelaki tua itu merangkul Ranu, lalu meloncat dengan ringan ke atas batu besar yang berada di tengah-tengah kolam yang lumayan luas tersebut.
Ranu terkesima dengan apa yang dilakukan Surojoyo. Dia merasa kagum dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan kakek angkatnya itu.
Surojoyo kemudian menyuruh Ranu duduk bersila, "Buka bajumu!"
Ranu menuruti ucapan Surojoyo. Dia membuka bajunya dan hanya memakai celana saja.
Surojoyo kemudian duduk bersila di belakang Ranu. Dia terdiam sebentar lalu menempelkan telapak tangannya ke punggung pemuda itu.
"Jika kau merasa ada yang masuk ke dalam tubuhmu, jangan dilawan! Biarkan saja mengalir ke setiap bagian tubuhmu. Kalau kau melawannya, akan bisa mengakibatkan kelumpuhan. Apa kau sudah paham?"
Ranu menganggukkan kepalanya.
"Kakek akan memulainya sekarang! Apa kau sudah siap?"
"Aku sudah siap, Kek."
"Tahanlah, proses masuknya akan sedikit sakit. Setelah itu tidak akan terasa sakit lagi."
Surojoyo kemudian mengumpulkan tenaga dalamnya menjadi satu dan mengalirkannya ke dalam tubuh Ranu melalui telapak tangannya.
Rasa sakit dan panas langsung terasa di pungung Ranu. Dia merasa seperti ada bara api yang panas menghujam punggungnya dan berusaha untuk masuk.
Pemuda tanggung itu menggigit giginya dengan kuat untuk menahan rasa yang menyiksa di punggung. Tanpa terasa keringat pun sudah mengucur dengan deras dari setiap pori-porinya.
Uap panas yang keluar dari air yang mendidih juga menambah deritanya. Dia tidak menyangka proses untuk menata detak nadi dan aliran darahnya yang kacau harus seberat itu. Ingin dia menyerah saja, namun ucapan ayahnya tiba-tiba muncul dan terngiang-ngiang di telinganya.
"Aku harus kuat! Aku harus bisa mewujudkan keinginan ayah!" tekad kuat meluap-luap di pikiran Ranu.
Setelah tenaga dalam yang dialirkannya masuk sepenuhnya ke dalam tubuh Ranu, Surojoyo kemudian melepaskan telapak tangannya dari punggung pemuda tersebut."Sekarang rasakan detak nadi dan aliran darahmu yang mulai tertata perlahan. Kau nanti akan merasakan tubuhmu sangat ringan." Hembusan napas panjang pun meluncur deras dari bibirnya.
"Bukan sekali ini aku menata detak nadi dan aliran darah yang tak beraturan. Tapi baru kali ini yang benar-benar menguras tenaga dalamku."
Sorojoyo bermonolog dalam hati.
Ranu memejamkan matanya dan mengikuti intruksi yang diberikan Surojoyo. Dia merasakan seperti ada desiran angin dingin menyusuri setiap bagian tubuhnya.
"Biarkan sampai semua selesai tertata, Ranu. Jangan sekali-kali melawannya!"
Surojoyo melompat dengan ringan dan mendarat di bibir kolam. Langkah kakinya berjalan dengan sedikit gontai karena baru saja mengeluarkan tenaga dalam yang sangat besar.
Ingin dia segera beristirahat dan merebahkan tubuhnya untuk mengembalikan tenaga dalamnya."Pendekar Dewa Api, setelah 140 tahun kau menghilang dan kitabmu menjadi rebutan dunia persilatan, akhirnya kau memilih seorang anak untuk menjadi penerusmu," batin Surojoyo sambil rebahan berbantal lengannya.
Surojoyo kemudian tertidur lelap karena benar-benar merasakan kelelahan yang luar biasa.