Hidup Aina seperti diselimuti kabut yang tebal saat menemukan kenyataan kalau Fatar, lelaki yang dicintainya selama 7 tahun ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Namun Fatar tak sendiri, ada seorang wanita bersamanya. Wanita tanpa identitas namun menggunakan anting-anting yang sama persis dengan yang diberikan Fatar padanya. Aina tak terima Fatar pergi tanpa penjelasan.
Sampai akhirnya, Bian muncul sebagai lelaki yang misterius. Yang mengejar Aina dengan sejuta pesonanya. Aina yang rapuh mencoba menerima Bian. Sampai akhirnya ia tahu siapa Bian yang sebenarnya. Aina menyesal karena Bian adalah penyebab hidupnya berada dalam kabut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Anak Mama
4 bulan sudah Aina menjadi istri Emir. Itu berarti sudah 3 bulan Aina menjadi pegawai di perusahaan itu.
Setiap kali ke kantor, Emir hanya akan mengantarkan Aina sampai di depan halte. Jika pulang Emir juga akan menjemputnya di sana jika lelaki itu tidak sedang bertugas sebagai satpam.
Hari ini adalah hari Sabtu, Aina tidak masuk dan kebetulan Emir off hari ini.
Sejak pagi, Aina sudah membantu ibu mertuanya di dapur dan Emir justru yang mencuci pakaian.
"Kak, biar saja aku yang mencuci pakaiannya." kata Aina.
"Aku saja, sayang. Kamu bantu ibu masak supaya kita cepat sarapan."
Tak sampai satu jam, makanan pun disajikan di atas meja. Aina merasa senang karena ia sudah bisa memasak beberapa jenis masakan.
"Kalian sarapan saja. Ibu mau ke pasar. Ada pesanan kue yang harus ibu antar." ujar Tita lalu mengambil keranjang kuenya.
"Ibu nggak sarapan dulu?" tanya Aina.
"Ibu sudah membawa nya di kotak makanan."
"Aku antar ibu ke pasar?" tanya Emir.
"Nggak usah nak. Ibu sudah pesan ojek." ujar Tita lalu segera pergi saat mendengar bunyi klakson ojek di depan.
"Kak, ayo makan!" ajak Aina.
Emir mengangguk. Ia duduk berhadapan dengan Aina. "Kamu yang masak semua ini?" tanya Emir.
"Iya. Ibu membantu menyiapkan bumbunya saja."
"Enak." saat suapan pertama masuk ke mulut Emir.
Aina pun menikmati makanan itu. Ia justru jadi ingat dengan bibi Lina, pembantu yang adalah juga pengasuhnya. Ia rindu dengan masakan perempuan tua itu.
"Kamu kenapa, Ai?" tanya Emir.
Aina menggeleng. Ia memasukan satu sendok makanan ke mulutnya.
"Kamu ingat rumah ya? Kangen pada mamamu?"
Aina menggeleng. "Lihat masakan ini, aku justru kangen dengan bibi Lina. Dia juga suka memasak dan masakannya sangat enak."
"Kamu mau menemuinya?"
Aina menggeleng lagi. "Aku tak mau pergi ke rumahku. Banyak kenangan aku dan Fatar di sana."
"Ajak saja bibi keluar."
Aina tersenyum. "Benar juga. Aku telepon bibi sekarang. Hp bibi jadul. Aplikasi lain nggak ada." Aina pun menghubungi bibi Lina.
"Bibi sedang menyapu, non. Senang sekali mendengar suara non Aina. Ada apa?" tanya bibi Lina dari seberang.
"Bi, aku mau ketemu bibi. Kangen."
"Ya Allah, non. Bibi juga kangen. Kenapa nggak datang saja ke rumah. Nyonya baru saja sembuh dari sakit."
"Aku nggak mau ketemu papa. Bibi boleh nggak keluar rumah?"
"Boleh. Tapi selesai masak ya? Kita ketemu jam 1 siang saja."
"Aku tunggu bibi di taman dekat perumahan ya, bi?"
"Baik, non."
Aina melepaskan ponselnya. Ia menatap Emir. "Kami akan ketemu jam 1."
"Aku akan mengantarmu."
Aina mengangguk. Ia pun segera membereskan meja makan dan bersiap untuk mandi.
************
"Nona, bibi kangen sekali." bibi Lina langsung memeluk Aina. Ia merawat Aina semenjak Aina lahir. Makanya ia sudah menganggap Aina seperti anaknya sendiri.
"Saya juga kangen, bi."
Bibi Lina memegang pipi Aina. "Nona jadi kurus."
"Tapi saya sehat, bi."
Lina mengangguk. Ia kemudian menatap pria yang duduk tak jauh dari mereka. "Itu suaminya, non?"
"Iya, bi."
"Ya Allah, ganteng banget. Kayak aktor kesayangan bibi yang orang Turki itu." Bibi Lina memang suka sekali menonton drama Turki.
"Bibi...., ingat umur bi." Aina jadi tertawa.
"Badannya atletis ya, non. Hidungnya mancung, bibirnya seksi, alisnya tebal. Kalah deh kayaknya jika dibandingkan dengan den Fatar." Bibi Lina tiba-tiba menutup mulutnya. "Maaf non."
Aina mengusap lengan bibi Lina. "Nggak apa-apa, bi."
"Pelukannya pasti hangat ya?"
"Ih...bibi...." wajah Aina jadi merah.
Lina memandang Aina. "Wah, anak gadis bibi pasti sudah nggak perawan lagi kan?"
"Bibi ....!" Aina bertambah malu karena ia yakin kalau Emir bisa mendengar perkataan sang bibi yang suaranya cukup keras itu.
"Kenapa sih non, nggak apa-apa juga kalau sudah merasakan sorga dunia. Kan sudah sah menikah."
Aina dapat melihat kalau Emir tersenyum.
"Oh ya, non. Ini bibi bawakan kue kesayangan nona. Kue lapis legit. Kebetulan kemarin bibi buat kue ini karena ada perkumpulan ibu-ibu pengajian di rumah. Sekaligus doa syukur karena nyonya sudah sembuh."
Aina menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan. "Mama sakit apa, bi?"
"Sakit darah tingginya kumat. Mungkin mikirin nona terus. Apalagi mikirin nasibnya nona Aira. Katanya sekarang sudah pisah ranjang dengan suaminya. Si Denis sekarang di rumah sama nyonya terus. Sedangkan nona Aira balik lagi ke Yogyakarta, katanya mau mengurus perceraiannya. Namun orang tua tuan Tio kemarin datang. Mau mediasi antara nona Aira dan tuan Tio."
Wajah Aina nampak sedih. "Kasihan kakakku. Dia selalu dipukuli suaminya. Untung saja anak mereka baru satu."
Bibi Lina memegang kedua tangan Aina. Gadis itu terkejut melihat ada amplop yang disisipkan di sana.
"Apa ini, bi?"
Mata bibi Lina berkaca-kaca. "Tuan sudah memblokir semua kartu nona Aina. Nyonya sedih mendengarnya. Nyonya tahu kalau saya akan ketemu nona di sini. Beliau menitipkan uang ini untuk nona."
"Bi, aku tak butuh ini. Aku sudah bekerja."
Bibi Lina memegang pipi Aina." Nona, sejak kecil nona tak pernah seperti ini. Nona sangat dimanja. Dibesarkan bagaikan boneka porselen, dijaga dengan penuh hati-hati. Mana tega kami melihat nona tinggal di rumah yang kecil, kemana-mana naik angkot, naik bis, naik motor. Hati kami hancur melihat semua itu."
"Maksud bibi?"
"Bibi dan nyonya, setiap minggu akan datang di kompleks tempat tinggal nona. Apalagi jika hari Sabtu dimana nona tidak bekerja. Nyonya sering menangis melihat nona yang menyapu halaman, menjemur pakaian di samping rumah." tangis bibi Lina pecah.
Aina tersenyum. "Bilang sama mama, aku baik-baik saja. Hatiku masih terluka dengan semua yang terjadi. Hanya bersama kak Emir dan ibunya, aku bisa sedikit melupakan semua yang terjadi."
Bibi Lina menghapus air matanya. "Pulanglah jika nona merasa tak bahagia di sana." bisiknya pelan. Ia meletakan kue dan amplop itu di samping Aina lalu segera pergi.
Aina yang sejak tadi menahan tangisnya, kini tak bisa menahan air matanya. Ia menangis begitu dalam mengingat mamanya yang ternyata masih memantaunya dari jauh.
Emir mendekat. Ia berlutut di hadapan Aina. "Sayang, ada apa?" tanya Emir lalu memegang kedua tangan Aina.
"Mamaku. Aku ternyata masih menjadi anak kesayangannya."
Emir menghapus air mata Aina. "Mana ada seorang ibu yang akan melupakan anaknya?"
"Tapi papaku begitu tega cuek padaku saat kami ketemu di hotel itu."
Emir kini duduk di samping Aina sambil melingkarkan tangannya di bahu Aina. "Biarlah waktu yang akan menyembuhkan luka hatimu, sayang. Juga luka di hati orang tuamu."
Aina menatap Emir. "Terima kasih karena Allah mempertemukan aku denganmu, kak. Mungkin jika kita tak bertemu, aku sudah bunuh diri karena tak sanggup menanggung semua ini."
Emir mengecup dahi Aina. "Aku ada untukmu, sayang. Karena hatiku telah dimiliki olehmu "
"Bibi Lina bilang kalau kakak tampan, seksi, pasti kalau memeluk akan hangat." kata Aina sambil tertawa.
Emir pun ikut tertawa. "Semoga ketampanan dan keseksianku ini bisa membuat kamu nyaman dan bangga saat jalan bersama ku."
"Aku bangga, kak. Lihatlah para wanita di taman ini, semuanya menatap aku dengan iri. Karena di peluk olehmu."
"Dan para pria di taman ini sedang menatap cemburu padaku, karena bisa memeluk gadis secantik ini."
"Ih, kakak bisa aja." Aina mencubit perut Emir. Pria itu hanya tertawa. Ia menghapus air mata Aina. Pandangannya beralih ke amplop dan kotak kue yang bibi Lina bawakan.
"Ini apa?" tanya Emir.
Aina membuka amplop coklat itu. Matanya langsung terbelalak melihat jumlah uang yang diberikan oleh mamanya. "Ada 50 juta, kak. Aku tak memintanya. Mama yang mengirimkannya. Kalau aku kembalikan mama pasti sedih."
"Sebenarnya aku agak tersinggung sih kalau mamamu mengirimkan uang. Karena aku masih bisa membiayai semua keperluan mu. Namun, jika kamu tak mau mengembalikan karena takut mamamu kecewa, simpanlah uang itu dan gunakan untuk keperluan mu saja, sayang."
"Terima kasih, kak atas pengertiannya. Kita pulang yuk!"
Keduanya pun meninggalkan taman itu sambil bergandengan tangan dan tak menyadari kalau ada seseorang yang sedang mengawasi mereka.
***********
Perlahan Emir menarik tangannya yang digunakan Aina untuk berbantal. 2 jam yang lalu mereka baru saja selesai bercinta. Dan Emir senang karena Aina mulai lepas bercinta dengannya. Aina tak bersikap pasif seperti sebelum-sebelumnya. Aina bahkan sudah mau mengekspresikan hasratnya ketika Emir memintanya berada di posisi atas.
Emir tahu, tubuh Aina bagaikan magnet yang menggodanya untuk terus bercinta tanpa henti. Mereka bahkan sering bercinta setiap hari kecuali Aina sedang datang bulan.
Perlahan Emir turun dari atas ranjang dan menggunakan pakainya kembali. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Aina. Kemudian Emir perlahan membuka tas Aina. Ada sesuatu yang ia curigai dan ingin ada pembuktian.
Benar saja, Emir menemukan ada obat kontrasepsi di dalam tas Aina. Pantas saja Aina tak hamil walaupun mereka sudah sering bercinta. Emir meremas obat itu dan ingin membuangnya. Namun ia kembali memasukan obat itu ke dalam tas Aina dan segera keluar kamar. Lelaki itu memilih merokok di teras depan. Tak lama kemudian ponselnya. Berbunyi. Entah siapa yang meneleponnya, yang pasti setelah itu Emir masuk ke rumah, mengeluarkan motornya, memakai jaket dan helm kalau segera pergi.
*********
Siapa yang menelpon Emir?
krn mgkn sbnrnya Hamid, Wilma dan Emir adlh saudara seayah...
smoga brharap Emir GK trmsuk dlm lingkaran orang jht yg mo ancurin kluarga kmu ai.....smoga....