NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 16

Amanda duduk di ranjang kamar rumah Indira, sedang menelpon seseorang.

"Bagaimana? Apakah kau sudah berhasil masuk ke dalam rumah itu." Suara seorang wanita di seberang.

Amanda menggigit bibirnya, menatap lurus ke depan dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Suara wanita di seberang telepon terdengar dingin dan penuh tuntutan.

"Belum sepenuhnya," jawab Amanda pelan, berusaha menekan nada suaranya agar tidak terdengar terlalu tegang. "Tapi aku sudah cukup dekat. Mereka mulai mempercayaiku."

Wanita di seberang mendengus. "Cukup dekat bukan berarti berhasil. Aku butuh kepastian, Amanda. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi."

Amanda mengepalkan tangannya di atas selimut. "Aku tahu," katanya cepat. "Tapi aku harus bermain cerdas. Kalau aku terburu-buru, mereka akan curiga."

Terdengar helaan napas dari seberang. "Baiklah. Aku akan memberimu sedikit waktu lagi. Tapi jangan sampai kau mengecewakanku."

Sambungan terputus begitu saja.

Amanda menatap layar ponselnya dengan rahang mengatup erat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.

'Aku tidak boleh gagal,' batinnya.

'Bagaimanapun juga, aku harus menyelesaikan ini sampai akhir.'

Pintu di ketuk oleh Faris yang ingin masuk.

Amanda buru-buru menyimpan ponselnya di bawah bantal, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia tidak bisa membiarkan Faris melihat kegelisahannya.

Tok! Tok!

Suara ketukan terdengar lagi, kali ini lebih tegas.

"Amanda, kau di dalam?" suara Faris terdengar dari balik pintu.

Amanda segera merapikan rambutnya, lalu berkata dengan nada tenang, "Masuk saja, pintunya tidak dikunci."

Pintu terbuka perlahan, dan Faris melangkah masuk dengan ekspresi datar. Matanya menelusuri ruangan sebentar sebelum akhirnya berhenti pada Amanda yang masih duduk di ranjang.

"Kau tidak turun untuk makan malam," kata Faris tanpa basa-basi.

Amanda tersenyum tipis. "Aku tidak lapar. Lagipula, aku sedang tidak enak badan."

Faris mempersempit matanya sedikit, seolah mencoba membaca ekspresi Amanda. "Kau yakin?"

Amanda mengangguk. "Ya, hanya butuh sedikit istirahat."

Faris mendekat, duduk di kursi di dekat ranjang. Ia menyandarkan punggungnya, menatap Amanda dengan pandangan yang sulit ditebak.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?" tanyanya tiba-tiba.

Amanda sedikit tersentak, tapi segera menutupi kegugupannya dengan tersenyum kecil. "Apa maksudmu?"

Faris mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Entahlah, rasanya akhir-akhir ini kau seperti menyembunyikan sesuatu."

Jantung Amanda berdegup lebih cepat. Namun, ia tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau terlalu banyak berpikir, Faris. Aku hanya lelah."

Faris menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah. Kalau ada sesuatu, kau tahu kau bisa bicara padaku, kan?"

Amanda mengangguk. "Tentu."

Faris menatapnya sejenak sebelum akhirnya berdiri. "Kalau begitu, istirahatlah. Aku akan pergi sekarang."

Begitu Faris keluar dan menutup pintu, Amanda menghela napas panjang.

"Aku harus waspada terhadap Faris… Dia mulai curiga."

Tangannya secara refleks meraba bantal tempat ia menyembunyikan ponselnya. Ia tidak bisa membiarkan Faris mengetahui rencananya, tidak sekarang.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar. Faris bukan orang bodoh. Jika ia terus menunjukkan gelagat mencurigakan, cepat atau lambat pria itu akan mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan di rumah ini.

Amanda menggigit bibirnya. Ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun.

Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat.

"Aku butuh lebih banyak waktu. Faris mulai curiga."

Pesan terkirim. Amanda menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di bawah bantal.

Ia tahu ini berbahaya. Tapi ia tidak bisa mundur sekarang.

******

Saat ini di ruang makan.

Faris duduk dengan ekspresi datar, menghadapi tatapan tajam Seno yang penuh dengan kecurigaan.

"Jadi, kau bisa menjelaskan sekarang?" Suara Seno terdengar tegas.

"Di mana kau sebenarnya selama ini? Benarkah kau benar-benar pergi ke luar negeri seperti yang kau katakan, atau kau hanya bersembunyi di suatu tempat?"

Calista duduk diam di kursinya, menundukkan kepala. Ia tidak berani ikut campur dalam pembicaraan ini, meski ia tahu ada sesuatu yang aneh dengan kepergian Faris.

Faris menarik napas dalam-dalam, lalu bersandar ke kursinya. "Aku tidak bersembunyi, Ayah. Aku memang pergi."

"Tapi bukan ke luar negeri, bukan?" Seno menyela dengan tajam.

Faris terdiam sesaat, lalu menatap ayahnya dengan pandangan tenang. "Memangnya kenapa kalau aku tidak pergi ke luar negeri? Apa bedanya?"

Seno mengepalkan tangannya di atas meja. "Apa bedanya? Kau pikir ini lelucon, Faris? Kau menghilang begitu saja tanpa kabar, lalu tiba-tiba kembali seolah tidak terjadi apa-apa!"

Calista melirik Faris sekilas, mencoba membaca ekspresi kakaknya. Tapi, seperti biasa, Faris tetap tenang, seolah semua ini bukan masalah besar baginya.

"Aku punya alasan," ujar Faris akhirnya. "Dan aku tidak perlu menjelaskannya sekarang."

"Tidak perlu menjelaskan?" Seno tertawa kecil, tapi tidak ada sedikit pun kebahagiaan dalam suaranya. "Kau pikir aku tidak punya hak untuk tahu apa yang terjadi pada anakku sendiri?"

Faris menatap Seno tanpa gentar. "Ayah hanya ingin tahu karena ingin mengontrol hidupku, bukan karena peduli."

Hening.

Calista menegang di kursinya. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara ayah dan kakaknya.

Seno menghela napas berat, mencoba menahan emosinya. "Faris, kau bisa berkata seperti itu karena kau tidak tahu betapa aku mengkhawatirkanmu."

Faris menyipitkan matanya. "Mengkhawatirkanku? Atau mengkhawatirkan sesuatu yang lain?"

Seno terdiam.

Calista semakin menundukkan kepalanya. Ia tahu, percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik.

Sedangkan ibunya hanya menikmati makanannya, dan tidak ingin ikut campur dalam urusan suami dan anaknya.

Seno mengalihkan pandangannya ke Calista, yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala.

"Calista," panggilnya dengan nada yang lebih tenang, tetapi tetap penuh kewibawaan. "Kau tahu sesuatu tentang keberadaan kakakmu selama ini?"

Calista tertegun sejenak, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ayah." Suaranya terdengar ragu, seolah takut memberikan jawaban yang salah.

Seno mempersempit matanya, mencoba menilai apakah putrinya berkata jujur atau hanya berusaha melindungi kakaknya. "Kau yakin?"

Calista menelan ludah. "Aku hanya tahu kalau Kak Faris pergi... Tapi aku tidak tahu ke mana pastinya."

Faris melirik Calista sekilas, menyadari kegugupan adiknya. Ia tahu Seno tidak akan mudah percaya, tapi ia juga tidak ingin Calista terseret dalam masalah ini.

"Sudah cukup," ujar Faris akhirnya. "Jangan libatkan Calista dalam urusan ini, Ayah. Jika Ayah ingin jawaban, tanyakan langsung padaku."

Seno menatap Faris dengan tajam. "Baik. Kalau begitu, jawab pertanyaanku. Apa alasanmu menghilang begitu lama?"

Faris terdiam sejenak, lalu berkata dengan tenang, "Aku punya urusan yang harus kuselesaikan."

Seno mendengus sinis. "Urusan apa?"

Faris tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Urusan yang tidak perlu Ayah ketahui."

Seno mengepalkan tangannya di atas meja, menahan amarahnya yang hampir meledak. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih jauh, ibunya yang sejak tadi diam akhirnya meletakkan sendoknya dan bersuara,

"Seno, sudah. Biarkan saja dia kalau tidak mau menjelaskan."

Seno menoleh ke istrinya dengan ekspresi tidak percaya. "Kau tidak ingin tahu ke mana anak kita pergi selama ini?"

Wanita itu hanya mengangkat bahu santai. "Selama dia kembali dengan selamat, itu sudah cukup. Aku tidak ingin makan malam ini dipenuhi pertengkaran."

Seno menghela napas panjang, jelas tidak puas. Ia menatap Faris tajam. "Aku akan mencari tahu sendiri. Jangan kira kau bisa menyembunyikan sesuatu dariku selamanya."

Faris hanya tersenyum samar, sementara Calista diam di tempatnya, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini.

Setelah makan malam yang tegang itu, suasana di meja makan masih terasa berat. Seno akhirnya bangkit dari kursinya dengan ekspresi dingin. "Aku akan ke ruang kerja," katanya sebelum melangkah pergi, meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Calista tetap duduk di kursinya, menatap piringnya yang sudah kosong, tapi pikirannya melayang ke arah Faris. Ia ingin bertanya banyak hal, tapi ia juga tahu bahwa kakaknya bukan tipe yang mudah bercerita.

"Kak," panggilnya pelan.

Faris yang masih duduk santai, menyesap minuman di tangannya, melirik ke arah Calista. "Apa?"

"Kau benar-benar tidak pergi ke luar negeri, kan?" tanyanya hati-hati.

Faris tersenyum kecil, tapi tidak menjawab langsung. "Apa itu penting bagimu?"

Calista menghela napas. "Aku hanya ingin tahu... Kau menghilang begitu lama, dan Ayah jelas marah karena merasa dibohongi."

Faris meletakkan gelasnya, lalu bersandar ke kursinya. "Ayah tidak perlu tahu semuanya. Beberapa hal lebih baik tetap menjadi rahasia."

"Tapi kau membuat Ayah semakin curiga," Calista berusaha menekannya.

Faris menatap adiknya dalam-dalam, lalu tersenyum miring. "Aku sudah terbiasa dengan kecurigaan Ayah. Biarkan saja."

Calista menggeleng pelan. Ia tahu Faris tidak akan menjelaskan apa pun padanya, jadi percuma mendesaknya lebih jauh.

Sementara itu, ibu mereka hanya menikmati tehnya dengan tenang, tidak menunjukkan keinginan untuk ikut campur dalam perbincangan mereka.

Setelah beberapa saat, Faris bangkit dari kursinya. "Aku akan keluar sebentar."

"Ke mana?" tanya Calista spontan.

Faris menatapnya sambil tersenyum kecil. "Hanya berjalan-jalan. Jangan terlalu penasaran, Calista."

Calista hanya bisa menghela napas saat melihat kakaknya melangkah keluar. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Faris, dan sepertinya bukan sesuatu yang sepele.

Calista berjalan menuju kamar Amanda dengan langkah ragu, setelah ibunya meninggal dirinya sendiri di ruang makan.

Ia tidak tahu mengapa dirinya merasa perlu menemui wanita itu, tapi ada sesuatu dalam pikirannya yang membuatnya ingin mencari jawaban.

Sesampainya di depan pintu kamar Amanda, ia mengetuk pelan. "Amanda, aku boleh masuk?" tanyanya.

Ada jeda beberapa detik sebelum suara Amanda terdengar. "Masuklah."

Calista membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Amanda duduk di tepi ranjang, ponselnya diletakkan di sampingnya, seolah baru saja selesai menelpon seseorang. Tatapannya sedikit terkejut melihat Calista datang.

"Ada apa?" tanya Amanda, memasang senyum tipis.

Calista menutup pintu, lalu berjalan mendekat. "Aku hanya ingin berbicara denganmu."

Amanda mengangkat alisnya, menepuk tempat di sampingnya sebagai isyarat agar Calista duduk. "Tentu, tentang apa?"

Calista duduk dan menatap Amanda dengan sorot mata penuh selidik. "Tentang kakakku."

Amanda tetap tersenyum, tapi ekspresinya sedikit berubah. "Faris? Kenapa dengannya?"

"Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Aku bisa merasakannya," kata Calista serius.

"Dan aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kau juga dekat dengannya. Jadi, aku ingin tahu… Apa yang sebenarnya terjadi?"

Amanda terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Kau terlalu curiga, Calista. Faris hanya menjalani hidupnya seperti biasa."

Calista tidak langsung percaya. Ia menatap Amanda dalam-dalam, mencoba mencari petunjuk dalam ekspresi wanita itu. "Benarkah? Atau kau juga menyembunyikan sesuatu dariku?"

Amanda tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Terkadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui, Calista."

Perkataan itu membuat Calista semakin curiga. "Jadi kau memang tahu sesuatu, kan?" desaknya.

Amanda menoleh, tatapannya tajam namun tetap tenang. "Aku hanya akan mengatakan satu hal: Jangan terlalu mempercayai siapa pun, bahkan keluargamu sendiri."

Ucapan itu membuat bulu kuduk Calista meremang. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga, dan Amanda jelas menyembunyikan sesuatu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!