Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua empat
Mentalnya benar-benar telah dimanipulasi oleh orang-orang yang Firda sebut sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki. Setelah semua yang mereka lakukan, pantaskah mereka untuk masih disebut sebagai keluarga?
Namun, Firda telah masuk ke dalam perangkap manipulasi yang diciptakan oleh keluarganya yang kejam. Sehingga untuk mengatakan bahwa mereka jahat, Firda tak cukup keberanian meskipun kenyataannya memang demikian.
Karena mau bagaimanapun juga... Mereka tetap memiliki jasa besar dalam hidupnya. Memberikan tempat tinggal, makan dan minum meskipun semuanya tak layak, serta sekolah meskipun hanya sebatas sampai SMA.
Itulah yang selama ini ditanamkan oleh paman dan bibi Firda kepadanya selama masa pengasuhan hingga Firda kini tumbuh menjadi seorang gadis dewasa.
"Kalau kamu nggak mau pulang ke rumah paman dan bibimu, lalu kamu mau pulang ke mana?" tanya pemuda itu sambil menaikkan sebelah alisnya, menatap ke arah Firda dengan ekspresi penuh keheranan.
Firda di kondisi terdesak. Dia sendiri pun bingung... Ke mana lagi tempat ia harus berpulang? Namun, membayangkan ikat pinggang pamannya yang keras dicambukkan ke punggungnya... Itu membuat Firda ketakutan. Akan tetapi, memilih tetap berdiam diri di sini dengan pakaian terbuka seperti ini juga bukan pilihan yang baik.
Dirinya hanya akan memancing kejahatan di tengah malam yang rawan.
“Jadi gimana? Kamu punya tujuan tidak? Kalau tidak jelas seperti ini, ya sudah aku pergi.” Pemuda itu pun mengangkat bahu dengan tak acuh, tapi ekspresinya tetap dingin. “Cuma aku tidak jamin kamu bakal aman kalau terus di sini. Apalagi dengan... penampilanmu yang seperti itu.” Matanya melirik ke pakaian Firda tanpa ekspresi, lalu dia mengalihkan pandangannya.
Firda menggigit bibirnya lagi, ragu untuk menjawab. Tapi dia tahu, tak ada gunanya tetap di sini. Tak ada tempat untuk pulang, dan dia terlalu takut untuk kembali ke tempat paman dan bibinya. Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, “Aku ikut. Nanti a-aku tunjukkan jalannya.”
“Masuk mobil,” ucap pemuda itu singkat, mengarah ke kendaraan hitamnya yang terparkir tak jauh. Firda mengikuti dengan langkah ragu.
Di dalam mobil, suasana terasa aneh. Firda duduk diam dengan tangan yang tetap memeluk tubuhnya. Dia tidak tahu harus berkata apa atau berbuat apa. Sementara pemuda itu hanya fokus mengemudi, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Setelah beberapa menit, dia akhirnya memecah keheningan.
“Siapa namamu?” tanyanya tanpa menoleh.
Firda menoleh kaget. “Firda,” jawabnya pelan. “Kamu?”
Pemuda itu mendengus kecil, seolah tak tertarik untuk memperkenalkan dirinya. “Nggak penting.”
Jawaban itu membuat Firda sedikit tertegun, tapi dia tak berani bertanya lebih jauh. Mereka kembali tenggelam dalam kesunyian, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Namun, pikiran Firda terus berkecamuk. Dia memikirkan pemuda ini, yang tadi dia lihat dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya. Entah kenapa, dia merasa kasihan.
Tanpa sadar, Firda bergumam, “Jangan berkecil hati... Aku yakin orang tua kamu sebenarnya sayang sama kamu, kok.”
Kalimat itu terucap begitu saja. Baru setelahnya, Firda menyadari kesalahannya. Matanya membelalak panik, dan dia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Pemuda itu menoleh tajam, tatapan matanya menusuk. “Apa?” Nada suaranya berubah dingin, bahkan cenderung marah.
Firda gemetar, tergagap, kata-katanya berantakan dan duduk dengan amat gelisah di kursinya. “Aku... aku nggak bermaksud... maaf—”
Pemuda itu menggeram pelan, kembali fokus pada jalan di depannya. “Tahu apa kamu soal orang tuaku hm?” potongnya dengan nada tajam. “Jangan sok tahu, apalagi sok menilai. Orang asing sepertimu nggak punya hak bicara soal urusanku,” selanjutnya lagi bergumam dengan sangat dingin.
Firda menunduk lebih dalam, menyesali setiap kata yang tadi meluncur dari mulutnya. Dia tidak tahu apa yang ada di pikirannya tadi. Seharusnya dia diam saja, tidak mencoba berempati atau bicara soal hal-hal yang dia tidak pahami.
“Maaf...” lirihnya lagi, hampir tidak terdengar.
Pemuda itu tidak menjawab. Hening kembali menguasai mobil, namun kali ini terasa lebih berat dan penuh ketegangan. Firda hanya bisa menatap jendela di sebelahnya, berharap perjalanan ini segera selesai.
Namun, ... Firda tak pernah tahu, bahwa keputusannya kembali ke rumah paman dan mimpinya bukanlah pilihan yang tepat. Hingga sepanjang hidupnya, sampai kini 5 tahun telah berlalu, Firda masih tetap menyesali itu.
***
(Kilas balik selesai)
Firda melangkah masuk ke ruang makan besar kediaman keluarga Handoko dengan perasaan campur aduk. Matanya tertuju pada seorang pria paruh baya yang duduk di sofa, mengenakan kemeja formal berwarna krem. Wajahnya terlihat keras, penuh wibawa, namun ada sesuatu yang terasa familiar. Ia menoleh ke wanita di sebelahnya, yang tampak lebih muda dengan penampilan elegan dan senyum yang licik. Di sisi lain, seorang pria muda dengan rambut tertata rapi dan wajah cerah duduk santai sambil memainkan ponselnya.
Firda tersentak dalam hati, memastikan bahwa ingatannya tak salah mengira.
Matanya kembali ke arah pria paruh baya itu. Sekilas bayangan masa lalu menyeruak, membawa ingatan akan malam dingin lima tahun lalu. Saat itu, Firda berdiri di pinggir jalan dengan tubuh gemetar, merasa putus asa, hingga seorang pemuda asing memberinya tumpangan. Dan kini, pria paruh baya di depannya adalah orang yang sama yang malam itu menghina putranya tanpa belas kasih.
Jadi... Benarkah pemuda asing yang ia jumpai lima tahun lalu adalah Tuan Abraham?
“Firda,” suara Abraham memecah lamunannya. “Jangan berdiri di situ saja.”
Firda tersentak, lalu berjalan mendekat.
“Ayah, ini Firda. Calon istriku,” kata Abraham dengan nada datar, tanpa basa-basi.
Tono Handoko meletakkan cangkir kopinya ke meja dengan gerakan pelan namun tegas. Matanya tajam mengamati Firda dari ujung kepala hingga kaki. Sintia, ibu tiri Abraham, menyipitkan mata seolah-olah sedang menilai harga sebuah barang.
“Calon istri?” Tono bertanya dengan nada rendah tapi penuh penekanan. “Dari mana asal gadis ini?”
Firda berusaha tersenyum, tapi itu lebih terlihat seperti senyuman canggung. “Aku... aku berasal dari—”
“Aku bertanya kepada putraku, Abraham,” potong Tono, mengabaikan Firda sepenuhnya. “Dari mana kamu menemukan dia? Siapa keluarganya? Lulusan universitas mana dia hingga berani-beraninya ingin menjadi menantu keluarga Handoko?”
Firda menundukkan kepala, merasa seperti ditelanjangi oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Tangannya meremas gaun yang telah dikenakan oleh pelayan di rumah Abraham tadi, gaun mahal yang bahkan ia tak berani membayangkan harganya.
“Dia tidak perlu lulusan universitas ternama untuk jadi istriku,” jawab Abraham tajam. “Dia cukup jadi dirinya sendiri. Itu sudah cukup untukku.”
Sintia menyeringai kecil, lalu menambahkan, “Oh, jadi ini soal cinta? Sayang sekali. Cinta tidak cukup untuk membangun sebuah keluarga, apalagi untuk menjadi bagian dari keluarga Handoko.”
“Benar, Mama.” Ramon, adik tiri Abraham, ikut bersuara.