Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadirnya Kenangan Buruk
Karina terdiam saat mendengar ucapan Amira. Hatinya mendadak sakit, ia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang berada di posisi itu. Karina mungkin tidak bisa bertahan jika menyaksikan kekasihnya sendiri meninggal dalam keadaan tragis.
Amira menarik napas dalam. "Itu salah satu pukulan terberat dalam hidup Nino. Butuh dua tahun lebih untuk membuat Nino bangkit dari keterpurukannya. Sebagai seseorang yang menangani banyak kasus tentang hal seperti ini, saya selalu berharap semua pasien saya bisa sembuh, tidak hidup dalam ketakutan, saya ingin melihat mereka bahagia, termasuk Nino. Saya cukup terkejut saat mendengar traumanya kembali muncul. Walaupun hal itu memang bisa terjadi."
Karina menghela napas pelan. Namun, rasanya tidak ada kelegaan. Ada sesuatu yang mengganjal di antara hela napasnya. Ternyata Amira melihat kerisauan wanita yang duduk di hadapannya. Lalu, ia menggenggam tangannya.
"Nino pasti bisa sembuh. Kalian bisa melewati semuanya. Ada kamu yang bisa menguatkannya sekarang. Kamu memiliki peran penting untuk Nino."
Karina menelan ludah susah payah. Bola matanya bergerak, melihat sosok yang kembali dari arah toilet. Pria itu tersenyum saat tatapan mereka saling beradu. Rasanya Karina ingin berlari, memeluk pria itu. Karina tidak kuasa membayangkan saat-saat terburuknya ketika itu. Karina kembali mengalihkan tatapannya pada Amira.
"Mbak, masih banyak yang ingin saya ketahui, tapi … kayaknya gak mungkin kita bicara ini depan Mas Nino. Saya takut dia merasa gak nyaman."
"Kamu bisa menghubungi saya kapan saja." Amira mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Lalu, menyerahkannya pada Karina. "Ini kartu nama saya."
Karina mengambil kartu nama yang bertuliskan Amira Maharini, di bawahnya terdapat nomor telepon yang bisa dihubungi.
"Kita bisa bertemu jika ada sesuatu yang ingin kamu tahu tentang Nino."
Karina tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian, ia menyimpan benda itu ke dalam tasnya.
"Mbak harap, kamu bersedia menjalani pemulihan lagi,” ujar Amira sesaat setelah Nino kembali ke tempat duduknya.
Nino tertegun sejenak. Ia kembali harus mengingat kejadian tragis itu lagi saat menjalani masa terapi.
"Lebih cepat, lebih baik," ujar Amira lagi.
Karina menggenggam tangan Nino. Pria itu menoleh ke arah Karina, dia tersenyum.
Kemudian, tatapan Nino kembali dialihkan pada Amira. "Iya, Mbak."
Amira tersenyum. "Oke, kita jadwalkan untuk pertemuan pertama. Minggu ini kamu siap, ya?"
Nino menarik napas dalam. Lalu, mengangguk.
"Kalian berdua pasti bisa melalui semuanya. Saya yakin," ujar Amira.
***
"Kenapa kalian baru bilang sekarang?" tanya wanita paruh baya dengan raut wajah khawatir ketika Nino dan Karina menceritakan keadaan Nino yang sebenarnya.
"Aku gak mau bikin Ibu khawatir," sahut Nino.
"Sudah pasti Ibu akan khawatir. Kamu tahu, Ibu gak bisa tenang kalau kamu …." Azizah tidak mampu mengatakan sepenuhnya keresahan yang ia rasakan saat Nino mengatakan akan menjalani terapi lagi. Ia pernah mengalami masa-masa itu.
Karina menggenggam tangan wanita berhijab itu. "Ada aku sekarang, Bu. Ibu gak usah khawatir."
Azizah menarik napas dalam. Lalu, dengan suara lembutnya, ia berkata, "Karin, Ibu harap, kamu bisa menemani Nino di saat-saat tersulitnya. Kalaupun kamu menemukan kesulitan, jangan sungkan untuk bicara sama Ibu."
Karina mengangguk.
Karina duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berkecamuk. Di sisi lain, ia merasa lega karena Nino mau menjalani terapi lagi, tetapi ia juga khawatir dengan keadaannya ketika masa terapi berlangsung. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, apa hal itu akan mempengaruhi hubungan mereka?
Karina memegangi kepalanya yang terasa pening. Ia sudah merasakannya sejak pagi tadi, tetapi tidak terlalu memedulikannya.
Nino masih berada di luar, mengajak keponakannya bermain. Nino sempat dilangkahi menikah oleh adik pertamanya dua tahun yang lalu, dan sekarang, dia sudah memiliki satu anak perempuan berusia satu tahun.
Karina pamit lebih awal untuk masuk ke kamar karena badannya merasa tidak enak. Sedikit meriang dan juga pusing. Padahal, seharusnya mereka pulang ke rumah karena besok harus bekerja. Jika berangkat dari sini, mereka harus berangkat pagi-pagi sekali.
Sepulang dari bertemu Amira, mereka langsung berangkat ke rumah orang tua Nino. Mereka sepakat untuk mengabarkan keadaan Nino akhir-akhir ini. Meski sebenarnya, Nino sempat menolak untuk memberitahu ibu, tetapi pasti hal itu akan membuat wanita itu kecewa.
Tak lama kemudian, Nino masuk. Ia sudah menemukan istrinya terlelap dan berganti baju dengan menggunakan pakaian milik Nino. Karena mereka memang tidak berniat untuk menginap, sehingga tidak membawa baju ganti.
Nino duduk di tepi ranjang, mencondongkan tubuh ke arah Karina, lalu meletakkan punggung tangannya di dahi wanita itu. Suhu tubuhnya memang sedikit meningkat dari biasanya. Karina membuka mata saat merasakan sentuhan di area wajahnya.
"Besok kamu gak usah kerja dulu. Istirahat aja di rumah," ujar Nino.
"Kerjaanku banyak di kantor, Mas." Karina memegangi kepalanya yang masih terasa pusing.
"Kamu mau kerja dalam keadaan begini?" Ibu jarinya mengusap pipi Karina yang memerah karena suhu tubuhnya meningkat. "Kamu demam, lho."
Karina membuang napas pelan. "Besok juga sembuh, kok."
Nino mengangkat kedua kakinya ke tempat tidur dan ikut berbaring di samping Karina. Memeluk Karina, ia lebih merasakan panas tubuh istrinya.
"Aku lagi demam, Mas. Kok malah kamu peluk, sih."
"Biar sakitnya pindah ke aku aja."
Karina mendongak seketika. "Ih, jangan, dong. Aku juga gak mau kalau kamu sakit."
Nino terkekeh pelan. "Aku kangen manjanya kamu. Keluarin manjanya, dong."
"Ih." Karina tertawa pelan. "Kamu ini ada-ada aja." Karina balik memeluk Nino. "Mas."
"Hmm."
"Aku sakit. Kepalaku pusing." Karina berujar dengan nada yang dibuat manja.
Kali ini, giliran Nino yang tertawa. "Aduh, manjanya aku lagi sakit."
Karina merenggangkan pelukan. Kemudian, merengek, "Mau cium. Siapa tahu kalau dicium kamu, demamnya hilang." Karina nyengir.
Nino tergelak sedikit keras. "Mana yang mau dicium."
"Di sini." Karina menunjuk keningnya. Lalu, Nino mendaratkan kecupan di sana. "Di sini." Karina menunjuk kedua pipi dan Nino melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. "Dan di—-"
Tanpa menunggu ucapan dari Karina selesai. Nino mencium bibir wanita itu. Sekali hanya sekilas. Kedua kali cukup lama walau bibir mereka hanya saling menempel. Ketiga kali, mulai intens, Nino menekan lebih dalam ciuman mereka, tetapi sebelum gairah mereka mulai ikut campur, Nino menghentikan semuanya. Ia menjauhkan wajah. Masih ada ketakutan untuk melakukannya lebih jauh. Nino merasakan Karina menenggelamkan wajahnya di pelukannya.
"Karin."
"Hmm."
"Apa aku gak akan menyakiti kamu kalau aku melakukannya lebih dari sekadar berciuman?"
Karina mendongak. "Maksud kamu?"
Nino menatap Karina. "Aku belum pernah mengatakan alasan sebenarnya tentang … kenapa aku gak bisa melakukannya, kan?"
Karina menatap Nino bingung.
"Aku takut menyakiti kamu. Meskipun aku tahu, kamu akan baik-baik saja. Tapi aku takut kamu akan merasa sangat kesakitan."
Karina tidak mengerti, kenapa Nino berkata seperti itu? Menyakiti apa? Kenapa dirinya harus merasa sangat kesakitan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Namun, jika dipikir kembali, ia belum tahu penyebab calon istrinya bunuh diri. Apa ini juga berhubungan?
***
Karina tidak merasa lebih baik di pagi harinya. Ia malah merasakan hidungnya tersumbat dan tidak bisa bernapas lega. Nino semakin menekankan untuk tidak masuk kantor hari ini. Ia akan khawatir tentu saja.
"Padahal, Karin di sini aja dulu. Kamu kan lagi sakit," ujar Azizah saat mereka akan pulang.
"Aku gak apa-apa kok, Bu. Nanti siang juga mendingan lagi."
Nino mendesah pelan. "Gak apa-apa gimana, semalem kamu demam. Ngeluh beberapa kali juga karena pusing."
"Itu kan semalem. Aku beneran gak apa-apa, kok sekarang." Karina merangkul tangan Nino sambil tersenyum lebar padanya.
"Tapi hari ini kamu jangan kerja, ya." Nino mencuil ujung hidung Karina.
Karina tersenyum. "Iya, deh."
Azizah senang melihat rumah tangga putra sulungnya yang tampak bahagia. Meski mereka sedang ditimpa cobaan, tetapi keharmonisan mereka masih tetap terjaga. Ia hanya bisa berdoa, semoga putranya bisa selalu merasakan kebahagiaan dalam pernikahannya.
"Ya udah, Bu. Kami pulang dulu, ya," ujar Nino. Ia menyalami tangan ibunya, begitu juga dengan Karina.
Kemudian, mereka meninggalkan rumah itu. Sebenarnya, Karina memang tidak terlalu baik-baik saja. Matanya terasa panas sejak tadi, persendiannya juga sakit. Mungkin istirahat memang harus dilakukan untuk hari ini.
"Semalem, aku mimpiin Ayah," ujar Nino saat mereka sudah dalam perjalanan pulang. Hari masih gelap saat mereka keluar dari rumah Azizah.
Karina menoleh menatap Nino yang fokus pada kemudinya.
"Aku baru ingat, kita ziarah ke makam Ayah itu, sebelum kita nikah," lanjut Nino.
Karina pengusap lengan pria itu. "Gimana kalau hari minggu nanti, kita ke makam Ayah?"
Nino menoleh sejenak sambil tersenyum. "Oke."
Nino memarkirkan mobilnya di carport. Ketika mereka sampai, hari sudah cukup terang. Karina segera masuk ke rumah dan berjalan menuju dapur, bersiap menyiapkan sarapan untuk Nino. Namun, Nino mencegah langkah Karina menuju tempat itu.
"Biar aku yang masak. Kamu istirahat aja." Nino menepuk pelan kedua pipi Karina.
"Tapi—-"
"Ssssttt, jangan protes." Nino mendorong Karina ke kamar. "Kamu harus istirahat."
"Mas—-"
Nino terus mendorong Karina sampai ke kamar. Setelah itu, ia bergerak menuju dapur.
Membuka kulkas, Nino mendapati stok sayurannya sudah menipis. Mungkin hari ini harus mengingatkan Mbak Tika untuk mengisi kembali kontainer-kontainer sayuran yang hampir kosong.
Ia mengeluarkan wortel, ayam, dan sayuran lain untuk membuat sup ayam. Nino membuka lemari tempat menyimpan alat-alat memasaknya. Namun, ia tidak menemukan panci yang dibutuhkan di tempat biasa.
Nino membuka satu per satu lemari di kitchen set-nya untuk mencari panci tersebut. Masih belum menemukannya, Nino membuka lemari di paling ujung. Napasnya terhenti sejenak saat bola matanya melihat satu benda. Benda yang paling berguna untuk siapa saja ketika berada di dapur, untuk memotong bahan makanan.
Ingatannya bergegas kembali ke enam tahun yang lalu. Ke masa ketika pengalaman paling mengerikan dalam hidupnya, menghancurkan hampir seluruh hidupnya karena tenggelam dalam ketakutan yang berkepanjangan, bahkan hingga sekarang dan dia pernah berpikir juga menggunakan benda itu untuk mengakhiri segalanya.
Nino tahu benda itu tidak akan menyakiti jika tidak dipegang dan disalahgunakan. Pisau hanya benda mati. Namun, bagi Nino benda itu adalah sesuatu yang paling mengerikan dan menyimpan ketakutan terpendam dalam dirinya.
Ketegangan semakin menguasai, jantungnya berdebar begitu kencang, hampir menyakiti. Sakit. Pedih. Seakan hampir membuatnya mati. Matanya berkaca-kaca dengan napas yang cepat. Mundur beberapa langkah, Nino mencoba untuk menstabilkan dirinya. Ia tidak ingin membuat Karina khawatir, Karina sedang sakit sekarang. Namun, ternyata ingatan itu semakin kuat, semakin mengisap dirinya pada gelapnya masa lalu dan rasa takut yang mengintai di setiap waktu.