Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24~ MEMINTANYA MENJADI TAKDIRKU
“Ya Allah, tiada Tuhan yang patut disembah selain Engkau Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Rabb pemilik 'Arsyi yang Agung.
Aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu, lapanganlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa sedih serta duka dan kebimbangan dalam hatiku."
Jihan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang terbalut mukenah. Ia menghela nafas, terasa sedikit lega setelah mengadukan keresahan hatinya pada sang pencipta semesta alam, kala seseorang menaruh harapan, namun ia bimbang dalam menentukan keputusan.
Ia tahu dokter Aidan adalah laki-laki yang baik, bahkan kedua orangtuanya pun tak mempermasalahkan statusnya. Namun, tetap saja ia tidak bisa memberi jawaban kala luka di hati atas perceraian itu masih membekas.
Jihan melipat sajadah lalu melepas mukenah nya, setelah menyimpan ia pun menghampiri putranya yang rebahan di kasur.
Dafa membuka mata kala merasakan pergerakan disampingnya, "Bunda udah Sholat?" tanyanya terdengar lirih.
"Sudah, Nak. Tadi Dafa kenapa, tumben gak mau diajak Sholat?" Jihan bertanya balik.
"Lemes Bunda, kepala Dafa juga pusing." aduh anak lelaki itu.
"Ya Allah, Nak, kenapa tadi gak bilang sama Bunda?"
"Nungguin Bunda selesai Sholat dulu,"
Jihan menyentuh kening putranya, ia tersentak kala merasakan suhu tubuh Dafa terasa panas. "Ya Allah, kamu demam, Nak." Ia beranjak membuka tirai jendela, hujan belum juga reda sejak satu jam lalu.
"Ya Allah, gimana aku bisa bawa Dafa berobat." Teringat jika suaminya Nayra memiliki mobil, ia pun segera mengambil ponsel dan menghubungi bosnya itu.
"Assalamualaikum, Mbak Nayra," ucapnya begitu sambungan telepon terhubung.
"Waalaikumsalam, Jihan. Ada apa, tumben nelpon Mbak malam-malam begini?" tanya Nayra.
"Mbak, Dafa lagi demam, badannya panas banget. Tapi sekarang lagi hujan, kalau bisa saya mau minta tolong sama Mbak dan Mas Rian untuk diantarkan ke rumah sakit bawa Dafa berobat."
"Dafa demam? Duh tapi gimana ya, mobil dibawa Mas Rian ke bengkel dan tadi sore pulangnya naik motor karena katanya ada yang harus diperbaiki."
"Ya Allah," Jihan memijat keningnya, sekarang entah bagaimana ia bisa membawa putranya ke rumah sakit ditengah hujan deras.
"Dafa kenapa?" Jihan dapat dapat mendengar suara Rian yang bertanya diseberang telepon.
"Demam, Mas, tapi gimana sekarang lagi hujan. Mobil kita juga lagi ada di bengkel," ujar Nayra menjawab pertanyaan suaminya.
Rian pun tampak berpikir sejenak, kemudian mengambil alih ponsel ditangan istrinya. "Halo, Jihan,"
"Iya, Mas Rian," sahut Jihan.
"Kamu gak usah khawatir, sekarang biar saya telepon Aidan suruh ke sana."
"Tapi, Mas... ." Belum selesai Jihan berbicara, namun sambungan telpon sudah terputus. Ia pun menyimpan ponselnya dan kembali menghampiri putranya. Sekarang tak ada yang dapat dilakukannya selain menunggu kedatangan dokter Aidan.
'Ya Allah, hujannya sangat deras, lindungilah Dokter Aidan dalam perjalanan kemari.' doanya dalam hati.
.
.
.
"Ai, kamu mau kemana?" tanya mama Kiara ketika melihat putranya menuruni anak tangga tergesa-gesa. Piyama tidur yang sebelumnya melekat ditubuh Aidan pun kini telah berganti kemeja putih lengan pendek.
"Tadi Mas Rian telepon, katanya Dafa Demam tinggi, Ma. Mas Rian juga gak bisa antar ke rumah sakit karena mobilnya ada di bengkel. Jadi, aku harus ke kontrakan Jihan sekarang," jawab Aidan.
"Tapi sekarang hujannya lagi derasnya banget, Ai." Mama Kiara tampak khawatir.
"Tapi ini juga sudah tugas aku sebagai Dokter, Ma."
"Ya udah, tapi kamu hati-hati di jalan ya."
"Iya, Ma. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam." Mama Kiara masih berdiri di ambang pintu menatap kepergian Aidan sampai mobilnya tak terlihat lagi. Hingga tepukan di pundak membuatnya tersentak kaget.
"Papa, bikin kaget aja."
"Mama ngapain berdiri di sini?" tanya papa Denis.
"Ngelihatin Ai pergi, Pa. Dafa demam dan dia khawatir banget, tetap maksa pergi ditengah hujan deras begini."
Papa Denis terkekeh, "Ayah mana sih yang gak khawatir kalau anaknya lagi sakit?"
"Baru calon Ayah! ralat mama Kiara. "Itupun kalau Ai diterima sama Jihan," ucapnya.
"Pasti diterima dong. Nanti biar Papa yang ajarin Ai cara menaklukkan janda. Sekali kekep pasti dapat." Kekeh papa Denis sambil mengedipkan sebelah matanya.
Mama Kiara langsung cemberut, "Gak lucu! Udah ah, gak usah becanda. Mama tuh khawatir tahu sama Ai."
"Iya, Papa juga khawatir. Tapi kita doakan Ai baik-baik saja diperjalanan sampai ke tempat tujuannya. Ya sudah, sekarang ayo kita masuk, pintunya dikunci saja, Ai pasti gak pulang."
Di sisi lain, Aidan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, namun tetap berhati-hati. Mendapat kabar Dafa sedang sakit membuat hatinya seketika tak tenang.
Kurang dari 30 menit berkendara ia pun akhirnya sampai. Beberapa kali mengetuk pintu kontrakan sembari mengucap salam, Jihan pun membukanya pintu.
"Dokter, saya minta maaf sudah merepotkan malam-malam begini," ucap Jihan merasa tak enak hati.
"Ini sudah menjadi tugas saya, siapapun itu saya tetap akan datang. Sekarang Dafa ada dimana?"
"Di kamar." Jihan membuka pintu lebar-lebar, setelah dokter Aidan masuk, ia pun menutup pintu dan segera menyusul ke kamar.
Aidan duduk di samping Dafa, mengangkat kepala anak lelaki itu dan membaringkan di pahanya. "Badannya panas sekali, bisa minta tolong siapkan air hangat untuk mengompres?" Ia mendongak menatap Jihan yang baru saja masuk.
"Sebentar, Dok." Jihan bergegas keluar dan langsung menuju dapur. Sementara itu, Aidan mengambil sirup penurun panas dari dalam tasnya. "Minum obatnya dulu ya,"
Dafa mengangguk lemah, perlahan ia pun duduk dengan dibantu Aidan. Setelah meminum sirup penurun panas, Aidan kembali membaringkan Dafa di pahanya.
Tak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa wadah berisi air hangat dan handuk kecil untuk mengompres. "Ini, Dok." Ia meletakkannya di samping dokter Aidan.
"Terima kasih." Aidan merendam handuk kecil tersebut kedalam air hangat, memeras pelan lalu menempelkan di kening Dafa membuat anak lelaki itu refleks memejamkan mata.
"Tadi sudah aku kasih minum obat, semoga panasnya cepat turun." Aidan menatap Jihan yang tampak cemas.
"Aamiin, sekali lagi terima kasih, Dok. Dan maaf sudah merepotkan malam-malam begini, apalagi sedang hujan deras."
"Sama-sama, ini sudah tugasku." kata Aidan.
Hening, keduanya larut dalam kebisuan. Jihan sesekali menoleh melihat tetesan hujan dari celah jendela demi mengurai kecanggungan. Sedangkan Aidan membolak-balikkan kompres di kening Dafa. Hingga tak terasa satu jam pun berlalu.
"Alhamdulillah, panasnya sudah turun." Aidan mengusap bulir-bulir keringat di kening Dafa yang telah tertidur.
Jihan menghela nafas lega, ia mengucap syukur dalam hati. "Sebentar, saya buatkan teh hangat dulu." Jihan bergegas menuju dapur, meski demam putranya sudah reda tetap ia tidak mungkin membiarkan Aidan pulang dalam kondisi masih hujan deras. Cukup tadi ia mengkhawatirkan Aidan yang sedang dalam perjalanan menuju kontrakannya. Entah kenapa malam ini hujan begitu lama.
"Ya Allah, jika perasaanku padanya adalah rencana dan kehendak-Mu, maka bolehkah aku memintanya untuk menjadi takdirku. Dan jika takdirku benar adanya dirinya, persatukan kami dalam ikatan yang Engkau ridhoi."Aidan terus menatap ke ambang pintu kamar meskipun Jihan tak terlihat lagi.
pasti Jihan mau melakukan tes DNA secara diam-diam karena kalo secara langsung pasti tu ulat akan curiga..ya kan Jihan