Blurb :
Ling, seorang Raja Legendaris yang bisa membuat semua orang bergetar saat mendengar namanya. Tak hanya orang biasa, bahkan orang besar pun menghormatinya. Dia adalah pemimpin di Organisasi Tempur, organisasi terkuat di Kota Bayangan. Dengan kehebatannya, dia dapat melakukan apa saja. Seni beladiri? Oke! Ilmu penyembuhan? Oke! Ilmu bisnis? Oke!
Namun, eksperimen yang dia lakukan menyebabkan dirinya mati. Saat bangun, ternyata ia bereinkarnasi menjadi pria bodoh dan tidak berguna yang selalu dihina. Bahkan menjadi tertawaan adalah hal yang biasa.
Popularitas yang selama ini ia junjung tinggi, hancur begitu saja. Mampukah ia membangun kembali nama besarnya? Atau mungkin ia akan mendapat nama yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daratullaila 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelahiran Kembali
"Argh...," rintih seorang pria di atas tempat tidurnya. Tubuhnya bergeliat tak berdaya, seolah mencoba melawan rasa sakit yang menyerang. Kepalanya terasa seperti hendak pecah, dihantam oleh potongan-potongan ingatan yang begitu asing, dan tak henti-hentinya mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan, berharap rasa sakit itu akan segera mereda.
Namun, ketika kesadarannya mulai terkoyak oleh kesakitan yang menyiksa, sebuah suara melengking menyadarkannya.
"Chen Ling, apa yang kau pikirkan saat melakukan itu? Kau benar-benar kejam!" suara seorang wanita menggema di ruangan itu, dipenuhi amarah.
"Diam!" Chen Ling, yang dikenal sebagai sosok paling disegani di organisasinya, kini tampak begitu menyedihkan. Bajunya basah kuyup oleh keringat dingin, wajahnya pucat pasi seperti tak ada darah yang mengalir, dan tangannya bergetar hebat seolah tak mampu menahan rasa sakit yang terus-menerus mendera.
Wanita itu menatapnya dengan jijik, kemarahan di matanya masih membara. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti racun yang menusuk ke dalam jiwa Chen Ling, namun pria itu belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi padanya. Rasa sakit yang luar biasa masih mencengkeram kepalanya, seperti ribuan jarum yang menancap tanpa henti, membuatnya hampir kehilangan akal.
Hingga sesaat kemudian, rasa sakit itu mulai mereda, meninggalkan Chen Ling dalam kebingungan dan kelelahan.
Chen Ling mencoba mengingat apa yang terakhir kali ia lakukan. Saat itu, ia berada di laboratorium yang tersembunyi di sebuah pulau terpencil, mengerjakan eksperimen rahasianya yang sangat penting. Di sanalah ia meneliti bahan kimia yang bisa mengubah segalanya. Namun, pengkhianatan datang dari seseorang yang ia percayai, dan rahasia yang ia jaga dengan begitu ketat akhirnya bocor.
Dalam hitungan detik, pasukan bersenjata mengepung laboratoriumnya, mengepungnya dari segala arah. Ling, yang sudah merasakan adanya bahaya sebelum ini, telah mempersiapkan segalanya.
Dengan dingin, ia memilih untuk menghancurkan semua yang ada, daripada membiarkan eksperimennya jatuh ke tangan musuh. Ia menekan tombol detonator, meledakkan bom yang telah dipasangnya jauh sebelumnya. Bagi Ling, kematian lebih baik daripada menyerahkan hasil jerih payahnya kepada orang lain.
Namun, sekarang ia terbaring di sini, hidup. Bagaimana mungkin ia masih hidup setelah ledakan yang begitu dahsyat? Pertanyaan itu bergema dalam benaknya, membuatnya semakin bingung.
Ling menggerakkan tangannya, menggeser rambut panjang yang menutupi pandangannya. Rambut itu terasa asing, sangat panjang dan halus, seperti rambut seorang wanita. Perasaan tak nyaman menyelimutinya saat ia menyadari sesuatu yang aneh pada dirinya.
Kemudian, rasa sakit yang begitu familiar kembali menghantam kepalanya, lebih kuat dan disertai dengan serangkaian ingatan yang aneh dan tak terduga. Kilasan-kilasan memori yang bukan miliknya terus bermunculan, membuatnya semakin yakin bahwa ada yang salah.
"Sial!" Ling mengumpat pelan, matanya membelalak dalam kesadaran yang tiba-tiba menghantamnya. Tubuh ini... bukan miliknya. Ling, entah bagaimana, telah terlahir kembali dalam tubuh orang lain.
Akhirnya, Chen Ling mengalihkan pandangannya ke wanita yang berdiri di depannya.
Wanita itu begitu cantik, seolah diciptakan untuk menggoda pandangan siapa saja. Rambutnya hitam legam, panjang dan terurai bebas di punggungnya, memancarkan kilau yang menambah keanggunannya. Gaun selutut yang ia kenakan tampak begitu elegan, membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan setiap lekuk indahnya. Wanita seperti ini adalah tipe yang bisa membuat pria manapun kehilangan akal.
Namun, ekspresi kemarahan di wajahnya tak kalah kuat dengan pesonanya. Dengan nada yang dipenuhi kebencian, ia kembali meluapkan emosinya, "Mengapa kau mengurung Wuzhou di lemari pendingin? Apa kau merasa terancam karena Nyonya Chen lebih menyayangi dia? Kau memang tak pernah bisa menerima kenyataan kalau dia lebih hebat darimu!"
Chen Ling hanya menatap wanita itu dengan dingin, matanya kosong seolah tidak terganggu sedikitpun oleh kata-katanya. Wanita itu bisa memancarkan aura membunuh sebanyak yang ia mau, tetapi bagi Ling, itu hanyalah angin lalu.
Bagaimana mungkin ia, yang pernah meledakkan bom tanpa rasa takut, seorang Raja Legendaris dari Organisasi Tempur yang namanya bisa mengguncang dunia, akan gentar oleh kemarahan seorang wanita?
Ling menyeringai kecil, matanya menyipit saat ia menatap tajam ke arah wanita itu. Perlahan, potongan ingatan yang berserakan di benaknya mulai tersusun rapi, memberikan kejelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Ia mulai memahami situasi yang dihadapinya.
"Pergi," katanya dengan nada rendah dan tegas. Tatapan dinginnya tak berubah, memaksa wanita itu untuk berpikir dua kali sebelum menentangnya.
Wanita di depannya terlihat tercengang. Pria yang selama ini dikenal lemah dan tak berdaya, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang penuh energi. Ekspresi terkejut yang tergurat di wajahnya begitu jelas, seolah tak mampu menyembunyikan kebingungannya.
"Apa maksudmu? Kau berani bicara seperti itu padaku?" ucap wanita itu dengan nada yang dipenuhi penghinaan. Ekspresi keterkejutannya sekejap berubah menjadi senyum sinis dan ejekan.
Chen Ling tidak terlalu peduli dengan tatapan penuh kebencian yang ditujukan padanya. Namun, dalam dirinya, rasa harga diri yang telah lama terasah membuatnya tidak bisa menerima tatapan meremehkan dari siapapun. Selama ini, baik orang kecil maupun besar selalu menghormatinya, dan tak ada yang berani menantangnya dengan cara seperti ini.
Ling menatap wanita itu dengan pandangan tajam dan dingin, seperti pisau yang siap menusuk. Wanita ini, meski terlihat dewasa, tampaknya belum sepenuhnya memahami etika. Dengan tenang dan tanpa tergesa-gesa, ia berkata, "Paman Qian, tolong antar Nona ini keluar. Aku tidak ingin melihatnya lagi."
Wanita itu kembali terkejut. Perubahan sikap Ling yang mendadak dan tak terduga membuatnya bingung. Ia terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja terjadi, mencoba memahami perasaan aneh yang merayap di dalam dirinya.
Namun, ingatannya akan tujuan kedatangannya segera kembali. Tatapannya mengikuti kepergian Ling dengan penuh penghinaan, bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
"Kau pria atau bukan? Bahkan kau lari dari masalah ini. Dasar pengecut!" suaranya dipenuhi ejekan yang tajam, namun Ling tidak memberikan reaksi apapun. Ia hanya terus berjalan dengan santai, mengabaikan provokasi itu, dan masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh sedikit pun.
Bagaimana bisa ia begitu tak peduli dengan kedatanganku? Lihat saja nanti, kau akan menyesal dan mengejar-ngejarku! pikir wanita itu dengan marah.
Sementara itu, Paman Qian dengan tenang dan sopan mematuhi perintah Ling. Dia tersenyum lembut dan penuh keramahan, sambil membungkuk sedikit sebagai tanda hormat, kemudian berkata, "Nona Lu, pintu keluar ada di sebelah sini."
Lu Yan menatap Paman Qian dengan dingin, meski kebenciannya terhadap Chen Ling begitu kuat, ia masih menyimpan sedikit rasa hormat untuk pria tua itu.
"Paman, mengapa Anda selalu membela Ling? Dia sudah menyakiti orang lain dan berbuat kesalahan besar. Apa Anda sudah tidak bijaksana seperti dulu? Mengapa Anda tetap memihaknya meski ia jelas-jelas salah?" tanya Lu Yan, suaranya penuh dengan ketidakpahaman dan frustrasi.
Paman Qian tetap tersenyum lembut mendengar kata-kata Lu Yan. Tatapannya beralih ke arah pintu sebelum menjawab dengan tenang, "Sebelah sini, Nona Lu."
Tanpa menambahkan apapun lagi, ia menunggu Lu Yan untuk mengikutinya, tetap menjaga sikapnya yang tenang dan hormat meski mengetahui emosi wanita itu.
Lu Yan merasa sangat kesal. Amarahnya memuncak ketika ia dipaksa keluar dari kediaman Keluarga Chen. Dengan wajah suram dan penuh kekecewaan, ia pergi, meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat, seolah ingin melupakan semua yang baru saja terjadi.
Setelah Lu Yan pergi, ekspresi Paman Qian berubah muram. Kekhawatiran mulai menyelimuti pikirannya. Ling baru saja pulih dari kondisi yang mengkhawatirkan, namun begitu terbangun, ia langsung harus berhadapan dengan seseorang yang datang hanya untuk meluapkan kemarahan. Situasi ini jelas tidak baik bagi kesehatan fisiknya, apalagi mentalnya.
Namun, ada satu hal yang membuat Paman Qian berpikir keras dan tak bisa menyingkirkan kekhawatirannya.
Mengapa Ling, yang biasanya begitu memuja Lu Yan, tiba-tiba mengusirnya tanpa perasaan? Bukankah selama ini Ling sangat mencintai wanita itu? Bahkan, ia tidak ragu untuk terus mengejar Lu Yan meski telah berkali-kali ditolak. Cinta Ling pada Lu Yan selama ini begitu kuat, dan meski mereka telah bertunangan, Lu Yan sendiri selalu menganggapnya sebagai perjanjian yang hanya ada karena kehendak orang tua mereka.
Tapi sekarang, Ling bukan hanya mengusirnya, ia juga terlihat benar-benar tak peduli. Tatapan dingin dan sikap acuh tak acuh yang diperlihatkannya ketika berhadapan dengan Lu Yan tadi benar-benar tidak seperti Ling yang dikenal Paman Qian.
Apakah ini benar-benar Chen Ling yang sama dengan yang ia kenal selama ini? pikirnya dalam kebingungan.
Namun, Paman Qian segera menepis keraguan itu. Bagaimana mungkin cinta yang begitu kuat bisa hilang dalam sekejap? Ia merasa perlu memastikan keadaan Ling. Dengan perasaan was-was, ia memutuskan untuk naik ke kamar Ling dan memeriksa keadaannya.
Sesampainya di depan pintu kamar Ling, Paman Qian mengetuk pintu dengan hati-hati. "Tuan Muda," panggilnya dengan nada yang penuh kekhawatiran.
Ia menunggu beberapa detik, tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Hati Paman Qian semakin diliputi kekhawatiran. Mungkin Ling sedang bersedih atau tertekan setelah perdebatan dengan Lu Yan tadi, pikirnya.
Setelah beberapa menit berlalu tanpa jawaban, Paman Qian mencoba lagi. Ia mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras, dan berkata dengan suara lembut, "Tuan Muda, jangan terlalu dipikirkan apa yang dikatakan Nona Lu. Semua akan baik-baik saja."
Namun, tetap tidak ada respon dari dalam kamar, membuat Paman Qian semakin gelisah. Ia berdiri di sana, merasa tak berdaya, hanya bisa berharap Ling baik-baik saja di balik pintu itu.
*
Di dalam kamar yang sederhana namun berantakan, Ling duduk di depan meja yang dipenuhi dengan berbagai barang. Sebuah komputer terletak di atas meja, sementara di sampingnya, PlayStation dan beberapa CD berserakan. Kesan pertama yang ditinggalkan adalah bahwa Ling adalah seorang penggila game.
Ling segera menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang basah oleh keringat. Setelah berendam dalam air hangat untuk menenangkan pikiran, ia mengenakan pakaian yang bersih dan nyaman.
Dengan segar, Ling kembali ke meja dan mengalihkan perhatian ke cermin kecil yang terletak di dekat komputer. Ia menatap refleksinya dengan cermat. Wajahnya sempurna dalam setiap detail—tidak ada cacat yang terlihat. Matanya tajam dan hitam pekat, alisnya tebal, dan batang hidungnya tinggi, memberikan kesan tegas pada wajahnya. Giginya putih bersih seperti mutiara, dan rahangnya sangat kuat. Dengan penampilan ini, ia tidak perlu ragu untuk menyombongkan ketampanannya.
Namun, rambutnya yang panjang membuat penampilannya menjadi ambigu. Dengan wajah yang seutuhnya pria namun rambut yang terurai, ia tampak lebih seperti wanita cantik daripada pria sejati. Ling menyadari kontras ini dan segera mengikat rambut panjangnya. Ia dengan teliti menggeser setiap helai rambut yang terlepas dari ikatan, memastikan semuanya berada di tempat yang benar.
Setelah puas dengan hasilnya, Ling kembali menatap cermin, memeriksa penampilannya dengan seksama.
Ling mengenakan seragam sekolah putih abu-abu yang pas di tubuhnya. Di sudut kanan kemeja, namanya terbordir dengan rapi, sementara di sudut kiri terdapat lambang sekolah yang menandakan identitasnya. Penampilannya rapi dan teratur.
Ketika matanya secara tidak sengaja tertuju pada sesuatu yang berkilau di lehernya, Ling mengambil liontin batu giok yang tergantung pada tali hitam. Batu giok tersebut bersinar lembut di bawah cahaya, menarik perhatiannya.
Ling memeriksa liontin itu dengan penuh perhatian, ingatannya melayang kembali pada giok ajaib ini. Ia tahu bahwa giok ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan kekuatan seseorang. Senyum dingin menyelinap di wajahnya saat ia merenungkan kekuatan tambahan yang dimilikinya.
Dengan tatapan penuh arti, Ling menatap wajah cantiknya yang terpampang di cermin. Ia memperhatikan penampilannya yang kini tampak lebih muda lima tahun dari sebelumnya.
"Lebih muda lima tahun? Sungguh menyenangkan," gumamnya sambil menopang dagunya.
kalo MCnya tetep kuat, kayak gk ada halangan sama sekali,, gk asik sih