Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Wedding Dress and an Unwelcome Past
Siang itu terasa tenang di kantor Shabiya. Ruang kerjanya yang modern dengan dominasi warna abu-abu lembut dan aksen kayu memberikan suasana tenang dan profesional. Jendela besar di belakang meja kerjanya menghadap langsung ke pusat kota yang sibuk, namun di dalam ruangan, hanya terdengar bunyi samar AC dan ketukan lembut keyboard saat dia memeriksa laporan keuangan yang menumpuk. Pikirannya fokus pada angka-angka, mencoba memastikan tidak ada kesalahan dalam laporan akhir bulan.
Tiba-tiba, interkom di mejanya berbunyi. Suara lembut sekretarisnya menyampaikan pesan dengan nada hati-hati, "Bu Shabiya, ada seorang wanita yang ingin bertemu. Dia bilang namanya Erika."
Nama itu langsung membuat Shabiya berhenti mengetik. Ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. Erika, mantan kekasih Chandra dan tunangan Awan, kakak iparnya. Wanita yang seolah menjadi duri dalam hubungan mereka meski tanpa disadari langsung oleh Chandra atau Awan. Shabiya menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak di dadanya. Jika boleh memilih, ia lebih suka tidak bertemu dengan Erika hari ini. Atau mungkin, tidak pernah.
"Saya tidak punya jadwal untuk tamu tanpa janji temu hari ini," ucap Shabiya dengan tegas melalui interkom. "Sampaikan pada Erika kalau saya sedang sibuk."
Namun, sebelum sekretarisnya bisa membalas, pintu ruangannya terbuka lebar. Erika, dengan gaun mewah kasual berwarna merah marun yang membentuk tubuhnya sempurna, melangkah masuk tanpa undangan. Raut wajahnya yang penuh percaya diri mencerminkan seseorang yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya, tak peduli aturan atau etika. Mata tajamnya menatap Shabiya seolah mengevaluasi, lalu tersenyum dengan cara yang seolah ramah namun mengandung sentuhan keangkuhan.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menunggu," kata Erika dengan suara ringan, seolah ia adalah tamu terhormat yang diterima dengan tangan terbuka. Shabiya berdiri dari kursinya dengan kaku, tak punya pilihan lain selain menghadapi tamu yang tak diinginkannya ini.
"Erika," Shabiya menyapanya dengan nada yang datar, namun cukup sopan. "Kau seharusnya menunggu di luar sampai aku mempersilakanmu masuk."
Erika tertawa kecil, melambaikan tangannya seolah perkataan Shabiya tidak berarti. "Aku tahu kau sibuk, tapi aku tidak akan lama. Maksudku aku datang ke sini benar-benar dengan tujuan yang baik. Aku dan Awan akan menikah, dan aku ingin sedikit bantuan dari adik iparku yang cantik ini."
Ada tekanan pada kata "adik ipar", seolah Erika ingin menegaskan posisinya yang akan segera masuk ke dalam keluarga Chandra. Shabiya tetap tenang meski ia bisa merasakan ketegangan menjalar di dalam dirinya. Ia tahu betul bahwa Erika tak pernah benar-benar bermaksud baik, apalagi mengingat masa lalu mereka yang rumit.
Shabiya menatap Erika, berusaha mengukur niatnya. "Bantuan apa yang kau maksud?"
Erika tersenyum lebih lebar, mendekatkan dirinya ke meja Shabiya. "Aku suka sekali dengan gaun pengantin yang kau kenakan saat pernikahanmu. Elegan, tapi tetap berkelas. Aku ingin sesuatu yang serupa, dan kupikir, siapa lagi yang lebih tahu daripada kau soal tempat yang sempurna untuk mendapatkannya?"
Mendengar itu, Shabiya merasa ada kekesalan yang sulit dijelaskan. Gaun pengantin itu adalah bagian dari kenangan indah dan emosional dalam hidupnya, momen di mana ia menikah dengan Chandra—suaminya. Erika meminta bantuan untuk mendapatkan sesuatu yang serupa, sesuatu yang seharusnya sangat personal, terasa seperti tamparan halus. Shabiya tak bisa menahan rasa bahwa ini lebih dari sekadar soal gaun. Ini tentang Erika yang mencoba masuk lebih jauh ke dalam hidupnya dan Chandra.
Namun, Shabiya tetap menjaga wajahnya tetap tenang. "Butik tempat aku memesan gaun itu ada di luar kota. Aku bisa memberimu alamatnya jika kau mau."
Erika menggeleng dengan senyum liciknya. "Oh, aku ingin kau yang mengantarku ke sana. Lagipula, kita harus mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, kan? Sebagai calon saudara ipar, kita harus lebih dekat."
Erika tahu betul bahwa tawarannya sulit ditolak secara langsung. Permintaannya terbungkus dalam kata-kata manis yang menyulitkan Shabiya untuk langsung menolaknya tanpa terdengar kasar. Tapi Shabiya tahu ini bukan sekadar soal gaun pengantin atau waktu bersama. Erika ingin menegaskan dominasinya, ingin menunjukkan bahwa ia masih punya tempat dalam kehidupan Chandra, meski hanya lewat permainan kecil seperti ini.
"Baiklah," Shabiya akhirnya mengangguk, meski dalam hatinya penuh dengan pertentangan. "Kapan kau ingin pergi?"
Erika menyeringai puas. "Besok, kalau kau tidak keberatan. Aku punya jadwal yang padat, dan itu satu-satunya waktu yang tersedia."
Shabiya menghela napas. Ia merasa terjebak dalam permainan yang dibuat Erika, permainan yang ia tidak pernah ingin ikut serta. Tapi untuk menjaga perdamaian, terutama demi hubungan dengan Chandra dan keluarganya, ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan ini.
"Baik," jawabnya datar, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Erika berdiri dan melangkah ke arah pintu, seolah yakin bahwa ia telah memenangkan sesuatu hari ini. Tapi sebelum ia pergi, ia berbalik, memberikan tatapan licik kepada Shabiya. "Aku yakin perjalanan besok akan menyenangkan. Kita bisa bicara tentang banyak hal—mungkin bahkan tentang Chandra."
Shabiya hanya mengangguk sekali lagi, menahan segala komentar yang mungkin muncul di benaknya. Saat pintu tertutup di belakang Erika, Shabiya melepaskan napas panjang yang sudah ditahannya. Ia merasa lelah, tidak hanya karena pertemuan ini, tetapi juga karena permainan pikiran yang terus dilontarkan Erika.
Shabiya menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba memikirkan cara terbaik untuk menghadapi situasi yang akan datang. Erika bukan sekadar seorang wanita yang menikahi Awan, kakak iparnya—ia adalah ancaman bagi kedamaian rumah tangganya dengan Chandra, dan Shabiya tahu, ia harus tetap waspada.
***
Setelah Erika pergi, suasana hati Shabiya langsung berubah drastis. Ruang kerjanya yang tadinya terasa tenang dan teratur kini terasa begitu sesak. Pikirannya penuh dengan bayangan besok—perjalanan panjang ke luar kota bersama Erika. Perjalanan yang bisa memakan waktu seharian, ditambah lagi Erika sedang hamil, yang berarti Shabiya harus ekstra hati-hati. Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya terasa berat, seperti ada beban yang terus-menerus menekan.
Shabiya menatap layar laptopnya, laporan yang tadi menarik perhatiannya kini tampak seperti huruf-huruf yang berputar tanpa arti. Tidak ada lagi semangat untuk bekerja. Ia menutup laptopnya, menyandarkan tubuh ke kursi, dan memijit pelipisnya. Pikirannya terus berputar, mencari jalan keluar dari situasi yang tak nyaman ini. Menghabiskan waktu seharian dengan Erika adalah sesuatu yang paling ingin ia hindari.
Shabiya tiba-tiba teringat pada Awan. Ia jarang, atau bahkan hampir tidak pernah, menghubungi pria itu meski memiliki nomor ponselnya sejak perkenalan pertama mereka dulu. Awan, dalam pandangan Shabiya, selalu tampak seperti seseorang yang berbahaya—tampan, licik, dan egois. Ia bisa melihat dengan jelas, saat pertama kali bertemu, bahwa Awan bukan tipe pria yang bisa dipercaya. Tapi sekarang, Shabiya tidak punya pilihan lain. Ia harus bicara dengan Awan.
Dengan berat hati, Shabiya mengambil ponselnya dan mengetikkan nomor Awan. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Ini pertama kalinya ia berinisiatif menghubungi pria itu. Ketika suara Awan terdengar di ujung sana, ada nada senang yang segera terdeteksi.
"Shabiya? Ini benar-benar kau yang meneleponku?" Suara Awan terdengar menggoda, seolah ada sesuatu yang ia nantikan dari percakapan ini. "Apa ini artinya kau sudah mulai bosan pada Chandra? Mungkin sekarang kau mulai tertarik padaku, sama seperti Erika dulu?"
Shabiya mengerutkan dahi. Rasa muak langsung menjalar dalam dirinya mendengar cara bicara Awan yang terlalu percaya diri. "Jangan pernah bermimpi. Aku tidak seperti Erika, dan aku tidak akan pernah tertarik padamu. Chandra itu sempurna," jawabnya dengan tegas, meski di dalam hati, ia mencoba menahan rasa jijik. Ia tidak mau memperpanjang percakapan yang tak perlu.
Awan tertawa, suara tawanya terdengar malas, seolah ia tidak benar-benar memedulikan penolakan itu. "Tentu saja, Chandra selalu jadi yang sempurna. Tapi kita semua tahu, kan? Sempurna itu hanya ilusi."
Shabiya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tak ingin terseret dalam permainan pikiran Awan. "Aku meneleponmu bukan untuk mendengar omong kosongmu," ucapnya akhirnya, nada suaranya lebih tegas. "Tadi Erika datang ke kantorku, meminta bantuan untuk mengantarnya ke butik tempat aku memesan gaun pengantin. Aku ingin kau sampaikan pada Erika kalau besok aku tidak bisa menemaninya."
"Kenapa tidak bisa?" tanya Awan, penasaran.
"Aku punya urusan pekerjaan." Itu jelas kebohongan, tapi Shabiya tak peduli. Ia hanya ingin menghindari Erika, tanpa harus terjebak dalam situasi yang lebih menyebalkan.
Awan terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Urusan pekerjaan, ya?" nadanya sedikit skeptis, seolah ia tahu alasan itu hanyalah dalih. Tapi kemudian ia mendesah. "Baiklah, aku akan sampaikan padanya. Tapi kalau kau berubah pikiran, kau tahu ke mana."
Shabiya hanya menjawab singkat, "Aku tidak akan berubah pikiran." Lalu, tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Awan, dia menutup telepon.
Ia meletakkan ponselnya di meja dengan perasaan lega yang sedikit bercampur cemas. Meski Awan sudah setuju untuk menyampaikan pesan itu pada Erika, ada sesuatu tentang percakapan itu yang membuat Shabiya merasa tidak nyaman. Seolah-olah ia baru saja masuk ke dalam permainan yang lebih rumit daripada yang ia duga.
Shabiya bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Pandangannya mengarah ke jalanan yang sibuk di bawah sana, orang-orang berlalu lalang dengan ritme kehidupan mereka masing-masing. Tapi di balik segala aktivitas itu, Shabiya tahu bahwa dunia kecilnya tidak akan pernah setenang apa yang terlihat dari luar.
Pikirannya melayang pada Chandra. Ia tahu suaminya selalu berusaha menjaga hubungan mereka dengan baik, meskipun bayang-bayang masa lalu dengan Erika dan Awan masih terus menghantui. Shabiya tahu Chandra tidak pernah sekalipun goyah, tapi tetap saja, Erika dan Awan terus mencoba merusak apa yang mereka miliki, bahkan dengan cara yang paling halus sekalipun.
Namun, di saat yang sama, Shabiya merasa yakin bahwa ia dan Chandra bisa menghadapi apapun bersama. Meskipun situasi ini membuatnya tidak nyaman, ia tahu komitmen mereka jauh lebih kuat daripada permainan kecil yang dimainkan oleh Erika dan Awan.
Saat matahari mulai condong ke barat, Shabiya merasakan tekadnya semakin kuat. Dia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Erika, mempengaruhi hubungannya dengan Chandra. Gaun pengantin, butik, perjalanan ke luar kota—semua itu hanyalah alasan. Yang sebenarnya diinginkan Erika adalah mengguncang kestabilan rumah tangganya dengan Chandra. Tapi Shabiya tidak akan memberikan kemenangan itu pada Erika.
Dengan pikiran itu, Shabiya kembali ke meja kerjanya. Kali ini, ia tahu apa yang harus dilakukan. Besok, ia akan tetap di kantor. Dan jika Erika mencoba lagi, Shabiya sudah siap dengan rencana lain.
***