"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 | Pameran Ekstrakurikuler
Aku berjalan kembali ke kelas, sendirian seperti biasa. Langkah-langkahku menggema di koridor, suara sepatu yang bergesek dengan lantai hampir terasa seperti satu-satunya irama di dunia yang sunyi ini. Berjalan sambil melamun, pikiranku melayang ke berbagai arah, membayangkan hal-hal yang jauh dari realitas sekolah.
Brak!
Sebuah benturan membuatku tersentak. Bahuku menabrak seseorang, cukup keras hingga aku hampir terhuyung ke belakang. Aku mengangkat kepalaku dan langsung meminta maaf.
“Ah, maaf … aku tidak sengaja.”
Suaraku terdengar gugup, seperti biasanya jika berhadapan dengan orang asing. Namun, ketika aku melihat wajah di depanku, ada perasaan deja vu yang aneh. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Rambutnya yang berantakan dan mata cokelatnya yang cerah membuat kenangan lama membanjiri pikiranku.
“Iya, nggak apa … kamu Aura, kan? Masih ingat aku?” katanya dengan suara yang terdengar riang.
Aku terdiam sejenak, otakku berusaha menggali memori. Lalu, ingatan itu muncul seperti kilatan cahaya.
“Iya. Nara, kan?” tanyaku memastikan dengan nada sedikit tidak percaya.
Nara mengangguk dengan semangat, senyum di wajahnya semakin lebar. Rasanya hampir tak nyata melihatnya di sini. Nara, teman satu timku saat MOS—saat itu dia yang paling kocak, paling ceria, dan entah bagaimana selalu berhasil membuat suasana jadi lebih hidup.
“Yup! Ngomong-ngomong, lagi apa kamu di sini?” tanyanya, matanya memindai sekeliling koridor yang sepi.
“Ah… aku mau balik ke kelas,” jawabku sambil sedikit berusaha menghindari kontak matanya.
Ada sesuatu tentang Nara yang membuat jantungku berdebar aneh, seperti ketukan drum yang terlalu cepat.
Nara tertawa kecil, suara tawa yang khas dan tak berubah sejak terakhir kali kami berbicara. “Di aula sekolah ada pameran ekstrakurikuler, loh … kamu nggak mau lihat?”
Dia mencondongkan badannya sedikit, membuat jarak di antara kami semakin dekat.
Oh, itu pameran yang dibicarakan Edo tadi pagi. Aku tidak tertarik dengan hal semacam itu, berkumpul dengan banyak orang hanya membuatku canggung. Dengan cepat, aku menggeleng.
“Nggak, aku nggak terlalu tertarik,” jawabku dengan suara pelan.
Namun, Nara tidak menyerah begitu saja. Dengan gerakan yang cepat, dia meraih tanganku. Sentuhannya hangat dan lembut, mengejutkanku hingga nyaris melompat.
“Ayo ke sana! Temani aku,” katanya, mata cerahnya menatapku dengan harapan. “Aku juga lagi sendirian aja.”
Aku terdiam sejenak, melihat bagaimana tangannya menggenggam tanganku. Jantungku kembali berdetak dengan ritme aneh. Rasa gugup bercampur dengan rasa penasaran. Akhirnya, aku hanya mengangguk pelan.
“Eh, eh … iya …”
...»»——⍟——««...
Langkah kami menuju aula terasa lebih lambat dari seharusnya. Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Nara di pergelangan tanganku, sebuah kehangatan yang asing tapi menenangkan. Aula sekolah sudah mulai penuh dengan siswa-siswa yang bersemangat mencoba berbagai kegiatan. Suara riuh rendah terdengar memenuhi ruangan, menggema hingga ke ujung-ujungnya.
“Lihat, ada klub seni rupa!” seru Nara sambil menunjuk ke salah satu sudut di mana sekelompok siswa sedang memamerkan lukisan dan sketsa mereka.
Warna-warna cerah dan bentuk-bentuk abstrak menghiasi dinding di belakang mereka, menciptakan kontras dengan suara riuh rendah aula. Aku mengangguk pelan, berpura-pura tertarik, meskipun sebenarnya bukan lukisan itu yang menarik perhatianku. Mataku justru terus mengikuti gerakan Nara yang tampak begitu hidup dan ceria, memancarkan energi yang terasa hangat dan tak asing. Rasanya aneh melihatnya di sini setelah sekian lama.
Tatapanku tiba-tiba terhenti saat menyusuri aula yang padat. Di depan stand basket, sepasang mata yang sudah terlalu kukenal balas memandangku. Ryan, dengan senyumannya yang seakan tak pernah redup, berdiri di tengah kerumunan. Dadaku seketika mengencang. Aku berusaha mengalihkan pandangan, berharap dia tak mendekat atau memperhatikan lebih lanjut.
“Aura, kamu kenapa?” tanya Nara sambil mencondongkan badannya sedikit ke arahku, ekspresi khawatir menghiasi wajahnya.
“Nggak kok, nggak papa,” jawabku cepat, berusaha terdengar santai.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan gejolak dalam dadaku.
Nara memiringkan kepalanya, ekspresinya berubah penasaran. “Apa ada ekstrakurikuler yang mau kamu ikuti?” tanyanya sambil terus menggandeng tanganku.
Kami menyusup di antara kerumunan siswa yang berlalu-lalang, mencoba melihat-lihat semua stand yang berjajar rapi. Aku menggeleng pelan, merasa agak canggung.
“… entah lah …” Gumamku terasa tenggelam dalam riuh suara aula.
Padahal, entah kenapa aku ingin menambahkan bahwa aku tidak yakin apa yang kucari di sini. Ada perasaan ragu yang menjalari hatiku, bercampur dengan ketakutan kecil kalau Ryan mungkin saja tiba-tiba mendekat dan berbicara denganku.
Setiap stand memiliki daya tariknya masing-masing. Klub debat menampilkan brosur penuh slogan motivasi, sementara klub tari menampilkan demo gerakan yang penuh semangat. Baru kali ini aku menyadari betapa banyaknya pilihan di sekolah ini. Di sisi lain aula, klub teater sedang memamerkan kostum warna-warni dan memainkan cuplikan singkat dari drama mereka.
“Ayo, ayo … silakan dicicipi kuenya …” suara lembut seorang murid di salah satu stand menangkap perhatian kami.
Nara menoleh cepat, tertarik seperti anak kecil yang menemukan permen kesukaannya. Kami berjalan mendekat dan melihat sekelompok siswa klub memasak dengan senyum ramah, di depan mereka tersusun rapi potongan brownies cokelat yang menggoda.
“Eh, kak Endra, bukan?” Nara menyapa dengan ramah, wajahnya berseri.
Ternyata sosok jangkung dengan senyum hangat itu adalah Endra, anak OSIS yang kami kenal saat MOS.
Endra mengangguk dan tersenyum lebar. “Lama nggak ketemu, Nara,” katanya, lalu matanya beralih ke arahku. “Apa kabar, Aura?”
“Baik, kak,” jawabku sambil mengangguk pelan.
Di belakangku, suara tawa dan obrolan para siswa lain bergema, tapi sejenak rasanya hanya kami bertiga yang ada di sana.
“Mau coba kuenya? Ini buatan kami sendiri, dari klub memasak,” tawarnya sambil mengangkat satu piring kue.
Aroma manis cokelat menguar, membuat perutku mendadak merasa lapar padahal aku sudah memakan habis bekalku tadi.
Nara tanpa ragu mengambil satu potong dan menggigitnya. Matanya membulat seketika, mengisyaratkan betapa enaknya kue itu.
“Enak banget, Kak … ini beneran kakak yang buat sendiri?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman.
Kak Endra tertawa, senyumannya membuat suasana menjadi lebih santai. “Iya, bersama anak-anak klub. Kalau kalian mau, bolehlah bergabung di klub memasak.”
Nara berhenti mengunyah dan menggeleng cepat. “Nggak deh, Kak. Aku nggak berbakat masak, lebih suka makan aja,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Tawanya menular, membuat kak Endra ikut tersenyum. Kak Endra kemudian menatapku, matanya mengamati reaksiku yang diam.
“Kalau Aura?”
...»»——⍟——««...