Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah dari Bryan
Cahaya matahari menerobos tirai jendela, perlahan memenuhi ruangan yang tenang dengan kehangatan. Ruby, mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan pandangannya dalam kamar itu. Namun, yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa dia sedang berada dalam pelukan seseorang—Dominic—suaminya yang sangat dingin dan ketus padanya.
Refleks, Ruby menjerit keras. “Dominic! Apa-apaan ini?!”
Dominic tersentak. Matanya terbuka lebar, dan dalam sepersekian detik dia sadar bahwa tangannya masih melingkar erat di pinggang Ruby. Panik, dia segera menarik tangannya dan mundur, nyaris terjatuh dari tempat tidur.
"Kenapa kau bisa berada dalam pelukanku!? Kau pasti sengaja bukan!?” kata Dominic, wajahnya penuh kebingungan dan rasa kesal memenuhi paginya yang biasanya sangat indah.
Ruby melompat bangun, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah. “Kau yang mencuri kesempatan, Pria gila! Apa kau sengaja melakukannya saat aku tidur?!”
“APA?! Tentu saja tidak!” Dominic balas berteriak, ekspresinya penuh ketidakpercayaan. “Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa ada di sini! Mungkin kau yang—”
“Mungkin aku yang apa?!” Ruby memotong, menatap Dominic dengan sorot tajam. "Kau mau menuduhku sekarang!? Sudah jelas-jelas kau yang memelukku, tapi sekarang kau menyalahkan aku!"
Dominic mengangkat tangannya, mencoba membela diri. “Hei, tenang dulu. Mungkin ini cuma kecelakaan. Kita sama-sama tertidur di sini semalam, ingat? Bisa saja aku terjatuh ke sisi ini atau…”
Ruby duduk dan menatap tajam Dominic. “Dan kau pikir itu alasan masuk akal untuk memelukku seperti ini?!” Ruby menyilangkan tangan di dada, tetap menatap Dominic dengan penuh curiga.
Dominic mendesah, mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Dengar, aku sedang dalam keadaan terlelap. Dan aku dalam keadaan yang benar-benar tidak sadar. Kalau aku tahu ini akan terjadi, aku pasti tidur di ruangan lain saja.”
Ruby masih menatapnya tajam, tapi sedikit ragu mulai tampak di matanya. Dia mengingat-ingat kejadian semalam—mereka memang berada di ranjang yang sama, namun saling memunggungi. Ruby juga ingat dirinya pada awalnya berada sangat tepi sekali, dan kini dia sudah berada di tengah ranjang besar itu.
Mungkin Dominic benar. Tapi tetap saja, situasinya terlalu memalukan untuk diabaikan begitu saja.
“Hmph. Baiklah,” ucap Ruby akhirnya. “Tapi kalau ini terjadi lagi, aku tidak akan memaafkanmu.”
Dominic mengangguk cepat. “Aku juga tidak mau hal ini terjadi lagi. Rasanya merinding sekali telah memeluk wanita aneh dan jelek sepertimu!"
"Kau lebih jelek!" geram Ruby, lalu dia melempar Dominic dengan bantal.
Dengan canggung, keduanya beranjak turun dari ranjang, berusaha melanjutkan pagi itu tanpa memikirkan kejadian yang barusan. Tapi dalam hati, Dominic tersenyum kecil. Mungkin saja pagi itu adalah awal dari sesuatu yang tak terduga di antara mereka.
**
Ruby dan Dominic duduk berhadapan di meja makan. Ruangan itu terasa hening, hanya suara garpu dan sendok yang sesekali terdengar.
Ruby masih ingat betul bagaimana hangatnya pelukan Dominic pagi itu, sebuah kejutan yang tidak pernah dia duga dari Dominic yang selalu terkesan dingin dan terkendali.
'Aku jadi malu sekali sekarang. Bagaimana bisa kami berpelukan seperti itu!?' gumam Ruby dalam hati.
Sambil menyesap kopi, Dominic mencoba mempertahankan ekspresi wajahnya yang datar. Dia tidak ingin Ruby tahu bahwa dia sebenarnya merasa canggung, bahkan sedikit gugup.
Di balik sikap dinginnya, pertarungan batin terus berkecamuk. Namun, bagian lainnya menahannya, takut akan perubahan yang mungkin terjadi.
'Perasaan apa ini? Aku merasa aneh sekali sekarang.' ucap Dominic dalam hati. Pria berusia 30 tahun itu kini terlihat sangat bingung dengan perasaannya.
Ruby, di sisi lain, terus mencuri pandang ke arah Dominic, berharap bisa membaca apa yang tersembunyi di balik tatapan tajamnya itu.
Dia merasakan ada sesuatu yang berubah sejak kejadian pagi tadi, sesuatu yang membuatnya ingin lebih mengenal Dominic, yang selama ini hanya dikenal sebagai pria yang keras dan serius.
Ketika Dominic akhirnya menatapnya, matanya bertemu dengan mata Ruby yang penuh harap. Ada sejenak ketika waktu seakan berhenti, dan dalam hening itu, tanpa kata, sesuatu yang tak terucapkan mulai terbentuk di antara mereka, sebuah jembatan baru yang mungkin, hanya mungkin, bisa menghubungkan dua dunia yang selama ini terpisah.
'Tidak.. aku tidak boleh membuka hati. Tidak untuk siapa pun lagi saat ini.' batin Dominic, mengalihkan pandangannya dari Ruby.
**
Sore harinya di mansion..
Langit sore tampak tenang ketika Bryan tiba di depan mansion megah milik Dominic. Dengan buket bunga mawar merah di satu tangan, sekotak cokelat premium di tangan lainnya, dan boneka besar diapit di lengannya, dia melangkah penuh percaya diri ke pintu utama.
"Aku yakin, Ruby pasti sangat menyukai pemberian dariku," gumam Bryan dengan begitu percaya diri.
Bryan disambu oleh pelayan yang mengenalnya, namun sebelum Bryan sempat melangkah masuk, Dominic muncul dari ruang tengah. Matanya langsung menyipit tajam saat melihat tamu tak diundang itu.
"Bryan." Dominic berkata dingin, langkahnya tegas mendekati pria yang jelas-jelas tidak dia sukai. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Bryan tersenyum, seolah tidak terganggu oleh nada Dominic yang tajam. "Aku datang untuk bertemu Ruby, tentu saja." Dia melirik ke arah dalam mansion. "Dia di mana? Aku punya hadiah untuknya."
Dominic melipat tangannya di dada, berdiri menghalangi jalan Bryan. "Aku tidak peduli apa yang kau bawa. Ruby tidak punya waktu untukmu."
Bryan hanya terkekeh kecil, menyodorkan buket bunga ke depan Dominic. "Mungkin kau lupa, Dominic, tapi Ruby adalah wanita yang spesial. Seseorang harus memperlakukannya dengan layak. Kalau kau tidak melakukannya, maka aku yang akan melakukannya."
Kata-kata itu langsung membuat rahang Dominic mengeras. Dia menatap penuh kebencian buket mawar yang disodorkan di hadapannya. "Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan wanita bodoh itu!"
Bryan melangkah maju, mempersempit jarak di antara mereka. Wajahnya tetap santai, tapi matanya menyiratkan ketegasan. “Perlu kau ingat, Dominic. Seorang wanita seperti Ruby tidak pantas diabaikan. Dia layak mendapatkan perhatian dan kasih sayang—hal yang tampaknya tidak pernah kau berikan pada istrimu yang cantik itu.”
"Keluar dari mansionku sekarang."Dominic mendesis.
Namun, Bryan hanya tersenyum tipis dan berbisik cukup dekat sehingga hanya Dominic yang bisa mendengarnya. "Kalau kau terus seperti ini, aku akan merebut Ruby darimu. Kau tahu dia berhak mendapatkan yang lebih baik."
Mata Dominic menyala penuh amarah, tapi dia menahan diri. "Aku bilang keluar," ujarnya lagi, kali ini dengan suara lebih keras.
"Tidak mau, aku harus memberikan semua ini pada Ruby," sahut Bryan.
Dominic merasa geram, sehingga dia memanggil semua penjaga untuk menyeret Bryan keluar dari mansion.
Bryan mengangkat tangannya, isyarat jika para penjaga tidak boleh mendekat dan menyeretnya keluar. "Baiklah, aku pergi. Tapi ingat ucapanku, Dominic. Aku akan selalu ada untuk Ruby."
Kemudian, Bryan menitipkan semua hadiah kepada pelayan. "Katakan kepada Ruby bahwa aku memberikannya semua ini."
"Baik, Tuan Bryan," sahut pelayan itu.
Bryan berbalik pergi, meninggalkan Dominic yang menatap punggungnya dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali. Dominic berdiri diam di ruang tamunya, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Bryan.
"Sialan!" gumam Dominic dengan gera..
Dia tahu Bryan tidak main-main, dan entah kenapa, ancaman itu membuat Dominic merasa... takut. Untuk pertama kalinya, dia sadar bahwa mungkin dia telah terlalu sering mengabaikan Ruby.
"CK, menganggu saja!" gerutunya, sambil menatap tajam semua hadiah dari Bryan yang kini sudah berpindah ke tangan pelayannya.
"Buang semua hadiah itu! Jika aku melihatmu memberikannya pada Ruby, kau akan aku habisi sekarang juga!" ancam Dominic. Pelayan yang mendengar ancaman itu, hanya mengangguk takut menanggapinya.
...****************...