Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Tiara duduk di mejanya dengan wajah masam, pikirannya dipenuhi rasa kesal yang terus membuncah. Dia menggigit bibirnya, mengingat bagaimana Ferdi tadi memanggil Dina ke ruangannya sesaat setelah keributan terjadi. Hatinya semakin panas.
"Kenapa Dina?" pikir Tiara dengan geram. Bagaimana mungkin seorang pegawai baru seperti Dina, yang bahkan masuk tanpa proses seleksi, tiba-tiba bisa mendapatkan perhatian Ferdi—pria yang selama ini dia kagumi?
Tiara sudah lama menyimpan perasaan pada Ferdi. Baginya, Ferdi adalah sosok yang tampan, cerdas, dan penuh kharisma. Namun, sekeras apa pun dia mencoba menarik perhatian Ferdi, pria itu tidak pernah sekalipun memandangnya lebih dari sekadar pegawai di kantornya. Hal itu semakin membuatnya geram ketika melihat Ferdi, yang begitu dingin kepada semua orang, justru meluangkan waktu untuk berbicara dengan Dina.
"Mereka pasti ada hubungan khusus," bisik Tiara pada dirinya sendiri. "Tidak mungkin pak Ferdi memanggil Dina begitu saja."
Kehadiran Dina yang tiba-tiba di kantor ini tidak hanya menggoyahkan status quo, tapi juga mengusik rasa percaya diri Tiara. Kini, dia melihat Dina sebagai saingan utamanya—bukan hanya di tempat kerja, tapi juga dalam hal menarik perhatian Ferdi.
Dalam hatinya, Tiara bertekad untuk tidak membiarkan Dina menang. Dia akan mencari cara untuk membuat Dina tersingkir, baik di kantor maupun di hati Ferdi.
***
Tiara tersenyum tipis, wajahnya kembali dingin dan licik saat dia memandang Dina yang sedang duduk di meja kerjanya. Mendadak, sebuah ide muncul di kepalanya—ide yang akan membuat Dina sibuk semalaman dan mungkin melewatkan kesempatan untuk tampil baik esok hari.
Tiara berdiri dari kursinya dan berjalan anggun ke arah meja Dina. Dia memegang setumpuk dokumen tebal di tangannya, raut wajahnya tampak serius namun terselip kesombongan di balik tatapan matanya.
"Dina," katanya sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Dina dengan bunyi yang cukup keras untuk menarik perhatian tim di sekitarnya. "Besok pagi kita ada meeting penting dengan beberapa klien asing. Ini adalah data yang perlu direkap, diolah, dan diverifikasi sebelum meeting besok. Karena kamu kan bagian dari tim, jadi aku serahkan ini ke kamu."
Dina memandang tumpukan dokumen di depannya, mata terbelalak. "Tapi... ini sangat banyak," jawab Dina perlahan, berusaha tetap tenang. "Apakah ada rekan lain yang bisa membantu?"
Tiara menggeleng dengan cepat, dengan senyum yang hampir mengejek. "Semua orang sudah punya tugas masing-masing, Dina. Kamu kan ingin membuktikan diri, kan? Ini kesempatanmu. Aku yakin kamu bisa menyelesaikannya sebelum meeting besok pagi," katanya sambil menepuk bahu Dina dengan sedikit kejam.
Dina terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan coba selesaikan.”
Tiara tersenyum sinis. "Bagus. Jangan sampai terlambat, ya. Ini untuk kepentingan perusahaan."
Setelah memberikan tugas itu, Tiara kembali ke mejanya dengan langkah ringan. Dalam hati, dia merasa puas. Dia tahu betul tugas itu akan membuat Dina bekerja hingga larut malam—mungkin hingga pagi hari. Dina akan kelelahan dan tidak bisa tampil maksimal besok, sementara Tiara akan tampil prima di hadapan para klien penting.
“Biar saja dia tahu siapa yang lebih unggul,” pikir Tiara, senang dengan rencana kecilnya.
Belum selesai dengan rencana liciknya. Setelah memberikan tumpukan dokumen, dia kembali menoleh ke arah Dina dan menyadari bahwa hanya memberi tugas rekap data belum cukup untuk membuat lawan barunya ini benar-benar kerepotan.
"Ah, Dina, ada satu hal lagi yang hampir lupa aku sampaikan," kata Tiara sambil berjalan kembali ke meja Dina dengan nada sok santai. "Selain data itu, aku juga butuh presentasi untuk meeting besok pagi. Klien dari luar negeri itu sangat detail, jadi aku ingin slide yang rapi, komprehensif, dan... yah, tentu saja menarik secara visual."
Dina memandang Tiara dengan ekspresi tak percaya. "Presentasi untuk besok pagi? Tapi, ini sudah hampir sore, Tiara," jawab Dina dengan tenang, meskipun hatinya mulai merasa tertekan.
"Benar," Tiara tersenyum tanpa rasa bersalah. "Tapi kamu kan sudah terbiasa dengan hal-hal mendadak seperti ini, kan? Aku yakin kamu bisa melakukannya. Lagipula, ini kesempatan bagus untukmu menunjukkan kemampuan. Bukankah kamu ingin menjadi bagian yang solid dari tim?"
Tanpa memberikan kesempatan Dina untuk membalas, Tiara melenggang pergi sambil berkata, "Jangan khawatir, Dina. Aku yakin kamu bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu."
Dina terdiam di tempatnya, memandangi tumpukan dokumen dan tugas tambahan yang baru saja diberikan padanya. Pikirannya berputar cepat, merasa beban yang diberikan ini hampir tidak mungkin diselesaikan tepat waktu, apalagi dengan kesempurnaan yang diinginkan Tiara.
Nita, yang duduk di sebelah Dina, memandang sahabat barunya itu dengan simpati. "Kamu oke, Dina?" bisik Nita, khawatir.
Dina menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis meski hatinya berat. "Aku harus menyelesaikan ini. Tidak ada pilihan lain," jawab Dina lesu.
Namun, di dalam hatinya, Dina tahu dia harus berjuang keras malam ini, bekerja lembur sampai pagi, hal ini untuk membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar "orang yang masuk lewat koneksi," tapi seseorang yang pantas mendapat tempat di perusahaan ini.
...****************...
Ferdi berjalan melewati koridor kantor yang sunyi, hanya ada beberapa lampu yang masih menyala sebagai penerangan darurat. Saat melewati ruangan tim analisis bisnis, ia melihat seberkas cahaya lembut dari salah satu meja. Dengan alis yang mengernyit, ia melirik ke dalam dan melihat sosok Dina yang masih sibuk mengetik dan membaca dokumen di bawah cahaya lampu mejanya.
"Siapa yang masih bekerja selarut ini?" pikir Ferdi, tak senang.
Ia tahu betul bahwa di perusahaannya, kebijakan tentang lembur sangat ketat. Bekerja lembur, bagi Ferdi, bukan tanda dedikasi, melainkan kegagalan dalam mengatur waktu dan tugas. Ia merasa bahwa orang yang harus lembur jelas-jelas tidak produktif atau terlalu lambat dalam menyelesaikan pekerjaannya di jam kerja yang sudah ditentukan.
Tanpa suara, Ferdi membuka pintu ruangan dan mendekat ke meja Dina. Dia berhenti tepat di belakangnya, memperhatikan Dina yang begitu fokus dengan layar laptop dan setumpuk dokumen di sampingnya. Dina bahkan tidak menyadari kehadirannya.
"Sudah lewat jam kerja, Dina," kata Ferdi dingin, suaranya membuat Dina tersentak kaget dan langsung menoleh.
"Oh, Pak Ferdi..." Dina tampak gugup dan canggung. "Maaf, saya tidak menyadari sudah larut."
Ferdi menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tidak berubah. "Di perusahaan ini, kami tidak membiarkan karyawan bekerja lembur. Jika seseorang harus bekerja sampai malam seperti ini, itu berarti dia tidak bisa mengatur waktunya dengan baik," ucap Ferdi, tajam.
Dina menundukkan kepala, tahu bahwa apa yang dikatakan Ferdi benar menurut kebijakan perusahaan. Namun, dia tidak bisa mengatakan bahwa ini semua karena tugas tambahan dari Tiara. Dia merasa itu akan terdengar seperti alasan.
"Saya hanya ingin menyelesaikan semuanya untuk presentasi besok pagi. Saya... tidak ingin mengecewakan tim," jawab Dina dengan suara rendah tapi tegas.
Ferdi menatapnya beberapa detik, seolah menimbang jawaban Dina. "Jadi, kamu pikir ini cara terbaik? Mengorbankan waktu istirahatmu dan menunjukkan bahwa kamu tidak efisien dalam bekerja?" tanyanya, dengan nada yang hampir menyindir.
Dina merasa tertekan, tapi dia tetap berusaha menjawab dengan tenang. "Saya tahu mungkin ini terlihat tidak ideal, Pak. Tapi saya hanya ingin memastikan semuanya selesai tepat waktu dan dengan hasil terbaik."
Ferdi menghela napas pelan, tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Matanya menatap tumpukan dokumen di meja Dina, lalu kembali pada wajahnya yang tampak lelah tapi penuh tekad.
"Aku tidak peduli apa alasanmu," katanya akhirnya. "Tapi jangan biarkan ini terjadi lagi. Aku tidak suka karyawan yang tidak tahu bagaimana menghargai waktu mereka sendiri."
Setelah itu, Ferdi berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban, meninggalkan Dina yang masih terdiam.
...****************...
Dalam perjalanan pulang, Ferdi tidak bisa mengabaikan bayangan Dina yang masih bekerja sendirian di ruangan kosong, tampak lelah tapi gigih. Meskipun dia baru saja menegurnya, ada sesuatu yang mengganggunya. Pikirannya terus-menerus kembali pada wajah Dina yang tampak letih, tapi penuh tekad untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Dia pasti belum makan malam," gumam Ferdi pada dirinya sendiri, merasa sedikit tidak nyaman dengan pemikiran itu.
Tiba-tiba, dia menginstruksikan sopirnya, "Berhenti di restoran terdekat. Aku ingin membeli sesuatu."
Sopir yang sudah terbiasa dengan perintah dadakan Ferdi langsung menuruti tanpa bertanya. Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di sebuah restoran yang terkenal dengan makanan cepat saji namun lezat. Ferdi memesan makanan, memastikan untuk memilih menu yang tidak terlalu berat tapi cukup mengenyangkan. Setelah mendapatkan pesanan, Ferdi kembali ke mobil dan memberikan arahan baru kepada sopirnya.
"Balik ke kantor," katanya, membuat sang sopir sedikit bingung tapi tetap menurut.
Tak lama, mereka tiba di depan gedung kantor. Ferdi turun dengan kantong makanan di tangan, berjalan melewati koridor yang sama menuju ruangan tim analisis bisnis, tempat Dina masih berkutat dengan pekerjaannya. Dari luar, Ferdi bisa melihat lampu meja Dina masih menyala, dan sosoknya yang tertunduk fokus di depan laptop.
Ferdi mengetuk pintu ringan, lalu mendorongnya perlahan hingga terbuka. Dina menoleh, terlihat kaget saat melihat Ferdi berdiri di sana lagi, kali ini dengan kantong makanan di tangan.
"Pak Ferdi?" tanyanya, bingung dengan kehadiran bosnya kembali di kantor.
Ferdi melangkah mendekat tanpa berkata apa-apa, lalu meletakkan kantong makanan di atas meja Dina. "Kamu pasti belum makan, kan?" ucapnya singkat, suaranya tidak sekeras tadi, bahkan terdengar sedikit lebih lembut.
Dina terdiam, jelas tidak menyangka dengan sikap Ferdi yang tiba-tiba membawakannya makanan. Dia menatap kantong itu dengan bingung, lalu beralih menatap Ferdi.
"Tapi, Pak—" Dina mencoba bicara, namun Ferdi sudah memotongnya.
"Jangan banyak bicara. Makan dulu, lalu pulang. Aku tidak mau lihat kamu di sini sampai malam begini" katanya tegas, meskipun ada nada perhatian yang terselip di antara kalimatnya.
Dina menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia hanya mengangguk pelan dan berkata, "Terima kasih, Pak Ferdi."
Ferdi tidak menjawab lagi, hanya menatap Dina sejenak sebelum berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Dina yang masih terkejut dengan tindakan tak terduga bosnya itu.
Dina melihat ke kantong makanan itu, dan tiba-tiba merasa ada sedikit kehangatan di tengah malam panjang yang melelahkan ini.
...----------------...
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina