Naura memilih kabur dan memalsukan kematiannya saat dirinya dipaksa melahirkan normal oleh mertuanya sedangkan dirinya diharuskan dokter melahirkan secara Caesar.
Mengetahui kematian Naura, suami dan mertuanya malah memanfaatkan harta dan aset Naura yang berstatus anak yatim piatu, sampai akhirnya sosok wanita bernama Laura datang dari identitas baru Naura, untuk menuntut balas dendam.
"Aku bukan boneka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Delapan
Hari itu, di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Alex duduk bersama ibu Rini, mamanya, di meja dekat jendela. Sinarnya matahari sore mengintip masuk, menyoroti tumpukan gelas dan piring kosong di meja. Aroma kopi segar dan kue lezat mengisi udara, menciptakan suasana nyaman untuk obrolan mereka.
“Ibu, kamu harus melihat foto Laura. Dia benar-benar mirip sekali dengan Naura,” ucap Alex, sambil memegang ponselnya. Meskipun baru mengenal Laura, dia tak bisa mengabaikan kemiripan antara wanita itu dan mantan istrinya.
Ibu Rini mengerutkan dahi, penasaran. “Laura? Siapa dia? Kenapa kamu tertarik ngomongin dia?”
“Dia sekretaris rekan kerjaku. Tapi, Ibu, serius deh, wajahnya… persis seperti Naura saat pertama kali kita bertemu,” jawab Alex, sambil menggulir foto-foto di ponselnya. Matanya berbinar-binar saat menemukan gambar Laura dalam keriangan di acara makan siang mereka kemarin.
Ibu Rini mengambil ponsel dari tangan Alex, memeriksa foto yang diperlihatkan. “Hmm, ya, ada kemiripan. Tapi, jangan bilang kamu masih memikirkan Naura, kan?”
Sebuah tarikan napas berat keluar dari mulut Alex. “Aku tidak tahu, Bu. Kadang aku merasa seperti ada bagian dari Naura yang belum sepenuhnya pergi. Melihat Laura, itu mengingatkanku pada Naura."
Ibu Rini mengangguk, tampaknya mengerti. “Sekarang baru terasa kehilangannya ... eh apakah ini orang yang sama yang mama temui di supermarket?" tanya Ibu Rini penasaran.
“Ya, bisa jadi,” balas Alex sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Laura memang berbeda dengan Naura, tapi entah kenapa, wajahnya sering membuatku teringat.”
“Iya, kamu harus hati-hati, loh. Jangan sampai kehadiran Laura mengganggu hidupmu sekarang. Kamu sudah move on kan?” Ibu Rini bertanya dengan nada penuh perhatian.
Belum sempat Alex menjawab, pintu kafe berbunyi saat dibuka. Seorang wanita masuk, mengenakan gaun kasual yang tepat di tubuhnya, dengan senyum ceria. Weny, kekasih Alex, muncul di antara keramaian, mencari-cari keberadaan kekasihnya.
Sudah satu minggu mereka tak bertemu. Hari libur ini, Alex sengaja memintanya datang buat makan bersama ibunya.
“Alex! Maaf aku telat!” pekiknya sambil melambai. Dia menghampiri meja mereka dengan langkah cepat.
“Tidak apa-apa, Weny! Sini, duduk!” Alex menyebarkan tangannya, siap menarik Weny duduk di sampingnya. Namun, ekspresi Weny seketika meringis saat mata birunya menatap ponsel di tangan Ibu Rini.
“Ngobrol apa, nih?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan.
“Ibu hanya menunjukkan foto Laura, Weny. Dia mirip Naura,” jawab Alex dengan santai, berharap menjelaskan bisa meredakan ketegangan yang sudah terasa.
Weny mengangkat alisnya, seakan menyadari bahwa ‘Laura’ bukan nama yang biasa dia dengar. “Laura? Siapa dia? Kenapa kamu masih membicarakan mantan istrimu?” Suaranya menahan, bereaksi dengan kekecewaan.
Alex berusaha bersikap tenang. “Kami hanya ngobrol santai, Weny. Ibu penasaran dengan wajahnya yang mirip Naura. Ini bukan hal yang harus kamu khawatirkan.”
Tapi Weny kembali merasa sakit hati. Baru saja dia senang karena Alex menghubungi dan memintanya datang, kembali sakit melihat itu. Dia duduk dengan kaku, menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kamu tahu kan, semua ini bisa jadi masalah, kan? Apa kamu terus-menerus membandingkan aku dengan dia?” Suara Weny mulai meninggi.
Ibu Rini mencoba mendinginkan suasana. “Weny, tidak perlu khawatir. Alex hanya mengungkapkan pendapatnya. Kadang kita tidak bisa menghindar dari masa lalu, tapi yang terpenting adalah masa sekarang.”
“Tapi, Bu! Coba pikir! Di sini kita sedang berbicara tentang seorang wanita yang wajahnya mirip mantan istri Alex. Bukankah itu masalah?” Weny berargumen, suaranya semakin kehilangan kesabaran.
Alex merasa terjebak di tengah pembicaraan yang semakin memanas. “Weny, aku tidak membandingkan kamu dengan Naura atau Laura. Aku hanya menceritakan apa yang aku lihat. Ini tidak berarti aku akan kembali ke masa lalu,” jelas Alex dengan penuh penekanan.
Ibu Rini menempatkan tangannya di atas tangan Weny. “Kamu perlu santai, Nak. Alex sudah bilang dia tidak membandingkan. Ini hanya obrolan ringan.”
“Tapi tetap saja, Ibu!” Weny bersikeras. “Aku tidak suka ada bayang-bayang mantan dalam hubungan kami. Kita sudah berusaha untuk memilih masa depan, jadi kenapa kita harus terus mengingat masa lalu?”
Awalnya, Alex berpikir bahwa Weny bisa menerima kenyataan ini. Tetapi, di dalam hatinya, dia tahu bahwa perdebatan ini lebih dalam dari sekadar berbicara tentang wajah yang mirip. Rasa cemburu Weny mencuat dan itu membuat suasana semakin tidak nyaman.
“Weny, dengarkan. Hal yang kamu lakukan itu tidak membantu. Kita bisa berbicara tentang ini tanpa menciptakan suasana yang tegang,” Alex mencoba berusaha.
Namun, Weny tampak tidak bisa menahan emosinya. “Tapi bagaimana jika suatu saat kamu jadi teringat Naura lagi? Bagaimana jika kamu mulai mengharapkan dia kembali? Lalu bagaimana dengan kita?” Tanya Weny, matanya mulai berkaca-kaca.
"Jangan pikir terlalu jauh. Aku dan Laura juga baru kenal!" seru Alex.
"Oh begitu ...? Hanya karena dia punya wajah yang mirip, apakah itu berarti kamu jadi tidak bisa melupakan Naura, kan?” Weny mengalihkan pandangan, seolah berusaha menahan air matanya.
"Jangan mulai cari masalah lagi, Weny. Cepek jika terus begini. Sekarang katakan saja apa maumu!" ucap Alex dengan penuh penekanan.
"Aku ingin kepastian darimu tentang hubungan ini, sebenarnya kamu mau menikah denganku apa hanya sekedar permainan saja?" tanya Weny dengan suara lantang.
Ibu Rini memperhatikan ke sekeliling, pengunjung kafe banyak yang menatap tajam ke arah mereka. Entah ingin tahu atau merasa terganggu dengan suara Alex dan Weny yang cukup keras.
"Sudahlah, kenapa kalian kerjanya ribut terus?" tanya Ibu Rini.
"Aku hanya ingin Alex memberikan kepastian dengan hubungan kami, Bu!" ujar Weny.
"Aku sudah sering katakan, jika aku tak bisa menikahi mu secepat ini, aku perlu banyak pertimbangan!"
"Sebelum Naura meninggal, kau yang ingin segera menikahi ku. Namun, kenapa setelah dia pergi justru kau terlihat makin santai dan menjauh?" Weny bertanya dengan suara serak karena menahan tangis.
Sejak Naura meninggal, dia merasa Alex bukannya makin dekat, justru sulit di gapai. Ingin rasanya menyerah tapi tak mungkin, dia telah berusaha sejauh ini untuk dekati pria itu lagi.
"Kalau kamu tak sabar, kita lebih baik akhiri semua ini!" seru Alex geram.
"Kalian ini seperti abege labil saja. Duduk berdua lalu bicara baik-baik. Apakah itu tak bisa kalian lakukan?" tanya Ibu Rini.
"Sudahlah, Bu. Lebih baik aku pulang!" seru Weny.
Weny lalu berjalan keluar dari kafé, tak jadi menikmati makanan yang telah terhidang dengan mertuanya. Alex hanya memandangi tanpa ada niat mencegah.
Saat sudah beberapa langkah, dia melihat kebelakang, tampak Alex berdiri dari duduknya. Weny tersenyum karena yakin dia akan dikejar, tapi senyum itu sirna saat dia mendengar pria itu memanggil nama seseorang.
"Laura ...," teriak Alex memanggil seorang wanita yang berjalan masuk ke kafe itu.
Laura.. muncul
tergeser produk baru, Laura 🤭🤭
.stlh apa yg lauara dptkn mka alex akan di depak..oleh laura