Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Renaya pulang ke apartemen dengan langkah gontai. Hatinya masih gelisah setelah berbincang dengan Ivanka. Pikiran-pikirannya terus berputar, seperti ombak yang menghantam tanpa henti. Ketika dia membuka pintu apartemen, suasana terasa sunyi. Mario belum pulang, dan itu membuatnya merasa lega sekaligus kesepian.
Dia berjalan tanpa tujuan di dalam apartemen, matanya kemudian tertuju pada pintu ruang kerja Mario yang sedikit terbuka. Ruang itu jarang sekali dia masuki, merasa itu adalah wilayah pribadi Mario yang tak perlu dia ganggu. Tapi malam ini, dorongan aneh menguasai dirinya. Dengan ragu, dia melangkah masuk.
Ruang itu tampak rapi, seperti biasa. Di meja kerja Mario, sebuah botol minuman keras yang sering dilihatnya berdiri tegak. Cairannya hanya berkurang sedikit. Renaya mendekat, menatap botol itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Tiba-tiba, muncul keinginan untuk mencoba.
“Cuma sedikit,” gumamnya pada diri sendiri, seolah mencari pembenaran. Dia mengambil botol itu, menuangkannya ke gelas kecil yang ada di dekatnya, lalu meneguknya.
Minuman itu panas membakar tenggorokannya, tetapi ada rasa nyaman yang aneh. Seolah menenangkan gejolak di dalam dirinya. Renaya menuang lagi, dan lagi, tanpa sadar bahwa botol itu mulai kosong. Pikirannya yang kalut membuatnya terus menenggak, berharap rasa panas itu bisa mengusir kegundahan hatinya.
Ketika Mario pulang, suasana apartemen terasa berbeda. Sepatu Renaya tergeletak sembarangan di dekat pintu, dan lampu ruang kerja menyala. Dia mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh. “Renaya?” panggilnya sambil melepas jas.
Tidak ada jawaban. Mario berjalan menuju ruang kerja, dan ketika dia membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Renaya yang duduk di kursi dengan kepala terkulai. Botol minuman di meja hampir kosong, dan gelas kecil di tangannya setengah penuh.
“Renaya!” seru Mario, bergegas mendekatinya. Dia memegang bahu Renaya, mengguncangnya lembut. “Baby, apa yang kamu lakukan?”
Renaya mendongak perlahan, matanya setengah terbuka dan pipinya memerah karena mabuk. “Daddy... kamu pulang,” ucapnya dengan senyum miring. Suaranya terdengar serak dan tidak fokus.
Mario mendesah panjang, mencium aroma alkohol yang kuat dari napas Renaya. “Apa yang kamu lakukan dengan minuman ini? Kenapa kamu minum, sayang?”
Renaya terkekeh pelan, lalu menunjuk botol di meja. “Aku cuma penasaran, Daddy. Rasanya... panas. Tapi... aku suka.”
Mario menatapnya, bingung sekaligus khawatir. Dia jarang melihat Renaya seperti ini, apalagi dalam keadaan mabuk. “Kenapa kamu masuk ke ruang kerja Daddy? Apa yang terjadi?”
Renaya menggeleng sambil tertawa kecil, lalu suaranya berubah menjadi lirih. “Aku nggak tahu, Daddy. Aku... aku cuma ingin... lupa.”
Mario terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang sedang dirasakan Renaya. Dia lalu mengangkat tubuh Renaya dari kursi dan memeluknya erat. “Kamu nggak perlu seperti ini, sayang. Apa pun yang kamu rasakan, kamu bisa cerita sama Daddy.”
Renaya terisak pelan di pelukan Mario, kehilangan kendali atas dirinya. Mario menghela napas panjang, merasa bersalah karena mungkin dia adalah alasan di balik kegelisahan Renaya. “Ayo, kita bawa kamu tidur. Kamu perlu istirahat.”
Dengan lembut, dia membawa Renaya ke kamar, memutuskan untuk berbicara dengannya lebih dalam setelah dia sadar.
Renaya tampak terlelap di atas tempat tidur, wajahnya terlihat damai meskipun sisa mabuk masih terasa dari napasnya. Mario memandangi Renaya dari sofa yang ada di kamar itu, matanya menyipit penuh pikiran. Dia belum bisa tidur. Berbagai masalah yang belakangan muncul semakin membebani pikirannya, terutama soal orang-orang di sekitar mereka yang mulai mengusik ketenangan hidupnya bersama Renaya.
Mario mengambil ponselnya, mencari nama yang sudah dia hubungi beberapa kali sebelumnya. Dengan satu sentuhan, panggilan tersambung.
“Bagaimana penyelidikanmu tentang Ruben?” tanya Mario, suaranya rendah namun penuh tekanan.
“Tuan,” jawab suara dari seberang, asistennya yang terpercaya, “Soal Ruben tidak perlu terlalu dipikirkan. Orang seperti dia mudah dibereskan. Sekali tindakan saja, selesai urusannya.”
Mario menyandarkan punggungnya ke sofa, menghela napas panjang. “Lalu? Apa yang kau temukan sejauh ini?”
Ada jeda sejenak sebelum suara di seberang menjawab. “Justru yang harus Anda waspadai adalah Nona Bella dan... Tuan Arnold sendiri.”
Mata Mario menyipit. “Bella? Arnold? Apa maksudmu?”
“Asal Anda tahu, Nona Bella sedang menyusun rencana. Dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Anda kembali,” jelas asistennya dengan nada hati-hati.
Mario mendengus. “Bella? Dia tidak akan punya nyali. Sejak dia menikah dengan Arnold, aku pikir dia sudah menyerah. Apa yang dia rencanakan?”
“Belum ada detail yang pasti, Tuan. Namun, gerak-geriknya mencurigakan. Dia tampaknya masih menganggap Anda sebagai miliknya, meski itu hanya dalam pikirannya saja.”
Mario terdiam, pikirannya mulai menghubungkan banyak hal. Selama ini dia menganggap Bella hanya masa lalu yang tidak berarti, tetapi ucapan asistennya membuatnya sadar bahwa mungkin Bella belum benar-benar hilang dari hidupnya.
“Dan Arnold?” tanya Mario, suaranya lebih tajam.
“Kalau soal Tuan Arnold, ini lebih rumit. Saya rasa lebih baik kita bicarakan di kantor besok,” jawab asistennya, suaranya terdengar lebih serius.
“Tidak. Jelaskan sekarang,” desak Mario, tidak ingin menunggu.
“Tuan, ini bukan masalah sederhana. Arnold tahu lebih banyak dari yang Anda pikirkan,” jawabnya.
“Oke, besok kita bertemu di kantor, Devon!” seru Mario dan mengakhiri sambungan telepon.
Mario berbaring di samping Renaya, menyelipkan lengannya ke pinggang gadis itu dan memeluknya erat dari belakang. Dia memandangi rambut panjang Renaya yang tergerai, lalu mengecup lembut bagian belakang kepalanya.
“Kamu hutang penjelasan besok, Baby,” gumam Mario dengan nada setengah kesal namun lembut. “Berani-beraninya kamu menghabiskan minumanku? Padahal kamu tahu kadar alkoholnya tinggi. Kamu bisa sakit lagi kalau meminum segitu banyaknya.”
Mario mencium pelipis Renaya yang masih terlelap, lalu menutup matanya, mencoba mengesampingkan kegelisahan di hatinya untuk sementara waktu.
**
**
**
Keesokan paginya, Renaya terbangun dengan rasa mual yang sangat menyiksa. Dengan langkah cepat dan sempoyongan, dia langsung menuju kamar mandi. Rasa tak nyaman di perutnya membuatnya memuntahkan isi perut dengan suara yang membuat Mario, yang baru saja bangun, terkejut.
“Baby?” panggil Mario sambil bergegas ke kamar mandi, mendapati Renaya memegang wastafel dengan wajah pucat. “Apa yang terjadi?”
Renaya menoleh dengan susah payah, suaranya lemah. “Daddy... perutku sakit...” rintihnya, matanya berair karena rasa perih di perutnya yang tak tertahankan.
Mario segera menghampirinya, memegang pundaknya agar dia tetap berdiri tegak. Setelah Renaya selesai muntah, Mario membopong tubuhnya dengan hati-hati. “Asam lambungmu naik karena minuman yang kamu habiskan semalam, kan? Nakal sekali kamu, Baby,” tegurnya, meskipun nada suaranya penuh kekhawatiran.
Renaya hanya bisa menunduk dan berkata lirih, “Maaf, Daddy…”
Mario menghela napas, lalu meletakkan Renaya di atas tempat tidur dengan hati-hati. Dia menyelimutinya, memastikan Renaya tetap hangat. “Diam di sini, Daddy akan panggilkan dokter dulu,” katanya.
“Daddy...” panggil Renaya dengan suara serak, menggenggam tangan Mario lemah. “Aku nggak apa-apa kok, mungkin cuma sakit perut biasa.”
“Jangan membantah, Baby,” ujar Mario dengan nada tegas. “Daddy nggak mau ambil risiko. Ini salah Daddy juga karena membiarkan minuman itu ada di ruang kerja.”
Renaya tidak membalas, hanya mengangguk lemah. Mario segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi dokter pribadi mereka. Beberapa menit kemudian, setelah memastikan dokter dalam perjalanan, Mario kembali ke sisi Renaya.
Dia mengusap lembut rambut Renaya yang mulai basah oleh keringat dingin. “Kalau kamu merasa mual lagi, bilang ke Daddy, ya,” ujarnya sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Renaya memejamkan matanya, mencoba melawan rasa tidak nyaman di tubuhnya. “Daddy baik banget sama aku,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Mario hanya tersenyum tipis, mencium kening Renaya dengan penuh kasih. “Daddy nggak akan membiarkan kamu sakit, Baby. Kamu terlalu berharga untuk Daddy.”
Beberapa saat kemudian, bel apartemen berbunyi. Mario berdiri, memeriksa kamera pintu, dan melihat dokter telah tiba. Dia mengantar dokter ke kamar untuk memeriksa Renaya, memastikan semuanya ditangani dengan baik.
Setelah pemeriksaan selesai, dokter mengonfirmasi bahwa kondisi Renaya hanya efek sementara dari konsumsi alkohol yang berlebihan, ditambah dengan asam lambung yang memang sensitif. “Pastikan dia istirahat dan hindari makanan yang pedas atau asam untuk beberapa hari ke depan,” kata dokter sebelum pergi.
Mario kembali ke sisi Renaya, mengulurkan segelas air hangat. “Minum dulu, Baby. Kamu harus lebih berhati-hati mulai sekarang.”
Renaya menerima gelas itu dengan tangan gemetar. “Aku janji nggak akan macam-macam lagi, Daddy,” ucapnya pelan.
Mario tersenyum, lalu duduk di sampingnya. “Bagus. Karena Daddy nggak mau kehilangan kamu. Jadi, jaga dirimu baik-baik, ya?”
“Istirahatlah, setelah membaik, kamu harus menjelaskan pada Daddy kenapa kamu menghabiskan minuman itu,” lanjut Mario.
**
Jangan lupa mampir ke novel otor yang baru ya, judulnya 69 MENIT BERSAMA SUGAR DADDY
jadi wajib baca dan masuk rak.