Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Empat
"Sayang, kamu sudah bangun," ucap Wisnu sambil berjalan mendekati Karin dengan tatapan penuh keyakinan.
"Apa maumu?" teriak Karin, tubuhnya gemetar hebat. Ia takut pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Sejak pesta, sebenarnya firasatnya sudah tidak enak, namun ia memilih untuk tetap tenang agar tak menimbulkan kecurigaan orang lain.
"Ayo, kita bersenang-senang, Sayang," balas Wisnu dengan senyum menyeringai. Tanpa basa-basi, ia langsung mengutarakan maksudnya, yakin bahwa Karin sudah memahami tujuan sebenarnya mengajaknya ke apartemen ini.
Karin mundur perlahan, namun tubuhnya akhirnya terbentur dinding. Ketakutannya semakin memuncak melihat tatapan Wisnu yang mengancam. Ia berusaha mencari celah, tapi pria itu terus mendekat dengan langkah santai, seolah menikmati kepanikannya.
“Jangan mendekat!” Karin berteriak, mengulurkan tangan yang memegang pisau kecil yang baru saja ditemukannya di atas meja nakas.
Wisnu hanya menatap pisau itu dengan pandangan mengejek. Tanpa ragu, ia menepis tangan Karin hingga pisaunya jatuh ke lantai. Lalu, dengan cepat ia menekan tubuh Karin ke dinding, mengunci kedua tangannya di atas kepala dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menyusuri wajah Karin.
"Tolong... lepaskan aku," lirih Karin, suaranya bergetar, air mata mulai mengalir. Ketakutannya tak tertahankan, terlebih saat melihat pria itu semakin mendekat tanpa niat melepaskannya.
"Kau tak akan pergi ke mana pun sampai kau menuruti kemauanku," kata Wisnu dingin, suaranya tajam menusuk.
Karin mencoba memberontak, dan dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menendang keras ke arah selangkangan Lee. Tindakannya membuat pria itu jatuh terhuyung-huyung, memberi Karin kesempatan untuk segera berlari ke meja rias, meraih tasnya dan mengeluarkan ponsel. Dengan cepat ia mencoba menelepon Raka. Syukurlah, panggilan tersambung, namun sebelum sempat berbicara, Wisnu sudah bangkit dan merebut ponselnya, menjatuhkannya ke lantai hingga terpecah.
Wisnu yang sudah kehilangan kesabaran langsung menarik Karin dan membantingnya ke tempat tidur, membuat gaun yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan kaki jenjangnya. Nafsu Wisnu kian membara, tanpa berpikir panjang, ia merobek bagian atas gaun Karin, mengekspos bahu dan dadanya.
"Lee... tolong, lepaskan aku," Karin memohon dengan suara lemah, air matanya membanjiri wajahnya. Situasi ini sungguh di luar dugaannya, bahkan Raka, suaminya sendiri, tidak pernah memperlakukannya seperti ini meski mereka adalah pasangan.
"Terlambat," ujar Wisnu penuh keyakinan, memandang Karin dengan sorot mata yang penuh hasrat.
Namun, tiba-tiba—Brak!
Pintu kamar terbuka keras, dan Raka langsung menyerbu masuk dengan amarah membara. Tanpa pikir panjang, ia menarik tubuh Wisnu dari atas Karin dan melemparkannya ke lantai.
"Jangan ikut campur jika kau masih ingin investasiku di perusahaanmu, Raka," kata Wisnu sambil bangkit dengan wajah penuh amarah.
"Tidak ada yang lebih penting dari keselamatan istriku. Kau sentuh dia sekali lagi, aku tak akan segan menghabisimu," ancam Raka dengan suara dingin, wajahnya penuh kemarahan.
Karin yang masih terguncang hanya bisa menatap suaminya. "Raka... hati-hati," teriaknya saat melihat Wisnu mencoba menyerang Raka dari belakang dengan pisau.
Dengan gesit, Raka menghindar meski lengannya terkena goresan pisau yang cukup dalam. Balasan cepatnya membuat Wisnu terhuyung-huyung setelah menerima pukulan telak di wajahnya.
Tak lama, Asisten Raka datang bersama beberapa polisi. Mereka langsung menangkap Wisnu dan membawanya keluar dari apartemen itu.
Raka segera menghampiri Karin yang masih gemetar di sudut tempat tidur. Ia menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan menenangkan.
"Raka, aku takut sekali," Karin berkata di antara isak tangis, air matanya membasahi bahu Raka.
"Sudah, aku di sini sekarang. Kamu aman," ujar Raka lembut, mengusap punggungnya. Ia menyesal telah membiarkan Karin pergi ke pesta itu, dan lebih lagi karena tidak menjaganya lebih baik.
Raka melepaskan pelukannya dan membuka jaketnya, mengenakannya pada Karin yang masih terguncang, meski jaket itu sudah ternoda darah dari luka di lengannya. Dengan hati-hati, ia membalut lukanya menggunakan dasi yang dikenakannya.
"Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit. Lukamu parah sekali," kata Karin khawatir, melihat darah yang mengalir dari lengan Raka.
"Tidak perlu. Aku akan minta Dokter Kang datang ke rumah nanti," Raka tersenyum, senang karena Karin masih memperhatikannya meski dalam keadaan takut.
"Tapi..." Karin tampak ragu.
"Ayo pulang. Kamu pasti masih terguncang," kata Raka sambil meraih tangan Karin, menuntunnya keluar dari apartemen itu. Rasa syukurnya tak terbatas karena ia tiba tepat waktu. Jika ia terlambat sedikit saja, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.