Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
Zidan melangkah masuk kelas 2-1, disambut dengan antusias oleh murid-muridnya. Anak-anak tampak bersemangat, namun pandangannya tertuju pada Alana yang duduk termenung menatap ke luar jendela. Di luar terdapat bunga tabebuya berwarna pink, bermekaran sangat indah, kelopaknya berjatuhan terkena hembusan angin, bak bunga sakura yang mekar di halaman sekolahnya.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Zidan.
Anak-anak menjawab serentak, "pagi pak."
Alana, yang semula termenung pun langsung beralih menatap Zidan yang sudah berdiri di depan kelas.
"Pak, kita nggak lihat hasil ulangannya sekarang, kan?" tanya salah satu siswi cemas.
"Kenapa? Kamu mau lihat hasilnya? Harusnya tadi Bapak bawa ke kelas ya. Haha..."
"Ah, Bapak... Nilai kami pasti hancur Pak, soalnya ulangan mendadak kemarin."
"Hahaha... makanya belajar! Kerjaannya ngehaluin opa-opa Korea mulu sih," singgung Zidan.
"Ah, Bapak...! Lihat orang-orang ganteng itu bisa menghilangkan stres dan menambah semangat Pak. Tapi Bapak adalah yang terganteng di kelas ini, hehe. Makanya kami semangat belajarnya ini," tambah siswi yang lain.
"Haha, bisa aja kalian. Melihat dari semangat kalian, kayaknya udah siap untuk ulangan lagi nih?" goda Zidan.
Mata anak-anak di kelas langsung membulat sempurna. "Paaaak...!" teriak mereka.
"Ber-syan-da!" Zidan tertawa. "Serius amat sih kalian. Hahaha... Ya sudah, kita mulai pelajaran aja. Buka bukunya ya, kita baca halaman 82 sekarang."
Zidan mulai memperhatikan anak-anak yang membaca, sesekali melirik Alana yang terlihat tak nyaman sambil mengusap-usap kedua lengannya.
Wush...
Angin pagi yang berembun menyusup melalui jendela kelas yang terbuka, membuat Alana yang tadinya duduk bersedekap di meja semakin merapatkan tangan ke tubuhnya.
Zidan mengalihkan perhatiannya dari bukunya pada Alana; hatinya Bergetar melihat anak itu kedinginan. Namun, sebelum ia bertindak, Zayn lebih dulu melemparkan jaket tebalnya ke arah Alana.
"Nih, pakai," ujar Zayn singkat.
"Wah... pekanya! Makasih ya, Za, hehe..." kata Alana.
Alana segera memakai jaket itu dan merapatkan kedua sisinya dengan tangan yang tersilang di dadanya, agar terasa lebih hangat.
Sementara Zidan bukannya tenang karena masalah kedinginan Alana teratasi, hal itu justru membuatnya semakin tak senang. Zidan segera menangkupkan buku paketnya ke meja guru.
Cetak...
"Karena ada anak-anak yang alergi serbuk bunga, jadi tolong yang dekat jendela tutup semua jendelanya!" ujarnya dingin.
Beberapa siswa mulai bergerak menutup jendela, memenuhi permintaannya. Namun, sesaat Zidan termenung; setelah dipikir-pikir, alasannya terdengar seperti dibuat-buat. Ia tahu bunga tabebuya tidak banyak menghasilkan serbuk sari, dan bahkan sejauh ini tak ada siswa di kelas itu yang alergi serbuk bunga.
Jadi kenapa aku sampai membuat alasan konyol hanya untuk menutup jendela, ya? Kan tinggal bilang ada yang kedinginan? Ngapain cari-cari alasan coba? Ia merutuki keputusannya yang aneh itu.
Setelah jendela tertutup, Alana mulai melonggarkan dekapannya pada jaket Zayn. Aku masih kedinginan sih, tapi syukurlah dia perhatian dengan anak-anak yang alergi. Ternyata dia sangat perhatian, ya… batinnya kagum.
Alana kembali melirik Zidan yang kini berdiri di depan kelas. Wajahnya masih serius, namun perlahan tatapannya mulai melembut. Sesaat setelah jaket Zayn tak lagi dipeluknya, sebuah senyum samar tersungging di wajah Zidan, yang hanya disadari oleh Alana.
Tak lama setelah itu, Zidan kembali melanjutkan pelajaran, dan Alana mengikutinya dengan antusias. Sampai tak terasa waktu berlalu begitu cepat; bel istirahat berbunyi. Namun sebagian besar siswi malah mendesah kecewa.
"Kalau begitu Bapak sudahi pelajarannya sampai di sini dulu ya. Jangan lupa belajar, nanti kalau Bapak kasih ulangan lagi biar siap," pesan Zidan.
"Ya, Pak," jawab mereka serentak.
Namun, sebelum Zidan berbalik dan melangkah keluar, pandangannya sekilas tertuju ke arah Alana. Mata mereka bertemu sejenak, dan dalam tatapan itu, Alana merasakan sorot mata Zidan yang hangat disertai senyum tipis. Alana tak tahu apakah itu ditujukan padanya atau pada seluruh siswa yang ada di kelasnya.
Pak Zidan selalu ramah. Pasti tatapan itu untuk siswanya, kan? Apa sih yang aku harapkan? Kenapa hal ini membuatku kecewa? tanya Alana pada diri sendiri.
Alana berjalan dengan langkah malas menyusuri lorong kelas. Pikirannya masih melayang.
Apa pelajaran bahasa Inggris biasanya memang secepat ini ya? Aku ingin belajar lebih lama, kalau bisa selama seminggu belajar bahasa Inggris aja sekalian, batinnya.
Ia melanjutkan perjalanannya sampai langkah kakinya terhenti di sebuah ruangan.
"Loh, sejak kapan aku berjalan sampai ruang guru?" gumamnya pelan.
Tanpa sadar kakinya bergerak mendekati jendela kaca ruang guru, kepalanya menyembul sedikit, mengamati seisi ruangan itu. Airin, yang kebetulan lewat, melihatnya dengan aneh.
"Ngapain kamu, La? Ada masalah sama guru BK lagi ya?"
"Eh, astaga! Rin, ngagetin aja. Ssst...! Jangan berisik, nanti ketahuan. Kamu sendiri mau ke mana?" bisiknya.
"Kamu lihat apa sih sampai segitunya? Aku mau ke kantin, ikut nggak?" Airin ikutan berbisik.
"Enggak dulu, deh. Duluan aja," sahut Alana sambil melambaikan tangannya pada Airin.
Setelah kepergian Airin, Alana kembali melancarkan aksi mengintipnya. Namun sayang, ternyata sosok yang dicari sedang tak ada di ruangan itu.
"Haaah... dia nggak ada di ruang guru, ya. Sayang sekali... Bukannya pas udah selesai ngajar biasanya langsung ke ruang guru, ya... Eh, Tunggu! Aku ngapain sih? Nggak jelas banget dari tadi." Sambil berjalan, Alana terus merutuki kelakuan anehnya.
"Loh... bukannya itu Pak Zidan di ruang BK? Ngapain dia ngelamun di situ, yak? Hem... samperin nggak ya? Aku masih maluu, tapi aku mau ngobrol. Gimana dong? Samperin, enggak, samperin, enggak, samperin... enggak. Enggak?! Yahh... kok enggak sih?!" Ia menghitung 10 jarinya sambil bergumam. Namun, saat Zidan menoleh ke arahnya dan tersenyum, seketika jantungnya berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya masuk ke ruangan itu.
"Pak Zidan lagi ngapain di sini?" sapanya. "Udah gitu, ruang konsultasinya kosong? Pak Aryo nggak di sini kan Pak?" Alana waspada, matanya kesana kemari memastikan.
"Haha, enggak ada Pak Aryo kok. Kamu takut dihukum lagi ya? Dia udah keluar tadi. Aku di sini lagi cari angin segar, kan di sini ventilasinya bagus," ujar Zidan mengelak.
Padahal, Zidan lagi kabur dari Pak Bakri yang terus mendesaknya untuk ikut naik gunung. Bahkan saat mau masuk kantor tadi, Pak Bakri sudah menanyakan keberadaannya pada semua guru yang ada di dalam, membuat Zidan urung masuk dan memilih kabur saja.
"Tapi kan di sini dingin, Pak. Emang Bapak nggak kedinginan?" tanya Alana.
"Hehe... iya ya, aku juga baru mau keluar dari sini kok!" Merasa konyol, Zidan menambahkan alasan kebohongan selanjutnya.
Zidan mengalihkan pembicaraan. "Oh iya La, tadi aku lihat semangat belajarmu muncul ya. Tatapan matamu juga kelihatan antusias."
"Ah... memang aku menyukai bahasa Inggris kok, Pak!" kata Alana yang sudah pasti 100% bohong.
Di luar ruangan, Pak Bakri menghampiri Pak Rizal yang lewat depan ruang BK.
"Eh, Pak Rizal?" Panggilnya. "Bukannya jam mengajar Pak Zidan udah selesai? Kok dia nggak kelihatan? Ke mana ya? Pak Rizal lihat tidak?" tanya Pak Bakri.
"Oh, kurang tahu saya, Pak," sahut Pak Rizal sekenanya.
Pak Bakri berencana memeriksa ruang BK juga. Saat knop pintu diputar, Zidan buru buru sembunyi ke bawah meja, Alana terkejut sekaligus heran.
"Pak...! kenapa? Apa bapak sakii..."
Zidan lansung menarik tangan Alana agar ikut bersembunyi.
"Ssst...!" Desis Zidan.
Alana terkejut menyadari posisinya terlalu dekat. Ia merasakan tubuhnya menempel ke dada bidang Zidan. Aroma maskulin tubuh zidan tercium jelas, membuat kedua pipinya memanas. Ia menahan nafas mencoba menenangkan debaran Jantungnya yang semakin menggila.
Aduh... dia dengar nggak ya suara jantungku? Ini pasti kedengeran... dekat banget soalnya, gumam Alana dalam hati.
"Fiuhhh... akhirnya pergi juga dia," gumam Zidan.
"Eh, kenapa aku kayak gini ya...?" cicitnya malu. "Maaf aku sampai membuatmu..."
Zidan terdiam, tubuhnya menegang saat menyadari dua benda kenyal menempel di dadanya. Ia menunduk, matanya tak sengaja bertemu wajah Alana yang merah padam. Dalam detik yang terasa lambat, Alana tampak memejamkan mata dengan ragu, sementara jantung Zidan berdegup kencang, seolah ikut bingung.
Perlahan, ia menarik diri, melepaskan dekapannya, lalu mengalihkan pandangan sambil mencoba menenangkan diri.
Astaga… perasaan tadi jendelanya terbuka deh, Tapi kenapa sekarang terasa panas begini ya? gumamnya dalam hati, masih berusaha mengatur napas.
Ehmm... La Maaf ya, kamu tadi pasti kaget kan?
Alana masih terdiam. Sepertinya jiwanya masih melalang buana, belum kembali ke raganya.
“Jangan bengong di situ aja, lantainya dingin, loh. Nanti kamu bisa kena flu, bahaya, kan? Ayo.” Zidan mengulurkan tangannya dengan senyum hangat.
Namun, Alana tetap tak bergeming.
"Alana...? Kamu nggak apa-apa, kan?" Zidan mendekat, meletakkan punggung tangannya di kening Alana untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Nggak panas, sih..." gumamnya. Tapi justru sentuhan itu membuat pipi Alana bersemu merah.
"Eh... Pak, tadi Bapak bilang apa?” tanya Alana gugup, akhirnya tersadar sepenuhnya.
Zidan tertawa kecil. Tanpa berkata lebih lanjut, dia langsung menarik tangan Alana, membantunya berdiri.
“Udah, sana ke kelas. Waktu istirahat udah habis. Nanti kamu telat. Nggak mau kan, ngobrol berdua bareng Pak Aryo di ruang BK?” Zidan tersenyum sekilas, lalu berbalik dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Apakah ini cuma perasaan ku? Seketika aku merasa dekat dengannya. Tapi... tiba-tiba jadi jauh lagi, batin Alana, menatap punggung Zidan yang semakin menjauh.