Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mendiamkan
Kenneth duduk diam di ruang tamu, menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup di belakang Calista. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami apa yang harus dia lakukan untuk memperbaiki keadaan. Sudah tiga hari sejak pertengkaran mereka terjadi, dan meskipun Kenneth berulang kali meminta maaf, Calista tetap bungkam. Rasanya seolah ada tembok tak kasat mata yang membatasi mereka berdua, dan setiap kali Kenneth mencoba menembusnya, ia hanya menemukan dirinya terbentur dan terpental kembali.
Di dalam hatinya, Kenneth tahu bahwa Calista adalah orang yang luar biasa sabar dan selalu bisa mengendalikan emosinya. Berbeda dengan dirinya yang seringkali sulit menahan amarah atau kata-kata yang keluar tanpa dipikirkan. Itulah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka—Kenneth terlontar kata-kata kasar saat emosi menguasainya. Dia menyesalinya, dan sejak itu berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki situasi. Namun, Calista tetap menjaga jarak, tidak memberikan kesempatan baginya untuk menjelaskan atau menunjukkan betapa dia tulus dalam permintaan maafnya.
Malam hari adalah saat yang paling menyiksa bagi Kenneth. Biasanya, sebelum pertengkaran ini, Calista secara tidak sengaja akan mendekat padanya dalam tidurnya, meskipun dia seringkali menyangkal bahwa dia nyaman tidur di samping Kenneth. Kenneth selalu tahu bahwa meskipun Calista kadang bersikap dingin atau cuek, ada perasaan hangat yang terpancar dari tindakan-tindakan kecilnya. Namun sekarang, Calista bahkan menaruh bantal sebagai pembatas di antara mereka berdua, membuat malam-malam Kenneth terasa semakin dingin dan sunyi. Kenneth merasa kehilangan, meskipun mereka masih tidur di tempat tidur yang sama.
Ketakutan terbesar Kenneth adalah bahwa Calista, yang sedang hamil, akan membalikkan tubuhnya dan tidur tengkurap—sesuatu yang sangat berbahaya bagi wanita hamil. Setiap malam, pikiran itu menghantui Kenneth, membuatnya terjaga sepanjang malam, memastikan bahwa istrinya tetap aman. Namun, dalam keheningan malam itu, rasa takut terbesar yang sebenarnya adalah kehilangan keintiman mereka sebagai pasangan.
Pagi ini, Kenneth terbangun lebih awal dari biasanya. Dia langsung merasakan bahwa Calista tidak lagi berada di sampingnya. Pikirannya segera dipenuhi kekhawatiran. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia pergi tanpa memberitahunya? Tanpa pikir panjang, Kenneth segera turun ke lantai bawah, berharap menemukan Calista di sana.
Ketika dia menuruni tangga, aroma harum masakan langsung menyeruak ke hidungnya. Dia berhenti sejenak, melihat ke arah dapur, dan di sanalah Calista, sibuk dengan aktivitas memasak. Ada perasaan lega yang muncul di dalam diri Kenneth, melihat istrinya masih menjalankan rutinitas seperti biasa. Meskipun Calista masih marah, dia tetap menyiapkan makanan, sesuatu yang menunjukkan betapa bertanggung jawab dan penuh perhatian dirinya. Kenneth tersenyum kecil, kagum pada sosok wanita yang dia nikahi.
Dengan langkah pelan, Kenneth mendekati Calista, berusaha mencari celah untuk memulai percakapan. “Hmm, wangi banget masakan kamu, pasti enak,” ujarnya dengan nada ceria, berharap bisa mencairkan suasana yang tegang di antara mereka.
Namun, seperti yang sudah terjadi selama tiga hari terakhir, Calista tetap diam. Dia tidak memberikan respons apapun, hanya fokus pada apa yang sedang dia lakukan—memasukkan makanan ke dalam kotak bekal. Kenneth merasa bingung. "Kenapa dimasukkan ke kotak bekal? Buat siapa?" tanyanya, mencoba mencari tahu, tetapi Calista tetap tidak menghiraukan pertanyaannya.
Setelah selesai memasak, Calista meletakkan sepiring sarapan di depan Kenneth tanpa mengatakan sepatah kata pun, kemudian berbalik menuju kamar. Kenneth hanya bisa memandangnya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu Calista masih marah, tapi dia juga tidak bisa memaksanya untuk segera memaafkan. Mungkin, pikir Kenneth, Calista butuh waktu lebih lama untuk meredakan emosinya.
Kenneth menarik napas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk fokus pada sarapan yang sudah disiapkan Calista. Dia mengambil garpu dan mencicipi masakan itu. Begitu makanan menyentuh lidahnya, Kenneth tersenyum lebar. “Enak banget! Calista ternyata jago masak,” gumamnya pada dirinya sendiri. Ada rasa bahagia yang sederhana dari makanan itu, dan Kenneth merasa beruntung memiliki istri seperti Calista, meski dalam kondisi yang serba sulit seperti sekarang.
Satu jam kemudian, Calista turun dari kamar dengan rapi. Dia sudah berpakaian lengkap, siap untuk berangkat ke kampus. Kenneth memerhatikannya dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda apakah suasana hatinya sudah membaik atau belum. Namun, dari ekspresinya yang datar, Kenneth tahu bahwa Calista masih menjaga jarak. Meski begitu, Kenneth ingin mencoba lagi.
"Mau ke kampus? Ayo, aku anterin. Soalnya aku nggak ada kelas hari ini," tawarnya dengan harapan bisa menghabiskan waktu bersama Calista dan mungkin menemukan kesempatan untuk berbicara.
Calista menjawab singkat, "Nggak usah, makasih. Aku naik ojek online aja." Meski nadanya dingin, Kenneth merasa sedikit lega karena setidaknya Calista sudah mulai berbicara padanya, meski hanya sepatah dua patah kata.
Kenneth memperhatikan saat Calista memasukkan kotak bekal yang sudah disiapkannya ke dalam tas. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan istrinya, tetapi dia merasa bersyukur bahwa Calista masih menjaga rutinitas dan tanggung jawabnya, meskipun tengah marah.
"Aku jalan dulu," ucap Calista singkat sambil tiba-tiba meraih tangan kanan Kenneth dan mencium punggung tangannya. Tindakan itu mengejutkan Kenneth, tetapi dia tahu bahwa itu adalah bagian dari karakter Calista—selalu sopan dan penuh rasa hormat, bahkan dalam kondisi marah sekalipun.
Setelah pintu rumah tertutup di belakang Calista, Kenneth terduduk di kursi, merenung lebih dalam. Ia tahu bahwa Calista adalah sosok yang luar biasa, dan meskipun mereka sedang dalam masalah, Kenneth tidak bisa berhenti mencintainya. Ia merasa bahwa pernikahan mereka layak diperjuangkan.
Kenneth kemudian memutuskan untuk menelepon Resa, kakak perempuan Calista. Resa adalah orang yang paling mengenal Calista, dan Kenneth berharap bisa mendapatkan saran darinya. Setelah panggilan tersambung, Kenneth menceritakan seluruh situasi yang sedang terjadi. Resa mendengarkan dengan sabar, lalu tertawa kecil di ujung telepon. “Kenneth, kamu pasti lagi jatuh cinta banget sama Calista, ya? Kelihatan dari caramu berusaha keras buat deketin dia lagi,” katanya dengan nada menggoda.
Kenneth tersenyum kecut. “Iya, Kak. Tapi aku benar-benar nggak tahu harus gimana lagi. Rasanya makin jauh setiap hari, dan aku nggak mau dia terus begini.”
Resa kemudian memberikan beberapa saran praktis yang sangat membantu. Ia berbagi informasi tentang hal-hal kecil yang disukai Calista, seperti makanan favoritnya, cara dia biasanya menenangkan diri saat marah, dan kebiasaan yang mungkin Kenneth belum ketahui. Semua itu memberikan Kenneth wawasan baru tentang bagaimana mendekati Calista dengan lebih lembut dan penuh pengertian.
“Yang paling penting, Kenneth, jangan terlalu menekan dia. Biarkan dia punya ruang untuk berpikir, tapi tetap kasih perhatian kecil-kecil. Itu akan menunjukkan bahwa kamu peduli,” kata Resa dengan tegas namun ramah.
Setelah berbicara dengan Resa, Kenneth merasa lebih tenang dan optimis. Dia akan mulai dengan hal-hal kecil yang mungkin bisa membuat Calista merasa dihargai. Bagaimanapun juga, pernikahan adalah tentang dua orang yang saling belajar dan beradaptasi satu sama lain, dan Kenneth siap untuk belajar lebih banyak tentang Calista—tentang hal-hal yang mungkin belum pernah dia perhatikan sebelumnya.
Pernikahan memang tidak selalu mudah, dan Kenneth menyadari itu sepenuhnya. Namun, dia tahu bahwa cintanya pada Calista dan keinginannya untuk menjaga keluarganya tetap utuh jauh lebih besar dari segala tantangan yang mereka hadapi. Dengan tekad itu, Kenneth bersiap untuk menghadapi hari-hari ke depan, dengan harapan bahwa hubungan mereka akan kembali hangat seperti sebelumnya, dan mereka bisa menyongsong masa depan bersama, dengan cinta yang lebih kuat.