Dominict Seorang jendral kerajaan yang diam-diam jatuh cinta pada tuan putri namun gengsi untuk menyatakan perasaanya hal hasil Dominict jadi sering menggoda Tuan Putri. Dominict akan melakukan apapun untuk Tuan Putri_nya, pencemburu akut. Tegas dan kejam Dominict hanya lembut pada gadis yang ia cintai. Akan murka ketika sang Putri gadis pujaannya melakukan hal yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa hari berikutnya, Elara yang mengambil alih seluruh perawat untuk pemulihan kondisi Dominict.
Hari ini, Putri Ana tampak ceria. Ia memetik beberapa tangkai bunga segar dari rumah kaca istana dengan penuh semangat.
"Yang Mulia, apa bunga-bunga itu untuk Jendral?" Tanya seorang pria paruh baya, terlihat dari penampilannya ia adalah tukang kebun istana.
"Iya... Tapi aku bingung mau memberi bunga apa." Jawab, Putri Ana memandangi beberapa tangkai bunga yang ia petik tadi.
"Yang Mulia, jika boleh sarankan pada anda kenapa tidak berikan bunga lili saja." Saran, sang tukang kebun.
"Kenapa lili? bukanya mawar lebih bagus?"
"Ya... Memang tidak ada yang salah dengan itu Yang Mulia, tetapi... Setiap bunga memiliki arti seperti bunga mawar merah, mereka memiliki arti cinta dan kesetiaan. Jika Anda memberikan bunga mawar merah itu artinya anda mencintai orang tersebut." Jelas, sang tukang kebun.
"Nah, jika Anda memberikan bunga lili, itu berarti orang tersebut sangat berharga bagi Anda. Lili melambangkan kemurnian hati dan kesucian." Lanjut, sang tukang kebun.
"Paman, apa kau tahu semua tenang bunga-bunga ini?"
Putri Ana, mulai terhanyut dalam pembicaraannya dengan sang tukang kebun. Dan terlihat sangat akrab.
"Ya... Begitulah, sepertinya anda tertarik dengan mereka, Yang Mulia. Dulu saat Jendral Dominict di istana, dia sering sekali beriak, suaranya yang parau menggema di seluruh istana..."
"Jadi, paman paman menganggap ku bandel?"
"Haha... Tidak juga, Yang Mulia."
Memang benar, Putri Ana memang selalu membuat masalah dengan menyelinap diam-diam ke luar istana, hingga membuat Dominict sering berteriak dan marah-marah.
Putri Ana, tampak merenung sesaat dengan tindakannya selama ini yang sering membuat Dominict marah-marah dan kerepotan.
"Nah... Silahkan, Yang Mulia." Ucap, sang tukang kebun memberikan sebuah buket bunga lili pada Putri Ana.
"Saya harap Jendral Dominict segera pulih." Lanjut, sang tukang kebun.
"Iya... Terimakasih, paman."
lalu Putri Ana bergegas menuju ke ruang perawatan, ia tampak sangat senang. Setelah beberapa hari tak menjenguk Dominict.
Sesampainya di ruang perawatan, Putri Ana terlihat sedikit terkejut melihat Elara di sana yang sedang merawat Dominict. kemudian dengan hati-hati Putri Ana masuk ke dalam ruangan.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya, Putri Ana berusaha tetap sopan pada Elara.
"Kondisi... Jendral Dominict, semakin membaik, Yang Mulia." Jawab, Elara datar, tak sekalipun ia menatap kearah Putri Ana saat berbicara.
"... Sebaiknya, anda tidak membawa bunga ke mari, Yang Mulia. Itu bisa mengganggu pernafasan pasien." Ucap, Elara lagi dengan dingin, ia masih tak menatap Putri Ana saat bicara, dan masih fokus dengan tugasnya merawat Dominict.
Sesaat, Putri Ana terhenyak. Namun masih diam.
"Begitu ya." Putri Ana tampak canggung dengan situasi ini.
"Kalau begitu aku akan membawanya kembali." Lanjut, Putri Ana.
Ia memilih membawa kembali bunga yang ia bawa dan pergi dari dalam ruangan perawatan. Kemudian di taman istana Putri Ana terlihat sedang duduk sendirian, ia masih memikirkan kejadian tadi. Putri Ana merasa ada yang berbeda dengan Elara.
"Apa... Selama di perbatasan Dominict memiliki hubungan dengan wanita itu? jika itu benar..." Batinnya, tampak bingung harus bagaimana.
Karena selama ini Dominict tak pernah mengatakan apapun tentang hubungannya selama ini dengan Elara.
"Tapi... Tidak mungkin..." Pikir Putri Ana lagi.
Namun Putri Ana menyimpan perasaan itu jauh-jauh rasa curiganya. Ia masih berusaha berpikir positif dan tak mau berpikiran buruk tentang Dominict dan Elara.
Sementara itu di dalam ruangan perawatan, Elara masih berada di sana dan merawat Dominict. Hatinya di penuhi oleh kebencian terhadap Sang Putri. Elara memikirkan cara agar Putri Ana tak menemui Dominict lagi.
"Aku tidak akan membiarkannya mendekati Jendral Dominict." Tekad, Elara yang semakin di rasuki api cemburu.
"Ana...." Panggil, Dominict yang tampak mulai sadar.
Perlahan, Dominict mulai sadar setelah beberapa minggu terbaring lemah. Nama pertama yang ia panggil adalah Putri Ana.
Elara, yang menyaksikan Dominict mulai siuman, merasakan kebahagiaan sekaligus kekecewaan. Kebahagiaannya berubah menjadi kecemburuan yang membara ketika menyadari bahwa nama pertama yang disebut Dominict adalah Putri Ana, membuat api cemburu di hatinya semakin berkobar.
"Jendral!"
Perlahan, Dominict membuka matanya dan berusaha memperhatikan sosok di hadapannya.
Dalam pandangan Dominict yang masih samar, ia mengira sosok itu adalah Putri Ana.
"Ana..." panggilnya lagi.
"Jendral." Panggil, Elara.
Dominict mengerenyitkan dahi mengingat siapa pemilik suara itu yang ternyata adalah Elara.
"Elara..."
Saat itu, pandangan Dominict perlahan mulai jelas. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya berhenti dan menatap Elara.
"Bagaimana aku... bisa ada di istana?" Tanya, Dominict berusaha untuk duduk.
Dengan hati-hati, Elara membantu Dominict untuk duduk. Sesaat, Dominict meringis kesakitan saat tubuhnya berusaha menyesuaikan posisi.
"Jendral, sebaiknya anda jangan terlalu sering bergerak, Kondisi anda masih lemah! Saya akan memeriksa kondisi anda dulu." ucap Elara.
Dominict hanya mengangguk pelan.
Tak lama, Simon datang dan melihat Dominict yang sudah sadar.
"Jendral, anda sudah sadar?" Simon tampak senang dengan keadaan Dominict yang mulai membaik, kemudian Simon melakukan pemeriksaan kembali pada tubuh Dominict.
"Kondisi anda sudah semakin membaik, Jendral. Sekarang hanya perlu pemulihan luka fisik." Jelas, Simon.
"Oya... Apa Ana tidak pernah datang menjengukku?"
"Ya, sesekali Tuan Putri datang tapi tidak lama."
Dominict diam saat mendengar penjelasan Simon.
Tak lama kemudian, Thadeus masuk ke dalam ruang perawatan. Ekspresinya berubah antara terkejut dan gembira saat melihat Dominict yang akhirnya sadar.
"Jendral... Syukurlah anda sudah sadar." Thadeus menghampiri Dominict.
"Iya... Ana di mana?" Tanya, Dominict.
"Eh?! Tuan Putri... Sedang pergi ke luar istana." Jawab, Thadeus dengan sedikit terkejut.
"Apa?! dia pergi dengan siapa?" Tanya, Dominict panik lalu menyentuh dadanya yang terasa nyeri setelah bergerak tiba-tiba.
"Jendral!"
"Cari dia, cepat!!" Kata, Dominict meringis kesakitan.
"Ba...baik, Jendral."
"Di saat seperti ini kau masih mengkhawatirkan Putri manja itu." Batin, Elara di penuhi dengan rasa cemburu dan kebencian.
Sesaat sebelum Thadeus pergi, Putri Ana muncul dari balik pintu. Seketika, mata Dominict tertuju padanya. Putri Ana, yang baru saja masuk, tampak terkejut melihat Dominict sudah sadar dan duduk di sana.
"Dominict..."
"Ana... Kau!" Dominict, mendengus tajam.
"Kemari!" Panggil Dominict, terlihat raut wajahnya kesal di wajahnya.
Melihat Dominict yang kesal Putri Ana berjalan perlahan mendekatinya di tempat tidur.
tiba-tiba saja Dominict mencubit lengan Putri Ana saat ia dekat dengannya.
"Hei!! Sakit! Kenapa kau mencubit ku?!"
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku, hah?! dari pada ku membuatku senam jantung seperti ini! Kau pergi diam-diam ke luar istana lagi, kan?"
Putri Ana terdiam mendengarkan omelan Dominict. Meskipun kondisinya belum sepenuhnya pulih, Dominict masih cukup kuat untuk mengomelinya.
"Aku hanya pergi sebentar."
Dominict menatap tajam Putri Ana.
"Aku sudah katakan berapa kali padamu jangan pergi keluar istana tanpa seizin ku!" Kata, Dominict masih memasang wajah kesal.
"Maafkan aku."
Dominict tampak menghela nafas panjang terlihat ia frustrasi.
"Kalian semua bisa tinggalkan kami?" Ucap, Dominict meminta semua orang meninggalkan ruangan kecuali Putri Ana.
Setelah semua orang pergi, ruangan itu hanya menyisakan Putri Ana dan Dominict. Melihat penyesalan yang tergambar jelas di wajah Putri Ana, Dominict mulai melunak. Dengan lembut, ia memberi isyarat kepada Putri Ana untuk mendekat.
"Apa?"
"Kenapa kau tidak bunuh saja aku, dan berhenti membuatku khawatir?" Tiba-tiba, Dominict merangkul lembut pinggang ramping Putri Ana dengan tangan kirinya saat ia berdiri di dekatnya.
Dominict menatap Putri Ana dalam-dalam, seolah tak percaya bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup setelah pengalaman pahit yang hampir merenggut nyawanya di perbatasan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Putri Ana perlahan membenamkan wajahnya di bahu Dominict, membiarkan keheningan berbicara lebih dari kata-kata.
"kau itu... Selalu membuatku repot, selalu membuatku naik darah, kau bandel, dan keras kepala, dan membuat pekerjaanku semakin banyak saja! Rasanya mati lebih enak." Gumam, Dominict mengusap lembut punggung Putri Ana.
"Lalu kenapa kau tidak mati saja!" Kata Putri Ana masih membenamkan wajahnya di bahu Dominict.
"Jika aku mati, lalu siapa yang akan memarahi dan menasihatimu? Tugasku untuk menjagamu belum selesai..."
"Kau juga begitu... Selalu membuatku khawatir. Kau adalah Jenderal paling payah dan egois yang pernah aku kenal. Pemarah, keras kepala, dan selalu melarangku melakukan hal-hal yang aku suka." Putri Ana membalas hinaan Dominict dengan masih membenamkan wajah di bahu Dominict.
Di luar ruangan, Elara diam-diam mendengarkan percakapan antara Dominict dan Putri Ana. Rasa cemburunya semakin memuncak, tak lagi mampu ia bendung.
"Dasar wanita licik! Dia sudah memiliki Pangeran Benedict, tapi masih saja ingin merebut perhatian Jenderal Dominict," gerutu Elara dengan nada penuh amarah. Wajahnya tampak kesal sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi.
Bersambung.....
Pangeran Benedict juga ok 🫨 bingung