menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Malam semakin larut, tetapi aku masih duduk di halte dengan pikiran yang berkecamuk. Udara dingin semakin menusuk, namun semua itu tak bisa menandingi rasa takut yang terus menggerogoti hatiku. Di antara keheningan malam, suara bus yang melintas dan derap langkah orang yang lewat seolah berlalu begitu saja, tanpa arti.
Sambil menyeka air mata, aku terdiam, merasakan kekosongan yang menyesakkan. Harapan semakin menipis seiring berjalannya waktu. Waktu yang kurasakan seakan berjalan begitu lambat, namun tidak untuk ayahku; mungkin baginya, waktu berjalan terlalu cepat.
Di tengah keheningan malam, terdengar suara lembut dari arah sampingku. “Maaf, kamu baik-baik saja? Dari tadi aku perhatikan kamu terus menangis.”
Aku menoleh ke arah suara itu. Terlihat di sampingku seorang wanita muda, usianya sekitar 35 tahun, sama seperti ibuku. Wanita itu mengenakan celana jeans, kemeja panjang, dan kerudung abu-abu.
“Maaf... Aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa cerita. Siapa tahu aku bisa membantu,” tanyanya lagi, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng pelan. Namun, air mataku tak bisa diajak berbohong, membasahi pipiku. Perlahan, wanita itu duduk di sampingku, menatapku dengan pandangan penuh pengertian, seolah-olah dia tahu apa yang sedang aku rasakan.
Aku menarik napasku dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Ayahku... Dia butuh transfusi darah. Tapi... golongan darahnya sangat langka. Rumah sakit kehabisan persediaan. Aku... aku tidak tahu harus ke mana mencari orang yang rela mendonorkan darahnya,” jawabku dengan suara gemetar. “Aku hanya bisa berharap ada keajaiban.”
Wanita itu mendengarkan dengan sabar, matanya terus memancarkan kehangatan yang menenangkan. Lalu, dengan senyuman lembut, dia berkata, “Namaku Ridha. Hmm, kalau boleh tahu, golongan darah yang dibutuhkan ayahmu itu apa?”
Aku tertegun sejenak mendengar namanya. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara wanita itu berbicara, mengingatkanku pada ibuku. “Aku... Aku Nurra. Kata dokter, golongan darahnya AB negatif,” jawabku pelan, meski suaraku masih bergetar.
Mba Ridha mengangguk. “Nurra, aku tahu apa yang kamu rasakan. Kehilangan harapan saat orang yang kita cintai berjuang antara hidup dan mati itu sangat berat. Tapi terkadang, di saat-saat paling gelap, Tuhan mengirimkan bantuan dengan cara yang tak kita duga.”
Mba Ridha tersenyum lembut, memegang tanganku dengan lembut. “Kebetulan, golongan darahku sama seperti yang kamu sebutkan tadi. Kalau kamu berkenan, dengan senang hati aku akan mendonorkan darahku untuk ayahmu.”
Kata-kata itu membuatku membeku sejenak. Seakan waktu berhenti. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Beneran?” ucapku bergetar, antara haru dan kebingungan. Mataku yang tadinya dipenuhi air mata kini bersinar dengan sedikit harapan baru.
Ridha mengangguk, wajahnya penuh ketenangan. “Iya, aku siap membantumu kalau kamu mengizinkan.”
Aku tak bisa menahan lagi, air mataku kembali mengalir, kali ini bukan karena kesedihan atau ketakutan, melainkan rasa haru karena Tuhan mempertemukanku dengan seseorang yang akan menyelamatkan ayahku. Ku genggam tangannya dengan erat, merasa bahwa wanita di sampingku ini adalah malaikat yang dikirimkan untuk menyelamatkan ayahku. “Makasih, Bu. Terima kasih banyak. Nurra tidak tahu mesti berkata apa lagi,” suaraku serak, namun penuh rasa syukur yang mendalam.
Wanita itu tersenyum lembut. Dengan langkah penuh harapan, aku dan Bu Ridha berjalan menuju rumah sakit.
Akhirnya, keajaiban yang selama ini kutunggu datang juga. Tuhan seperti menurunkan malaikat-Nya dalam bentuk seseorang yang bersedia membantu keselamatan ayahku. Hatiku yang tadinya begitu gelap kini mulai diterangi oleh cahaya harapan, berkat kebaikan seorang ibu yang penuh kasih.
Sesampainya di rumah sakit, aku dan Bu Ridha langsung diantar menuju ruang donor. Langkah kami terasa berat, terlebih saat mendekati ruangan tempat ayahku dirawat. Bu Ridha, yang sejak awal tampak tenang, mulai menunjukkan raut wajah yang berbeda saat melihat ayahku dari balik jendela kaca ruang ICU. Ia melihat tubuh ayahku terbaring kaku dengan mesin-mesin yang terpasang di sekitarnya. Terlihat Bu Ridha bergumam seakan berkata sesuatu. Langkahnya terhenti, tatapannya begitu tajam, napasnya tersengal-sengal, dan matanya berkaca-kaca.
“Dasar bodoh...” suara samar yang kudengar dari mulut Bu Ridha. Aku menatapnya dengan penuh keheranan; perubahan sikapnya membuat otakku bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bu Ridha ini?
Aku melihat dengan jelas Bu Ridha memegang dadanya, mencoba menenangkan diri. Air matanya perlahan jatuh membasahi pipinya, dan wajahnya dipenuhi ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Bu, ibu kenapa?” tanyaku, melihat wanita yang baru saja memberiku harapan itu tiba-tiba tampak sangat terpukul.
Bu Ridha hanya diam saja, kemudian kembali melihat ke arah ayahku. Tatapannya terpaku pada tubuh ayahku yang terbaring lemah. “Gak apa-apa, Mba. Aku cuma merasa sedih melihat kondisinya seperti ini,” suaranya bergetar, dan air mata terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ridha berusaha menghapus air matanya. Dia kemudian memandangku dengan tatapan penuh pertanyaan. “Nurra... kalau boleh ibu tahu, siapa nama lengkapmu?”
Mendengar pertanyaan itu, aku pun terkejut. Tapi tanpa ragu, aku menjawab dengan tenang, “Namaku Ridha Nurrazahra, Bu.”
Mendengar jawabanku, seketika mata Bu Ridha membelalak, seolah nama itu menembus hatinya. Aku bisa melihat bagaimana wajahnya semakin berubah dari sekadar terkejut menjadi penuh emosi yang sulit diartikan. Tanpa berkata-kata, Bu Ridha tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu erat, penuh rasa sayang dan kehangatan yang membuatku seketika terharu.
Pelukannya membuat air mataku kembali mengalir. Aku merasakan sesuatu yang aneh dengan pelukan Bu Ridha. Seolah ada ikatan tak terlihat antara aku dengannya, sesuatu yang lebih dari sekadar kesamaan nama. Aku bisa merasakan detak jantung Ridha yang berdebar cepat di dadanya, dan suara napasnya yang sedikit tersengal karena terisak.
Tak lama, seorang perawat datang untuk mengantar Bu Ridha ke ruang donor. “Mari, Ibu, kami akan mulai proses pendonoran sekarang,” ujar perawat itu dengan lembut.
Ridha melepaskan pelukannya, menatap wajahku dengan tatapan penuh cinta. “Kamu gak usah khawatir lagi ya. Ayahmu akan baik-baik saja.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan, hati berdebar kencang. Proses pendonoran pun segera dimulai, dan Ridha masuk ke ruang donor dengan langkah yang tenang namun penuh keyakinan. Di luar ruangan, aku menunggu dengan harapan baru, kali ini dengan perasaan yang tak hanya dipenuhi oleh keajaiban, tetapi juga rasa syukur yang dalam.