Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANJI HANYALAH JANJI
Empat hari menjelang hari H, semua santri terlihat sibuk pagi ini untuk mempersiapkan acara yang hanya ada sekali setahun saja. Semuanya benar-benar dipersiapkan dengan matang, demi keberhasilan dan kesuksesan acara ini.
Santri putra dan para pembina asrama putra tengah sibuk membangun panggung yang tidak kecil tidak juga besar, mereka terlihat lihai melakukannya karena sudah terbiasa membuat panggung sendiri dari pada menyewa.
Kemudian didepan panggung yang hampir selesai itu, dengan beralaskan terpal besar terlihat sebagian santri putri sibuk membuat dekorasi untuk panggungnya seperti merangkai bunga dari kertas berbagai jenis itu dan masih banyak lagi.
Jika dilakukan dengan gotong royong seperti ini, semuanya akan terasa ringan dan tentunya pekerjaan itu akan semakin menyenangkan karena dibarengi dengan canda tawa satu sama lain.
“Bukan seperti itu Adira!”
“Lah! Aku salah lagi?”
“Iya, bukan begitu caranya. Kamu tinggal gulung-gulung ajah kertasnya tapi jangan sampai acak-acakan, nanti kalau sudah jadi kasih ke Ayyara.”
“Ckkk, mau digulung bagaimana lagi ini Aisha? Ini aku udah gulung sesuai sama arahan kamu, tapi tetap ajah tuh salah!”
“Kalau begitu kertas itu kasih ke Aruna, kamu ambil bagian Almaira dan Almaira bantu Aruna.”
“Dari tadi kek begitu, makanya kasih pekerjaan itu ya sesuai sama bidangnya masing-masing.”
“Jangan mengomel terus Adira, pindah tempat sana.”
“Iya Aishaaaa.”
Ya seperti itulah perdebatan antara Adira dan juga salah satu santri seangkatan mereka dan ketua kelas mereka Aisha namanya, ketua kelas yang super cerewet.
“Sabar istrinya ustadz Agra.”
Adira mendelik ke Ayyara yang baru saja berbisik. “Jangan keras-keras.”
“Hahah.” Ayyara hanya tertawa pelan. Kembali pada kegiatannya menggunting kertas hingga membentuk banyak bunga kertas.
“Punya ketua kelas kok, doyan sekali mengomel.” Lirih Adira. Namun rupanya Aisha memiliki ketajaman pendengaran.
“Aku dengar Adira.” Kata Aisha. Tidak menatap Adira karena saat ini fokus pada kegiatannya sendiri.
“Ya sabar.”
xxx
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing, padahal setelah shalat zduhur beberapa menit yang lalu dipergunakan untuk makan siang dan istirahat karena lelah dengan kegiatan pada pagi tadi. Namun, berbeda dengan istri ustadz muda itu.
Setelah shalat zduhur tadi, bukannya pulang kerumah untuk istirahat. Mereka berempat malah kembali dan duduk lesehan diatas terpal berwarna biru itu. Mengumpulkan kertas yang sudah tidak dibutuhkan lagi, membentuknya seperti bola kasti kecil.
“Nah sudah jadi, mau main sekarang kah?” Tanya Adira. Menatap binar pada karya mereka itu.
“Mainlah!” Jawab ketiganya dengan kompak. Membuat Adira mengangguk dengan semangat 45-Nya.
“Oke, aku sama Aruna. Dan Almaira bareng Ayyara, gimana?” Tanya Adira meminta pendapat ketiganya yang diangguki secara bersama tanda mereka sepakat.
“Sip, tiang polly di sana itu patokannya.” Ujar Ayyara. “Kita suit dulu, siapa yang main duluan.” Lanjutnya.
Adira mengode Aruna untuk suit dengan Ayyara, dia biasanya sangat payah dalam hal itu. “Maju gih.”
Puskesmas, hancur mas, gunung meletus… puskesmas, hancur mas, gunung meletus…,
“Yeeeeyyy! Kita main duluan.” Sorak Ayyara setelah berhasil mengalahkan suit kertas Aruna dan suitnya adalah gunting.
“Tenang cinta, ini hanya permainan.” Lirih Aruna. Diangguki oleh Adira.
Permainan dimulai, mereka bermain kasti walau hanya beranggotakan empat orang saja. Namun, itu bukan penghalang untuk mereka bermain.
“Pukul yang keras Mai!” Sorak Ayyara.
Almaira mengangguk, bersiap membuang bola kecil itu keudara lalu memukulnya dengan kepalan tangan kanannya. Sedangkan Adira dan Aruna bersiap berdiri tak jauh dari Almaira, mereka akan menangkap bola itu lalu melemparnya kembali hingga mengenai Almaira tentunya namun tidak menyakitkan kok.
“LARI MAI! LARI YANG KENCANG!”
“TANGKAP BOLANYA ARUNA!
Teriakan heboh itu tak mengundang perhatian santri lain karena posisi mereka itu jauh dari asrama dan juga kemungkinan mereka sudah biasa dengan tingkah laku Adira dkk jadi mereka bersikap biasa saja.
Aruna berhasil mengejar bolanya, namun saat berbalik hendak menyasar tubuh Almaira temannya itu sudah lebih dulu sampai ke patokan tiang polly. Almaira hanya butuh lari kembali pada posisi awal setelah Ayyara melempar bolanya.
“Giliran kamu.” Aruna melempar bola kearah Ayyara yang langsung ditangkap oleh Ayyara tentunya.
“Kali ini kita sasar Keduanya, tapi kalau bolahnya lebih dekat kearah salah satunya langsung lempar ajah.” Bisik Adira. Kali ini mereka tidak boleh kalah, karena permainan beberapa waktu lalu mereka kalah.
“Siap.” Jawab Aruna mantap.
“PUKUL BOLAHNYA YANG JAUH AYYARA!” Pekik Almaira. Dia sudah siap pada posisinya untuk berlari kencang.
“OKEY!”
Ayyara memukul bolah itu dengan keras, namun sepertinya keberuntungan tidak berpihak kepadannya. Didepannya dengan mudah Adira menangkap bola itu tanpa mengejar bolahnya terlebih dahulu padahal dia sudah mengeluarkan semua tenaganya untuk memukul jauh bolah itu.
“Aruna, jaga disebelah sana.” Titah Adira. Dibelakangnya ada Almaira yang bersiap lari kembali ke posisi Awal dan tepat didepannya ada Ayyara yang berjaga-jaga untuk tidak terkena bola kertas itu.
“Siap?”
Bersamaan dengan melayangnya bola kearah Ayyara, detik itu juga angina kencang menyusul bola kertas itu dengan kencang hingga bola yang dilempar Adira tidak mengenai sasaran dan Aruna juga menutup matanya karena debu yang masuk salah satu matanya.
Wuuusssss!
Bughhh
Aaakkhhhh
“Sss siapa yang melempar ku?”
Suara berat itu mengejutkan mereka berempat, tidak jauh dari tempat mereka berdiri di sana ada sosok salah seorang laki-laki tengah meringis dan mengusap bagian belakang kepalanya yang terasa lumayan sakit.
Mampus lah!
Tamatlah sudah!
Habislah!
Ampun lah!
Almaira segera menghampiri Adira dan menggandeng lengan kanan temannya itu, lalu Aruna juga ikut menggandeng lengan sebelah kiri Adira di susul Ayyara yang bersembunyi dibalik tubuh pendek Adira.
Adira menatap jengah ketiganya, bisa-bisanya dia dijadikan tameng disaat dia juga ingin mencari perlindungan.
“Kalian yang melempar bola ini?” Tanya suara rendah itu. Keempat santri putri itu mengangguk dengan kompak.
“Siapa yang menyuruh kalian bermain saat jam istirahat?” Tanyanya lagi.
“T-tidak ada ustadz.” Jawab Adira mewakili ketiga temannya.
“Lalu kenapa bermain?” Tanyanya lagi. Posisinya sudah ada tepat didepan para santri bandel itu.
Adira menatap Almaira dan Aruna secara bergantian, lalu dengan kompak mereka menggeleng pelan membuat helaan napas berat dari sosok yang mereka panggil ustadz itu.
“Sekarang, kalian bereskan semua sampah dilapangan ini. jangan ada yang pergi sebelum semuanya benar-benar bersih. Ini hukuman kalian.” Perintahnya dengan mutlak.
“Na’am ustadz!”
“Bagus, kerjakan sekarang. Setelah saya kembali dari kantor pesantren semuanya sudah bersih dan beres, kalian paham?”
“Paham ustadz!”
xxx
“Apes banget sih kita!”
Entah sudah yang keberapa kalinya kalimat itu terdengar dari seorang istri dari ustadz Abraham itu, bahkan ketiga temannya pun sudah lelah mendengar kalimat tersebut.
“Aruna, bantu Almaira disebelah sana.” Pinta Ayyara kepada Aruna. “Adira, pegang ujungnya yang disebelah sana.” Lanjutnya lagi.
“Oke!”
Ada Adira dan Ayyara yang berdiri disetiap sudut terpal itu, dan diarah berlawanan ada Aruna dan Almaira yang juga sudah siap dengan posisinya masing-masing.
“Kita lipat kearah kanan dulu.” Ujar Ayyara. Berjalan mendekat kearah Adira dengan tangan kanannya yang memegang erat ujung terpal itu, diikuti oleh Aruna yang berjalan kearah Almaira.
Mereka melipat terpal itu dengan rapi, lalu memindahkannya kepinggir lapangan agar tidak menghalangi jalan. Selanjutnya membuang sampah yang telah dikemas dalam plastic hitam besar, lalu membuangnya ditempat sampah didepan pondok pesantren setelahnya akan diangkut oleh petugas kebersihan.
Setelah semuanya beres, mereka kemudian berjalan kembali kearah lapangan itu untuk sekedar duduk diatas panggung yang hampir selesai itu. Menikmati semilir angin yang membuat mereka merasa sejuk walau matahari sedang terik-teriknya.
“Dihukum lagi kalian?”
Adira dkk menoleh kearah barat, di sana ada kiyai Aldan beserta salah satu santri putra yang bahkan mereka tidak tahu siapa. Dengan segera turun dari panggung itu, dan menghampiri sang kiyai.
“Assalamu’alaikum kiyai.”
Kiyai Aldan tersenyum tipis. “Wa’alaikum salam, kenapa tidak istirahat?” Tanyanya penuh nada perhatian.
“A-aammm kita habis dihukum kiyai, heheh.” Jawab Almaira pelan. Mewakili ketiga temannya.
“Benar kiyai.” Timpal Adira.
Kiyai Aldan hanya menggeleng pelan, bukankah sudah biasa? “Hukumannya sudah selesai?” Tanya kiyai Aldan lagi.
Mereka mengangguk kompak. “Alhamdulillah kiyai.”
“Bagus, jika sudah selesai kembalilah dan istirahat.”
xxx
Disalah satu bangunan yang menjulang tinggi di antara bangunan mega lainnya, terdapat satu bangunan mega yang juga berdiri kokoh dengan karyawannya yang tengah beraktivitas seperti biasanya.
“Jadi, apa anda akan tetap menerima kerja sama dengan mereka?” Tanya Darren sang sekertaris.
Agra melepaskan kacamatanya yang bertengger dihidungnya, lalu meletakkan diatas meja kaca itu. “Entahlah.”
Darren hanya mengangguk, mereka saat ini berada diruangan CEO milik Agra tentunya.
“Saya sedikit tidak percaya dengan mereka.” Lanjut Agra lagi. Kepalanya terasa berdenyut karena memikirkan pekerjaanya.
Agra melanjutkan perusahaan milik ayahnya, ia telah berhasil mengambil alih perusahaan ayahnya dengan posisi seorang CEO setelah sang ayah pension dari dunia bisnis. Ia telah memegang perusahaan ini sejak dirinya masih berstatus mahasiswa di Mesir.
“Apa anda ingin saya menyelidiki terlebih dahulu perusahaan mereka?” Tanya Darren. Mengerti dengan kekhawatiran sang CEO.
Agra menggeleng. “Tidak usah.” Katanya.
Darren bangkit dari kursinya. “Baiklah pak, kalau begitu saya permisi.”
“Hm.”
Dilain tempat.
Abraham tengah fokus pada proyek yang dikerjakannya.
Tok, tok, tok…,
“Ya, masuk.”
“Maaf pak menganggu waktunya, anda memiliki jadwal meeting dengan perusahaan AD Group sepuluh menit lagi.” Itu sekertarisnya.
Abraham hanya melihat sekilas Andre, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. “Batalkan.”
Andre mengaga tak percaya. “Lagi?”
“Ckkk, saya malas berurusan dengan mereka Andre. Jadi, batalkan saja.”
“Huufffttt, baiklah.”
tinggalkan jejak👣 kalian, terimakasih banyak ☺
semangat 💪👍