keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Isi kitabnya yang penting
Setelah kelas kosong dan semua temannya keluar, Aza berjalan perlahan menuju ruang ustad. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, campuran antara rasa cemas dan penasaran. Apa dia mau memberiku hukuman? Memang tega? Aku kan istrinya, batin Aza sedikit terselip rasa bangga pada dirinya saat mengatakan istri Gus Zidan.
Saat tiba di depan pintu ruang ustad, Aza mengambil napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu dengan ragu.
"Assalamualaikum , saya aza." ucap Aza ragu.
Suara Gus Zidan dari dalam segera terdengar, "Waalaikum salam, masuklah." sahutnya mempersilahkan masuk.
Aza pun membuka pintu perlahan dan melangkah masuk dengan hati-hati. Tampak ruang ustad sepi mungkin beberapa ustad sudah pulang atau masih di dalam kelas.
Gus Zidan duduk di balik meja, tampak tenang seperti biasa. Ia menatap Aza sejenak sebelum tersenyum kecil. "Silakan duduk, Aza."
Aza mengangguk pelan dan duduk di kursi yang ada di depan meja Gus Zidan. Ruangan itu terasa begitu sunyi, dan Aza merasa sedikit tidak nyaman.
"Mazaya Farha Kaina," panggil Gus Zidan seperti biasa dengan nama lengkap Aza, ia memulai pembicaraan, suaranya tenang namun tegas. "Kenapa kamu begitu menikmati tertidur di kelas saya? Apakah suara saya terdengar seperti dongeng sebelum tidur?"
Aza tersentak sedikit. Ahhh, aku pikir kenapa, rupanya cuma mau menanyakan hal itu, pikirnya lega, meskipun masih ada sedikit keraguan di benaknya. "Maaf, Gus. Saya... mungkin hanya kelelahan, jadi tertidur di kelas, Gus Zidan tahu kan kalau aku setiap hari harus menjalani hukuman," jawabnya dengan nada sedikit bersalah.
Gus Zidan mengangguk pelan sambil tersenyum. "Saya paham, mungkin ini juga butuh penyesuaian. Tapi saya ingin kamu berusaha lebih baik lagi. Bagaimanapun juga, ini bukan hanya soal hukuman, tapi juga tanggung jawab sebagai seorang santri dan... istri."
Aza menelan ludah, tersentak mendengar kata terakhir itu. Istri. Tentu saja, di mata santri lain, ia hanyalah santri biasa. Namun di hadapan Gus Zidan, statusnya berbeda. Memang apa hubungannya ?
"Aza," Gus Zidan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "saya tahu kamu butuh waktu untuk beradaptasi, tapi saya berharap kamu bisa lebih serius di kelas. Jangan sampai aku memperlakukanmu berbeda dengan santri lain."
Aza memutar bola matanya, Dia sebenarnya. ngancam atau memerintah sih ....
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Gus Zidan, "Nggak suka?"
Aza hanya mengangguk, tanpa merasa bersalah dengan situasi ini. Gus Zidan terdiam sambil menatap tajam pada Aza membuat Aza mendengus kesal,
"Saya mengerti, Gus. Maafkan saya," jawabnya dengan enteng tanpa beben.
Gus Zidan kembali fokus dengan catatan di depannya. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya sedikit lebih serius dibanding biasanya. Ia melirik ke arah Aza tanpa banyak bicara,
"Sampai halaman berapa tadi kamu pelajari kitabnya?" tanya Gus Zidan dengan suara tenang, namun nadanya penuh perhatian.
Aza dengan sedikit enggan membuka kitab kuningnya dan mulai membalik halaman-halamannya. Setelah beberapa detik, ia berhenti di halaman 15. "Sampai sini, Gus," jawab Aza sambil menunjuk halaman yang hanya terisi dengan beberapa tulisan arti basmallah. Setelah itu, halaman-halaman berikutnya kosong melompong tanpa catatan atau Mak'nanan sama sekali.
Gus Zidan melihat halaman itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia mengambil kitab Aza dari meja dan membukanya lebih dekat. Matanya menelusuri halaman yang kosong, dan kemudian ia menatap Aza dengan tatapan serius namun tidak sepenuhnya marah.
"Jadi, setelah basmallah, kamu langsung memilih tidur?" tanyanya dengan nada yang penuh sindiran halus, tapi tetap terkontrol.
Aza hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tersenyum kikuk, dan menjawab, "Ya... kurang lebih begitu, Gus."
Gus Zidan menarik napas panjang, lalu meletakkan kitab itu di meja. "Aza, kamu tahu ini bukan hanya soal mengisi arti atau sekedar menulis. Ini tentang tanggung jawabmu sebagai santri, Apa yang terjadi jika kamu terus begini?"
Aza merespons dengan santai, meskipun dalam hatinya ia merasa kesal. "Ya... Tadi kamu sudah mengatakannya, saya hanya terlalu mengantuk, Gus. Niatnya mau isi maknanya nanti malam."
Gus Zidan memandangnya, kali ini dengan sedikit senyum di sudut bibirnya, meskipun senyum itu terlihat seperti mencoba menahan rasa frustrasi. "Kamu tidak bisa selalu mengandalkan 'nanti malam' untuk menyelesaikan semuanya. Apalagi di sini, kamu harus disiplin dan bertanggung jawab. Saya tidak ingin kamu hanya menjadikan kitab ini sebagai alas kepala saat tidur."
Aza menundukkan kepalanya sedikit, tahu bahwa Gus Zidan benar-benar marah kali ini. Namun, ia tetap mencoba membela diri dengan gaya khasnya yang santai. "Ya, Gus... tapi kan kadang otak saya butuh istirahat juga."
Gus Zidan menggelengkan kepala sambil menahan tawa kecil. "Oke, saya paham kalau kamu lelah, tapi tolong Aza, lebih serius ya. Saya mau kamu mulai memperbaiki cara belajarmu. Jangan setengah-setengah, apalagi kalau sudah menyangkut pelajaran seperti ini."
Memang pelajaran apa tadi? batin Aza bertanya-tanya sambil melihat judul kitabnya. Uqudulujain: Karya Syekh Nawawi al-Bantani
"Memang apa isinya?" tanya Aza penasaran.
"Cari tahu di internet, atau tanya ustadzah." jawab Gus Zidan tidak berniat menjelaskannya.
Aza mengangguk patuh. "Baik, Gus. Saya akan tanya, kalau bagus, saya akan lebih serius mulai besok."
Setelah beberapa saat, suasana kembali terasa lebih santai. Gus Zidan, meskipun tegas, tampaknya memahami betul bagaimana menghadapi Aza tanpa membuatnya merasa terlalu tertekan.
"Baiklah, kamu boleh kembali sekarang," katanya akhirnya. "Tapi ingat, besok saya akan periksa lagi kitabnya, jadi pastikan halaman itu tidak kosong lagi."
Aza tersenyum dan mengangguk, merasa lega karena pembicaraan ini tidak seberat yang ia bayangkan. Saat Aza sudah bersiap untuk pergi, tiba-tiba Gus Zidan menahan tangannya. Aza tertegun, menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung.
"Ada apa?"
"Sepertinya ada yang lupa," ucap Gus Zidan sambil tetap menggenggam lembut tangannya.
"Enggak tuh, aku nggak merasa kelupaan."
"Ada." Gus Zidan tetap dengan pendiriannya.
"Serius, ini kitab ku, ini pulpenku." ucap Aza sambil menunjukkan dua benda itu.
Gus Zidan menghela nafas, ia sepertinya harus menjelaskan secara detail, "Kita kan suami istri, meski di pesantren, harus ada adab yang benar saat berpamitan."
Aza mengerutkan kening, merasa aneh dengan permintaan itu. "Maksud Gus... pamit yang sopan gimana?" tanyanya, masih belum mengerti maksudnya. "Oh aku tahu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabnya, "Tapi itu masih kurang sopan."
"Bagaimana sih?" tanya Aza semakin bingung.
Gus Zidan hanya tersenyum kecil, lalu mendekat dengan perlahan. "Saya kasih petunjuk," katanya dengan nada lembut, sembari mendekatkan wajahnya ke kening Aza, seakan hendak mencium keningnya sebagai bentuk kasih sayang.
Namun, sebelum Gus Zidan sempat menyentuh keningnya, Aza dengan cepat mendorong tubuhnya menjauh, kedua matanya langsung melirik ke sekeliling dengan panik. "Gus! Apa-apaan sih? Nanti ada yang lihat!" bisiknya dengan nada sedikit panik. Ia memastikan tidak ada siapa pun di sekitar mereka yang mengawasi. Rasa malu dan khawatir membuncah di dalam dadanya.
Gus Zidan tertawa kecil melihat reaksi Aza. "Kenapa? Kan nggak ada yang lihat. Lagipula, ini kan cuma pamit," katanya dengan nada menggoda, meski matanya menunjukkan bahwa ia sebenarnya hanya bercanda.
Aza mendengus kesal. "Tetap aja! Ini pesantren, Gus! Kalau ada yang lihat, bisa heboh seisi pesantren," sahutnya cepat. Wajahnya memerah, entah karena malu atau jengkel.
Gus Zidan hanya tersenyum penuh arti, lalu melepas genggaman tangannya. "Baiklah, saya bercanda saja. Tapi ingat, jangan lupa pamit yang benar lain kali, ya," katanya dengan nada setengah bercanda.
Aza mendengus lagi, Gus Zidan tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Aza. “Ya sudah, kalau nggak mau dicium keningnya, minimal salaman dong. Cium punggung tangan suami, kan itu adab yang baik,” katanya lembut, tapi Aza bisa melihat tatapan menggoda di matanya.
Aza langsung membantah, meski wajahnya mulai memerah. “Gus! Kita nggak boleh begitu di sini! Kita bukan mahram,” katanya dengan tegas, namun sedikit gugup. Aza sangat khawatir jika ada yang mendengar atau melihat interaksi mereka.
Gus Zidan mendengus pelan, kemudian mengangkat alisnya, setengah tak percaya dengan bantahan Aza. “Sejak kapan suami istri bukan mahram, Aza? Kamu lupa, ya, kalau kita udah menikah?” katanya dengan nada sedikit jahil.
Aza merasa jantungnya berdebar semakin kencang. “Iya, tapi bukan di sini, Gus! Di pesantren ini semua santri nggak boleh tahu soal itu. Kalau ada yang dengar, bisa heboh,” katanya dengan nada setengah berbisik, tatapannya terus menyapu sekitar ruangan, memastikan tidak ada orang yang mendekat.
Gus Zidan tertawa pelan. “Jadi kamu lebih takut mereka tahu soal pernikahan kita daripada takut nggak menghormati suami?” godanya, sambil melipat tangannya di dada.
Aza mendengus frustrasi. “Ya ampun, Gus... Ini serius. Aku nggak mau status kita ketahuan di sini. Kamu tahu kan, apa yang bakal terjadi kalau mereka tahu?”
Gus Zidan mengangguk, tapi senyum di wajahnya tak hilang. “Baiklah, baiklah. Saya ngerti. Tapi, ingat, kita kan tetap suami istri, Aza. Nggak ada yang bisa ubah itu. Jadi salaman atau sekadar berpamitan dengan sopan,” ujarnya, kali ini dengan nada lebih lembut.
Aza hanya menghela napas panjang, cemas sekaligus lega. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangguk, lalu meraih tangan Gus Zidan cepat dan mencium punggung tanganya dengan cepat pula, setelah mengucap salam, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Tapi di dalam hatinya, rasa canggung dan geli masih membekas. Meski ia berusaha terlihat santai, jantungnya berdegup lebih cepat, ia juga merasa sedikit panas di wajahnya karena perbincangan barusan. Dia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi sekacau ini, di mana status pernikahannya harus ia sembunyikan dengan hati-hati.
Bersambung
Happy reading
sebaiknya praktikan walau beda usahanya,kepercayaan kunci utamanya ...ya kan?
Nafis ga jadi sama ustadz Zaki malah jadi istri kedua
ning chusna otw jadi janda korban poligami suami nya
imah gamon 🤣🤣
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....