Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Pak Hartono
Winarsih masih sedikit menunduk beberapa lama saat Dean pergi meninggalkan mereka dengan mengomel. Saat suara sandal pria itu telah benar-benar hilang, Tina cepat-cepat mengangkat wajahnya dan mengembalikan mimik wajah awalnya tadi.
Saat Dean berada di bawah gawang pintu penghubung dapur itu menghardik dan mengomeli mereka tadi, wajah Tina terlihat paling memelas. Dan siapa sangka ketika Dean telah pergi wajah wanita setengah baya itu kembali tengil.
"Sudah, abaikan aja. Pak Dean memang seperti itu. Jarang akur dengan bapaknya. Kalau mereka sudah ribut, sasaran pak Dean ya kita semua." Tina bangkit dari duduknya dan segera membongkar semua isi belanjaan yang tadinya tergeletak begitu saja di lantai.
"Cepat buatkan teh bunganya, Win," pinta Mbah dengan lembut namun tegas menyadarkan Winarsih yang masih menerawang ke tempat di mana Dean berdiri tadi.
Ah, ternyata benar kata Pak Dean. Dia terlalu banyak melamun seperti orang tolol yang mengesalkan. Meski hatinya terasa pedih karena tak pernah menerima ucapan begitu kasar dari orang lain, Winarsih berusaha mengabaikannya. Dengan perlahan dan hati-hati Winarsih membuat teh bunga kesukaan Pak Hartono seperti yang diajarkan Mbah.
"Sudah selesai, Mbah. Ini teh bunganya Pak Hartono. Winar taruh di mana? Atau Mbak Tina saja yang antarkan ke depan?" tanya Winarsih pada Mbah sambil berdiri memegang sebuah teko dan dua cangkir keramik yang berada di atas nampan. Dia berharap Mbah tidak memintanya mengantar teh itu.
"Kamu saja yang antar. Biasa Pak Hartono masih duduk di kursi teras yang mengarah ke kolam renang. Harus kamu yang antar, jangan Tina. Biar Pak Dean melihat kamu juga sudah bekerja dengan benar di sini," ujar Mbah sambil melanjutkan pekerjaannya memetik tauge.
"Baik, Mbah," jawab Winarsih.
Tangannya terasa berkeringat saat jemarinya menggenggam tepi nampan. Padahal Winarsih tak pernah merasa gugup jika harus bertemu dengan siapa pun.
Kali ini jantungnya berdebar. Takut kalau-kalau anak majikannya masih kesal jika melihatnya yang mengantarkan teh itu.
Winarsih berjalan memasuki ruang makan dan langsung menuju pintu raksasa yang terletak di sisi kanan. Setelah melewati pintu, Winarsih melihat sepasang kursi terletak di teras samping yang mengarah ke kolam renang.
Pak Hartono dan Dean tampak sedang berbicara dengan sangat serius. Perlahan Winarsih berjalan pelan mendekati Pak Hartono yang duduk di sisi kanan.
Sebenarnya dia lebih dekat jika menaruh nampan teh itu dari sisi kiri, dekat dengan Dean karena dia tak perlu berjalan memutar.
Tapi lututnya terasa semakin lemas jika harus berjongkok di dekat kaki pria itu. Winarsih khawatir dirinya malah bisa mengacaukan seluruh isi nampan.
Saat tiba di sebelah kanan Pak Hartono, Winarsih berlutut persis di antara bapak-anak itu. Pak Hartono menghentikan pembicaraannya dan mengamati Winarsih.
"Kamu pegawai baru ya?" tanya Pak Hartono.
"Iya, Pak." Winarsih mengangguk pelan melihat ke arah Pak Hartono sekilas kemudian kembali menunduk mengatur letak cangkir teh di sisi kanan Dean.
"Sudah berapa lama?" tanya Pak Hartono lagi.
"Baru dua mingguan, Pa. Soal begini aja dibahas banget," ucap Dean.
"Papa, kan, tidak bertanya ke kamu," balas Pak Hartono datar.
"Kamu asalnya dari mana?" sambung Pak Hartono lagi. Dean mengibas-ibaskan koran yang berada di tangannya menunjukkan ekspresi bosan.
Winarsih telah bangkit berdiri di depan Pak Hartono dan Dean dengan kedua tangan memegang tepi nampan di depan perut.
"Saya dari Jambi, Pak," jawab Winarsih cepat. Rasanya ia tak ingin berdiri di sana lebih lama dan Pak Hartono terus menanyainya macam-macam. Wajah Dean menunjukkan ekspresi muak dan tak peduli dengan keberadaan seorang pembantu sepertinya.
"Daerah penghasil kayu manis terbesar di Indonesia," ucap Pak Hartono.
"Benar, Pak. Kabupaten Kerinci. Daerah penghasil kayu manis nomor satu di Indonesia. Setelahnya ada Sumatera Barat dan Yogyakarta," jawab Winarsih dengan mata berbinar.
Pak Hartono menyebut tentang kayu manis saat berbicara dengannya. Winarsih seketika teringat akan Yanto.
"Wah, ternyata kamu tahu soal itu. Orang tua kamu petani kayu manis di Jambi?" Pak Hartono tampaknya mulai tertarik dengan pembicaraan antara dirinya dan Winarsih.
"Bukan, Pak. Ayah saya sudah meninggal empat tahun yang lalu. Ibu saya sekarang cuma buruh tani saja. Adik saya yang menerima upahan membersihkan kayu manis di rumah," jelas Winarsih dengan tangan yang tak begitu ketat lagi menggenggam tepi nampan.
"Umur berapa adik kamu? Apa di kampungmu tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari itu?" Pak Hartono yang memang gemar bercakap-cakap dengan pegawainya, sekarang sedang mewawancarai Winarsih.
"Itu sudah pekerjaan paling baik untuk Yanto, Pak. Adik saya itu penderita down syndrome," ungkap Winarsih.
"Oh, Maaf," sahut Pak Hartono. Winarsih tersenyum menjawab perkataan Pak Hartono barusan.
"Kalau kamu dari Jambi, berarti kamu jago dong masak gulai tepek ikan?" tanya Pak Hartono antusias.
"Bisa, Pak. Nanti kalau Bapak mau, saya buatkan untuk makan siang ini, jelas Winarsih riang. Tubuhnya sudah tidak terasa sangat kaku lagi seperti saat dia memegang nampan penuh dengan teh dan air panas tadi.
"Iya. Saya mau...saya mau." Pak Hartono terkekeh-kekeh bahagia.
"Udahlah, Pa. Dean duduk di sini bukan untuk dengerin kisah hidup pembantu ini. Dean sibuk," seru Dean pada ayahnya.
"Sibuk apa kamu?! Sibuk kerja? Atau sibuk pacaran dengan marketing showroom mobil itu?" emosi Pak Hartono pada Dean.
"Tunangan, Pa. Disty itu tunangan Dean," balas Dean.
"Terserah kamu nyebutnya apa. Toh, kamu dan mama kamu terlalu sibuk dengan urusan pribadi kalian masing-masing. Diminta datang ke Kalimantan karena papa ada keperluan dengan kamu, alasan kamu sibuk!" emosi Pak Hartono.
Winarsih berdiri mematung mendengar bentakan Pak Hartono kepada Dean. Wanita itu merasa serba salah. Jika dirinya langsung pamit, dia merasa tak enak karena tadinya Pak Hartono sedang berbicara dengannya.
Namun jika dia terus berada di sana, dia akan menyaksikan pertengkaran majikannya. Winarsih menyadari hal baru, bahwa menjadi pembantu rumah tangga tidak semudah yang terlihat.
Kaki Winarsih mundur selangkah, Pak Hartono yang menyadari langsung kembali menoleh ke arahnya.
"Kamu jangan pergi dulu, saya belum selesai bicara," pinta Pak Hartono. Winarsih mengangguk.
"Dean nggak bisa ke Kalimantan karena memang sibuk, Pa. Ada rapat dengan klien dari perusahaan migas. Bukan karena Disty." Dean kembali berkata pelan kepada ayahnya.
"Papa tidak merasa telah merestui hubungan kamu dengan dia. Jangan sebut dia sebagai tunanganmu di depan papa," ucap Pak Hartono datar.
"Kenapa Pa?" suara Dean meninggi.
"Ada alasan yang lebih baik kamu tidak usah tahu. Demi kamu, dan demi nama baik dia. Lebih baik Papa punya menantu seperti dia dari pada pacarmu itu!" sindir Pak Hartono menunjuk ke arah Winarsih dengan anggukan kepala dan pandangannya.
Winarsih semakin gelisah di tempatnya berdiri. Kaki kanannya semakin merapat dan ibu jari kaki kanannya telah mengusap jari-jemarinya di kaki kiri.
Meski menunduk, Winarsih bisa merasakan kalau Dean menatapnya tajam.
Dia tak bisa berada di sana lebih lama lagi, pikirnya. Saat mengangkat kepala hendak berpamitan kepada Pak Hartono, Winarsih bertemu pandang dengan Dean.
"Seneng kamu dengernya? Cepat pergi sana!" bentak Dean.
Tak perlu diperintah dua kali, Winarsih pergi berlalu dari hadapan Pak Hartono dan Dean.
Matanya sudah terasa panas. Jika tak segera pergi dari sana, Dean pasti akan memakinya karena menangis.
To Be Continued