Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa dengan Vanessa
Happy reading guys :)
•••
Warna langit perlahan-lahan mulai berubah menjadi biru tua, matahari telah turun untuk mengistirahatkan tubuhnya, membuat sang angkasa menjadi sangat gelap gulita. Namun, itu tidak berselang lama, hanya perlu menunggu waktu beberapa menit saja, kini bulan dan ribuan bintang hadir untuk menggantikan sang surya menyinari dunia.
Ruangan-ruangan di SMA Bima Sakti telah berubah menjadi gelap, hanya ada beberapa cahaya dari lampu koridor yang memasuki ventilasi udara. Akan tetapi, itu tidak berlaku di salah satu ruangan kelas, karena saat ini ruangan itu terlihat sangat terang benderang.
Di dalam ruangan kelas itu, terlihat Angelina, Karina, dan Vanessa yang sedang sibuk dengan dua buah kertas karton di atas meja.
Ketiga gadis itu dengan telaten menulis, menggunting, dan menempel beberapa potong kertas karton, ke kertas karton satunya.
Vanessa berhenti menulis, menaruh pulpen yang sedang dirinya pegang di atas meja. “Ngel, Kar, aku izin ke toilet sebentar, ya.”
Mendengar Vanessa meminta izin kepada mereka, membuat Angelina dan Karina sontak menoleh ke arah gadis itu.
“Gue anter, ya?” tanya Angelina.
Vanessa menggelengkan kepala. “Nggak usah, Ngel.”
“Lu yakin, Vee? Ini udah malam, loh, gue takut lu kenapa-napa.” Karina menatap khawatir ke arah Vanessa.
Vanessa tersenyum simpul saat melihat raut wajah khawatir Karina. “Aku gak papa, Kar. Lagian toiletnya deket, loh, gak jauh.”
“Tapi, tetep aja, Vee. Biar gue atau Angel anter aja, ya,” tawar Karina, menggenggam tangan kanan Vanessa.
“Bener kata Karin, Van. Lebih aman kalo lu kita berdua antar,” sahut Angelina, perasaannya tiba-tiba sedikit gelisah saat Vanessa ingin pergi ke toilet sendiri.
Vanessa melepas genggaman tangan Karina, melihat kedua sahabatnya secara bergantian dengan menunjukkan sebuah senyuman manis. “Aku gak papa, Ngel, Kar. Lagian, kalo kalian berdua nganterin aku, nanti kerja kelompok kita gak selesai-selesai, loh.”
Karina mengembuskan napas panjang, sebenarnya ia masih belum rela membiarkan sang sahabat pergi ke toilet sendirian. Namun, saat melihat raut wajah Vanessa yang penuh keyakinan, membuat dirinya sedikit menjadi luluh.
“Ya, udah, kalo lu maunya gitu, tapi lu ke toiletnya bawa handphone, ya, dan kalo ada apa-apa langsung kabarin gue atau Angel, oke?” ujar Karina, menatap lekat wajah Vanessa.
Vanessa mengangguk, lalu mengambil handphone miliknya dari atas meja dan menunjukkannya kepada Karina. “Iya, Kar. Ini handphone-nya aku bawa.”
“Van, hati-hati, ya,” pinta Angelina, perasaannya semakin tidak enak.
“Iya, Ngel. Ya, udah, aku ke toilet dulu, ya.” Vanessa bangun dari tempat duduk, kemudian berjalan menuju pintu kelas yang sedang dalam keadaan tertutup.
Setelah kepergian Vanessa, Angelina dan Karina masih diam, tidak melanjutkan kerja kelompok yang sedari tadi mereka kerjakan.
Kedua gadis itu merasakan hal yang sama, perasaan mereka benar-benar sangat tidak enak saat membiarkan Vanessa pergi ke toilet sendirian.
Satu menit telah berlalu, Karina kembali mengembuskan napas panjang, berusaha berpikir positif agar sesuatu yang sedang menghantui pikirannya tidak akan menimpa Vanessa.
Karina mengambil gunting dan kertas karton yang telah ditulis oleh Vanessa, mulai mengerjakan kembali pekerjaan yang tadi sempat tertunda.
“Kar,” panggil Angelina, kedua matanya melihat ke arah pintu kelas.
Karina hanya berdeham sebagai jawaban, masih fokus menggunting kertas karton yang telah dirinya ambil.
“Kita susul Vanessa, yuk,” ajak Angelina, seraya menggigit bibir bawah.
Karina sontak menghentikan aktivasi mengguntingnya saat mendengar ajakan dari Angelina. Ia mengangkat kepala, menatap wajah cantik milik sang sahabat.
“Perasaan lu juga gak enak, Ngel?” tanya Karina.
Angelina mengangguk, mengalihkan pandangan ke arah Karina. “Iya, Kar. Ayo, kita susul Vanessa.”
Karina menaruh gunting dan kertas karton di atas meja, menggenggam tangan kanan Angelina untuk menenangkan sang sahabat yang sudah terlihat sangat khawatir.
“Ngel, tenangin diri lu, jangan mikirin macam-macam, lu harus percaya kalo Vanessa akan baik-baik aja. Ingat, pikiran negatif kita bisa ngebuat hal yang gak akan terjadi malah terjadi,” ujar Karina, mengelus pelan punggung tangan Angelina.
Angelina menatap lekat mata Karina, lalu mengangguk pelan. Ia perlahan-lahan mulai menutup mata, mengembuskan napas beberapa kali, berusaha menenangkan diri dan kembali berpikir positif.
Beberapa menit telah berlalu, Angelina akhirnya perlahan-lahan mulai membuka mata saat tubuh dan pikiran gadis itu sudah sedikiti lebih tenang.
“Udah enakan?” tanya Karina, masih terus mengelus punggung tangan kanan Angelina.
Angelina mengangguk, lalu bangun dari tempat duduk. “Udah sedikit mendingan, tapi, Kar. Ayo, kita sekarang nyusulin Vanessa.”
“Ayo.” Karina ikut bangun dari tempat duduk, sejujurnya sedari tadi dirinya memang ingin segera menyusul Vanessa. Namun, ia memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu agar hal-hal yang tidak diinginkan, tidak terjadi.
Angelina dan Karina saling menggenggam tangan, berjalan keluar dari ruangan kelas. Kedua gadis itu menyusuri koridor sekolah, menuju sebuah toilet yang terletak tidak jauh dari kelas mereka.
Sesampainya di dalam toilet, Angelina dan Karina mengerutkan kening, melihat suasana yang sangat sunyi, bahkan ada satu pun orang selain mereka di sini.
“Kar, Vanessa ke toilet ini, kan?” tanya Angelina, melihat satu per satu cubicle yang dalam keadaan tertutup.
“Harusnya iya, Ngel. Tapi, kenapa toilet ini sepi banget, ya,” jawab dan tanya balik Karina, ikut melihat satu per satu cubicle toilet.
Angelina melepaskan genggaman pada tangan Karina, berjalan mendekati beberapa cubicle toilet, lalu mengetukkan satu per satu. “Van, Vanessa, lu ada di dalam?”
Tidak ada jawaban dari dalam semua cubicle toilet, membuat perasaan Angelina kembali tidak enak.
“Ngel, Vanessa gak ada di sini. Ayo, kita cari ke toilet yang lain,” ajak Karina, menepuk pelan pundak Angelina dari belakang.
Angelina menoleh ke arah belakang, air mata perlahan-lahan mulai turun membasahi pipinya. “Kar, Vanessa baik-baik aja, kan?”
“Hei, jangan nangis. Vanessa pasti baik-baik aja, kok,” jawab Karina, menghapus air mata yang membasahi pipi Angelina, “Ayo, kita cari Vanessa lagi.”
Angelina mengangguk, menghapus sisa-sisa air mata di bagian kelopak bawah. Ia menggenggam tangan kanan Karina, lalu berjalan keluar dari dalam toilet itu.
Kedua gadis itu kembali menyusuri koridor, berjalan menuju beberapa toilet yang ada di dalam gedung sekolah. Saat sedang sibuk berjalan, Angelina dan Karina sontak dibuat berhenti kala mendengar panggilan dari seorang gadis yang sangat mereka kenali.
Angelina dan Karina menoleh ke arah belakang, melihat gadis yang telah memanggil nama mereka.
“Kak Renata,” kata Angelina, melihat Renata sedang berjalan ke arah dirinya dan Karina.
“Selamat malam, Ngel, Kar. Kalian berdua belum pulang?” tanya Renata, saat dirinya telah berada di dekat kedua adik kelasnya.
Angelina menggelengkan kepala. “Belum, Kak. Kakak sendiri kenapa belum pulang?”
“Ini, habis selesai ngehitung total pengeluaran buat kegiatan sekolah yang akan datang,” jawab Renata, seraya menunjukkan beberapa map dokumen yang sedang dirinya bawa, “Oh, iya, gue lihat kalian berdua tadi lagi buru-buru banget, lagi ada apa?”
“Anu, Kak. Lu ada lihat Vanessa gak? Tadi dia izin ke toilet, terus waktu gue sama Karin samperin ke toilet, dianya gak ada.” Angelina mengeratkan genggaman pada tangan kanan Karina.
Renata sontak mengerutkan kening saat mendengar perkataan dari Angelina. “Gue gak ada lihat dia, Ngel, Kar.”
Angelina mengigit bibir bawah, tubuhnya perlahan-lahan mulai bergetar, bayang-bayang negatif akan keadaan Vanessa sekarang sudah memenuhi kepalanya.
Karina mengelus lembut punggung Angelina saat merasakan getaran pada tubuh sang sahabat. “Ngel, tenangin diri lu, gue yakin Vanessa pasti baik-baik aja.”
Angelina menatap wajah Karina. “Gak bisa, Kar. Pikiran negatif terus masuk ke otak gue. Gue yakin lu juga ngalamin hal yang sama, kan?”
“Iya, gue tau, Ngel. Tapi, kalo lu panik gini, keadaan bisa semakin runyam. Dan jujur, gue emang sama kayak lu, tapi sebisa mungkin gue lawan pikiran negatif itu,” jelas Karina, masih setia mengelus punggung Angelina.
Melihat dan mendengar interaksi antara kedua adik kelasnya itu, membuat perasaan Renata perlahan-lahan juga ikut tidak enak.
“Ngel, Kar. Ayo, kita cari Vanessa sama-sama,” ajak Renata.
Angelina dan Karina yang mendengar itu sontak menatap ke arah Renata. Mereka berdua lalu mengangguk sebagai jawaban.
Ketiga gadis itu berjalan beriringan, menuju beberapa toilet yang ada di dalam gedung sekolah.
Sepanjang perjalanan, Karina juga menjelaskan kejadian sebelum Vanessa pergi ke toilet kepada Renata. Sedangkan Angelina, ia diam, hanya berfokus untuk mencari keberadaan sang sahabat.
Dua puluh menit berlalu, Angelina, Karina, dan Renata telah mengecek semua toilet. Namun, mereka bertiga tidak juga menemukan tanda-tanda keberadaan dari Vanessa.
Beberapa kali Angelina dan Karina juga berusaha menghubungi handphone milik Vanessa, tetapi tidak ada jawaban yang diberikan oleh gadis itu.
“Kak, Kar, Vanessa juga gak ada di sini,” kata Angelina, menyandarkan tubuhnya yang sudah lemas di dinding toilet terakhir.
Karina diam, tidak merespons perkataan Angelina. Pikirannya saat ini juga sudah mulai ke mana-mana, berbagai delusi negatif tentang keadaan Vanessa memenuhi kepalanya.
Kedua tangan Karina mengepal sempurna, menggigit bibir bawah dengan cukup kuat, merutuki kebodohan yang telah ia lakukan karena membiarkan Vanessa pergi sendirian.
Melihat kedua adik kelasnya yang sudah sangat frustrasi dan panik, membuat Renata sontak menepuk pelan pundak kedua gadis itu, berusaha memberikan sedikit semangat agar mereka bertiga tidak menyerah dalam mencari keberadaan Vanessa.
“Ngel, Kar, jangan nyerah, kita cari Vanessa lagi, gue yakin dia baik-baik aja, kok.”
“Mau nyari ke mana lagi, Kak? Semua toilet udah kita datangi, dan Vanessa gak ada di sana.” Air mata Angelina mulai jatuh membasahi kedua pipinya.
Renata diam sejenak, memikirkan cara agar mereka bertiga dapat menemukan keberadaan Vanessa. “Kita mencar, kita cari Vanessa di semua ruangan yang ada di sekolah ini, gimana? Kalian setuju gak?”
Angelina menghapus air mata yang masih mengalir, mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Renata. Sedangkan Karina, gadis itu masih diam, berbagai delusi negatif membuat dirinya terjebak di alam khayalan.
“Kar. Ayo, kita cari Vanessa lagi.” Renata menepuk pelan pipi kanan Karina, berusaha membuat gadis itu kembali tersadar.
Merasakan tepukan di bagian pipinya, Karina sontak terperanjat. Ia menoleh, menatap wajah Renata dengan sangat linglung. “Kenapa, Kak?”
“Ayo, kita cari Vanessa lagi,” ajak Renata.
Karina diam sejenak, kepalanya tiba-tiba saja terasa sangat pusing. Namun, ia berusaha susah payah untuk melawan rasa sakit itu, lalu mengangguk sebagai jawaban atas ajakan Renata.
Ketiga gadis itu keluar dari dalam toilet, mulai membagi rute sebelum akhirnya memutuskan untuk berpencar.
Angelina mencari di bagian kelas dua, Karina mencari di bagian kelas satu, dan Renata mencari di bagian kelas tiga.
Angelina berjalan menyusuri koridor, membuka satu per satu pintu kelas yang tidak terkunci, mulai menyalakan lampu, mencari keberadaan sang sahabat yang sedari tadi belum juga ketemu.
“Vanessa juga belum balik ke sini,” gumam Angelina, melihat keadaan kelasnya yang sepi. Bahkan, tugas kelompok yang tadi sedang mereka kerjakan masih berada di tempat semula.
Hembusan napas panjang terdengar, tangan kanan Angelina memegangi dada kiri yang perlahan-lahan berubah menjadi sakit. Air mata kembali turun, berbagai macam delusi negatif kembali menghantui pikirannya.
Angelina menjauhkan tangan dari dada. Suara tamparan terdengar sangat keras, membuat kedua pipi gadis itu merasakan panas dan nyeri. “Fokus, Ngel, Fokus. Lu harus nemuin Vanessa secepat mungkin.”
Kedua kaki Angelina kembali melangkah, membuka satu per satu kelas yang belum dirinya hampiri.
“Vanessa juga gak ada di sini.” Angelina menutup pintu kelas terakhir, menyandarkan tubuhnya di pintu tersebut. “Van, lu ke mana? Lu baik-baik aja, kan?”
Kedua mata Angelina perlahan-lahan mulai menutup. Namun, kembali terbuka saat dirinya mengingat akan sesuatu.
“Masih ada satu ruangan yang belum gue cek,” gumam Angelina, menoleh ke arah kanan, melihat sebuah ruangan yang terpisah dari kelas.
Angelina dengan cepat berlari menuju ruangan itu. Ia membuka pintu, dan menyalakan lampu.
Keadaan di dalam ruangan sangat berantakan, banyak debu yang menutupi seluruh barang, suara cicak dan tikus saling bersahutan, membuat Angelina sedikit enggan untuk memasuki ruangan itu. Akan tetapi, ia harus masuk, karena bagian dalam tidak dapat dirinya lihat dari ambang pintu.
Angelina perlahan-lahan mulai memasuki ruangan, melihat beberapa sudut yang terdengar suara tikus saling bersahutan.
Sesampainya di tengah ruangan, kedua mata Angelina sontak melebar, tubuhnya mula bergetar, air mata kembali turun membasahi pipi.
“Vanessa!”
To be continued :)
sering sering bikin novel kek gini ya thor😁😁