NovelToon NovelToon
Between Hate And Love

Between Hate And Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta
Popularitas:19.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lucky One

Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.

Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejujuran yang pahit

Dalam perjalanan menuju tempat les, pikiran Dira tak bisa lepas dari kekhawatirannya soal Vanya. Sesekali, ia melirik Levin yang tenang mengendarai mobil di sebelahnya. Sambil menggigit bibir, Dira akhirnya memutuskan untuk berbicara.

“Levin... gue mau ngomong sesuatu,” ucapnya pelan, penuh keraguan.

Levin, yang masih fokus mengemudi, mengerutkan kening. “Mau ngomong apa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

Dira menelan ludah, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Ini tentang Vanya,” jawabnya, suaranya sedikit gemetar.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Levin menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia memalingkan wajahnya ke arah Dira, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Vanya? Ada apa dengan Vanya?” tanyanya serius, membuat Dira semakin gugup.

“Munduran dikit dong mukanya...” ujar Dira, berusaha meredakan ketegangannya di tengah tatapan Levin yang menusuk.

“Yaudah, kenapa sama Vanya?” Levin bertanya lagi, kali ini dengan nada semakin penasaran.

Dira menggigit bibirnya, masih ragu untuk mengatakan semuanya. “Tapi lo janji, lo jangan marah sama Vanya,” ujarnya, setengah berharap Levin akan menerima apa pun yang akan dia katakan tanpa kemarahan.

Levin menghela napas, jelas mulai kesal dengan ketidakjelasan Dira. “Bentar, ini ada masalah apa sih? Kenapa sama Vanya? Lo nyembunyiin apa tentang dia?” cecarnya, suaranya kini terdengar lebih mendesak.

Dira menarik napas panjang, tahu dia tak bisa lagi menyembunyikan ini. “Oke... gue ceritain dari awal.” Dan dengan suara yang sedikit gemetar, Dira mulai menceritakan semua tentang ancaman pacar Vanya, foto-foto yang mengerikan, dan ketakutan Vanya selama ini.

Levin yang mendengar pengakuan Dira langsung meledak dalam kemarahan. “Bener-bener lo itu bego banget. Lo udah tahu kalau si Dimas itu bangsat, tapi lo ngebiarin Vanya tetap jalan sama dia! Gue tahu otak lo kosong, tapi—” ucap Levin dengan nada yang semakin tinggi, tatapan matanya penuh kemarahan.

Dira, yang awalnya meminta bantuan, merasa tersinggung dengan hinaan Levin. “Kok lo jadi ngehina gue kayak gitu? Gue cerita ini buat minta bantuan lo! Pantes aja Vanya nggak mau terbuka sama keluarganya sendiri, ternyata lo setempramen ini!” ucapnya penuh emosi. “Ya udah, gue nggak jadi minta bantuan lo.” Dengan amarah yang sama, Dira langsung membuka pintu mobil dan keluar begitu saja.

Levin melihat Dira berjalan menjauh, berusaha menenangkan dirinya, tapi dadanya masih dipenuhi amarah dan rasa frustrasi. “Dasar cowok nyebelin, tai lah... tapi gue mau ke mana sekarang?” keluh Dira, bingung setelah keluar dari mobil.

Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar nyaring di belakangnya. “Bim! Bim!” Levin mengikuti Dira dengan mobilnya, dan Dira merasa semakin kesal. “Apa sih? Ngapain ngikutin?” teriak Dira sambil menatap tajam ke arah Levin.

“Dira, cepet masuk mobil!” teriak Levin, namun Dira mengabaikannya dan terus berjalan. Petir menggelegar, dan dalam sekejap hujan deras mulai turun. “Byurr!” Dira yang basah kuyup menghentikan langkahnya, menatap langit dengan kesal. “Yah, kok hujan,” keluhnya.

Levin semakin kesal melihat Dira keras kepala. Ia keluar dari mobil, membawa payung, dan menghampiri Dira. “Ayo masuk mobil! Jangan keras kepala,” ujarnya sambil menarik paksa tangan Dira. “Sakit, Levin!” ucap Dira, tak kalah kesal.

Levin mendorong Dira masuk ke mobil, wajahnya masih terlihat tegang. “Bisa nggak sih lo nggak ngerepotin orang lain?” ucapnya kesal saat mereka sudah berada di dalam mobil. “Basah kan mobil gue,” keluhnya sambil menatap bekas air di jok mobilnya.

Dira menatap Levin dengan sinis, tangannya meraih gagang pintu untuk keluar lagi. “Ceklek!” Namun, Levin cepat-cepat mengunci pintu mobilnya. “Mau ke mana lagi lo? Duduk aja di situ!” ucapnya sambil menyerahkan handuk kepada Dira. "Keringin badan lo dulu."

Semakin lama Dira berbicara, ekspresi Levin berubah. Dari yang awalnya penasaran, menjadi semakin tegang dan marah. Tapi Dira sudah terlanjur memulai cerita, dan dia tak bisa berhenti sekarang.

Setelah mendengar semuanya, Levin terdiam. Tatapannya keras, rahangnya mengatup kuat. "Gue nggak percaya...," gumamnya. "Kenapa lo nggak bilang dari awal, Dir? Ini bahaya. Vanya dalam masalah serius!

Dalam perjalanan menuju tempat les, mobil Levin terjebak dalam kemacetan yang parah. Mobilnya tak bergerak sama sekali, dan suasana mulai terasa semakin frustasi. "Ah, sial. Udah pasti terlewat waktu lesnya," gerutu Levin dengan kesal. Ia melirik ke arah Dira yang duduk di sebelahnya, memeluk dirinya sendiri karena kedinginan, sembari sibuk memainkan ponselnya.

Tanpa berkata banyak, Levin mengambil sebuah tote bag dari kursi belakang mobil. "Ini, pakai aja baju gue. Nanti masuk angin," katanya sambil menyerahkan tas tersebut kepada Dira.

Dira menatap tas itu dengan sedikit ragu, tapi akhirnya menerimanya. Saat membuka tas dan melihat isinya, seulas senyum simpul terlukis di wajahnya. Ia merasa sedikit terhibur.

Tak lama kemudian, Dira pindah ke bangku belakang mobil untuk mengganti pakaiannya. Sebelum mulai, ia menatap Levin dengan curiga lewat pantulan cermin spion. "Awas lo ngintip," katanya sambil menyipitkan mata.

Levin mendesah sambil membalikkan rearview mirror. "Gue nggak ngintip," balasnya, mencoba untuk tidak terganggu.

Setelah selesai mengganti pakaian, Dira kembali ke kursi depan. Levin, yang secara reflek menoleh, langsung menutup matanya begitu melihat Dira. "Kenapa lo nggak pakai celana sih?" tanyanya, terdengar gugup setelah melihat Dira yang hanya mengenakan kaos putih miliknya tanpa celana.

"Celana gue kan basah. Yaudah, sih," balas Dira sambil tersenyum nakal. Dia bahkan mengangkat sedikit kaosnya, memperlihatkan bagian pahanya dengan sengaja. "Lagian nggak keliatan juga."

Levin buru-buru memalingkan wajah, wajahnya memerah, berusaha tetap tenang. "Seriusan lo..." gumamnya pelan, mencoba menahan rasa grogi yang tiba-tiba muncul di tengah situasi yang tak terduga itu.

Saat Levin mendekatkan wajahnya lebih dekat ke arah Dira, dia menggoda dengan nada penuh tantangan. “Apa? Lo nantangin gue?” tanyanya dengan suara yang rendah dan dalam. Wajah mereka begitu dekat, hingga Dira bisa merasakan napas Levin di wajahnya.

"Deg, deg, deg," jantung Dira berdetak tidak karuan. Perasaannya bergejolak, antara gugup dan terintimidasi. "Enggak, udah mundur sana," ucap Dira, mencoba mengendalikan kegugupannya, namun suaranya terdengar goyah.

Levin menyeringai, jelas menikmati reaksinya. "Gitu doang langsung gugup?" sindir Levin, senyum penuh kemenangan terpancar dari wajahnya. "Si anjir, dia udah tahu kelemahan gue," batin Dira sambil mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun jelas hatinya berdebar kencang.

Setelah kejadian itu, Dira dan Levin memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke tempat les. Mereka memutar balik dan pulang ke rumah. Namun, sesampainya di rumah, Dira mulai panik. Ia menyadari bahwa ia belum sempat menyiapkan makan malam karena mereka baru saja tiba setelah waktu magrib.

“Aduh, gimana ya kalau Tante Maya marah,” gumam Dira dengan penuh kekhawatiran saat melangkah masuk ke rumah. Perasaannya semakin tidak enak. Begitu melihat Tante Maya tengah menyiapkan makan malam, Dira langsung menghampiri dan meminta maaf.

“Tante, maaf ya... Dira nggak masak lagi hari ini,” ucap Dira dengan nada penuh penyesalan, khawatir akan reaksi Tante Maya.

Namun, Tante Maya hanya tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Dira. Tante sudah siapkan makan malam kok. Kalian habis dari mana sampai telat begini?” tanyanya dengan nada lembut, membuat Dira sedikit lega. Tapi ada sedikit kekhawatiran yang masih mengintai di benaknya.

1
merry jen
jgn slhinn dri mu dirr dsnii kmu knn ngebelaiin dr kmu perbuatan Naomi jg ke terlaluan wjr lhh kmu blss
merry jen
Dira berushh sndrii ajj ,,kmu gk bs MTK tp kn kmu pyn kelbhnn yg lainn ,semngtt
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓 menuju Hiatus
pocipan mampir
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx
Iind
halooo kak,.iklan meluncuuurrr ✈️✈️
merry jen
knp lgg tuu Dinda ,,
and_waeyo
Semangatt nulisnya kak, jan sampai kendor❤️‍🔥
Lucky One: makasih udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!