Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Pilihan dan Keraguan
Aldo berdiri di ambang pintu kafe, memandangi punggung Alia yang semakin menjauh. Jantungnya berdebar keras, setiap langkah Alia terasa seperti jarum yang menusuk hatinya. Dia tidak menyangka bahwa situasi ini akan berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan. Telepon dari Nisa, sesuatu yang seharusnya sangat sederhana, telah memicu ledakan emosi yang selama ini terpendam di dalam diri Alia.
Sambil meremas ponselnya, Aldo mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia ingin berlari menyusul Alia, menjelaskan bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman besar. Tapi dia tahu, saat ini Alia butuh waktu. Dia tidak bisa memaksakan penjelasan di tengah badai emosi seperti ini.
Aldo menghembuskan napas panjang, menunduk dengan tangan yang gemetar. Bagaimana bisa semua ini berakhir seperti ini? Bukankah dia sudah melakukan segalanya untuk membuktikan bahwa dia setia? Mengapa Alia begitu sulit mempercayainya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya tanpa jawaban yang jelas.
Setelah beberapa menit, Aldo memutuskan untuk pergi. Dia berjalan lambat menuju parkiran, langkah kakinya terasa berat, seolah-olah seluruh tubuhnya dibebani oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Sesampainya di mobil, Aldo duduk diam di kursi pengemudi, menggenggam setir erat-erat sambil memejamkan mata. Dia ingin memikirkan apa langkah selanjutnya, tapi pikirannya begitu kacau.
Setelah beberapa lama, ponselnya bergetar di saku. Nama Nisa muncul di layar, lagi-lagi memancing rasa frustrasi yang dalam di hati Aldo. Dia menatap layar itu dengan perasaan campur aduk sebelum akhirnya menekan tombol jawab.
“Halo, Nisa,” katanya lelah, suaranya nyaris berbisik.
“Lo masih di kafe?” tanya Nisa, suaranya terdengar ceria di ujung sana.
“Gue udah mau pulang,” jawab Aldo datar.
“Oh... Gue cuma mau nanya soal pesanan lo. Lo masih mau ambil hari ini, kan?”
Aldo menggeleng pelan, meski tahu Nisa tak bisa melihatnya. “Nggak, mungkin gue ambil besok. Gue lagi nggak enak hari ini.”
Nisa terdiam sejenak. “Lo baik-baik aja, Do? Suara lo kayak ada masalah.”
Aldo ragu untuk bercerita, tapi dia tidak merasa itu perlu. Lagipula, Nisa tidak seharusnya terlibat lebih jauh dalam masalah ini. “Nggak apa-apa, gue cuma lagi banyak pikiran,” jawab Aldo singkat.
“Kalau lo butuh cerita, lo tau gue selalu ada buat dengerin, kan?” kata Nisa, terdengar tulus.
Aldo menutup mata, berusaha menenangkan pikirannya. “Makasih, Nis, tapi gue butuh waktu sendirian sekarang.”
Setelah beberapa kata penutup yang sopan, Aldo menutup telepon dan melempar ponselnya ke kursi penumpang. Dia meremas wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan gejolak emosinya. Semakin dia memikirkan Alia, semakin dia merasakan kehilangan yang mendalam. Apakah dia benar-benar akan kehilangan Alia hanya karena gosip bodoh yang tidak berdasar?
Di sisi lain kota, Alia berjalan tanpa tujuan yang jelas. Langit sore yang mendung seolah mencerminkan suasana hatinya yang gelap dan penuh keraguan. Dia tidak tahu harus ke mana atau apa yang harus dilakukan, tapi yang jelas dia butuh waktu sendirian, jauh dari Aldo dan segala kebingungannya.
Setiap langkah yang dia ambil terasa semakin berat, seolah-olah ada beban yang menghimpit dadanya. Di dalam hatinya, Alia ingin percaya pada Aldo, pria yang dia cintai dengan sepenuh hati. Tapi semua gosip, foto-foto, dan bisikan teman-temannya membuat kepercayaan itu terkikis. Alia merasa terjebak di antara keinginannya untuk percaya dan rasa takut bahwa dia akan dikhianati.
Pikirannya melayang kembali ke saat-saat indah bersama Aldo—makan malam di kafe, tawa yang mereka bagi, dan bagaimana Aldo selalu membuatnya merasa aman. Namun, bayang-bayang Nisa selalu muncul di sela-sela kenangan itu, merusak setiap momen dengan keraguan yang membara.
Setelah berjalan beberapa blok, Alia menemukan sebuah taman yang sepi. Dia duduk di bangku taman, menundukkan kepala sambil memeluk lututnya. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan membuat suasana terasa semakin sunyi. Di tengah kesunyian itu, air mata yang selama ini dia tahan akhirnya mengalir deras. Semua rasa frustasi, takut, dan sakit hati tumpah tanpa bisa dia bendung lagi.
“Apa yang harus gue lakuin?” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe, dan hubungan antara Alia dan Aldo masih terjebak dalam ketidakpastian. Aldo beberapa kali mencoba menghubungi Alia, namun gadis itu selalu menjawab dengan singkat, seolah tidak ingin membicarakan masalah mereka lebih jauh. Alia jelas butuh waktu, tapi Aldo takut waktu itu akan memisahkan mereka semakin jauh.
Rio, di sisi lain, mulai menyadari bahwa rencananya berjalan sesuai harapan. Alia mulai menjauh dari Aldo, dan meskipun gadis itu belum sepenuhnya putus dari Aldo, Rio tahu bahwa saat itu akan segera tiba. Dia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama dan memainkan kartu terakhirnya dengan tepat.
Pada suatu sore, Rio memutuskan untuk mendekati Alia. Dia sudah lama memperhatikan perubahan suasana hati Alia di kampus, dan hari itu dia melihat kesempatan untuk mengambil langkah berikutnya. Dengan senyum yang tampak penuh perhatian, Rio menghampiri Alia yang sedang duduk di halaman kampus, membaca buku sendirian.
“Al, gue bisa duduk sini?” tanya Rio dengan sopan.
Alia menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Boleh.”
Rio duduk di sebelahnya, suasana di antara mereka terasa canggung. Setelah beberapa saat, Rio akhirnya membuka suara. “Lo baik-baik aja, Al? Gue liat lo belakangan ini sering sendirian.”
Alia menutup bukunya dan menatap Rio dengan tatapan lelah. “Gue... nggak tau, Rio. Gue lagi banyak pikiran.”
Rio mengangguk, seolah-olah dia mengerti sepenuhnya. “Gue ngerti kok. Kadang, perasaan kita bisa bikin kita bingung. Gue tau lo lagi ada masalah sama Aldo.”
Mendengar nama Aldo disebut, Alia merasakan sakit di dadanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Tapi gue nggak pengen ngomongin itu sekarang.”
Rio tersenyum tipis, tampak penuh pengertian. “Gue ngerti. Tapi gue cuma mau bilang, kalau lo butuh seseorang buat dengerin, gue selalu ada buat lo, Al. Gue cuma pengen lo bahagia.”
Alia menatap Rio, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Meski selama ini Rio sering terkesan genit dan selalu berusaha mendekatinya, Alia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya kali ini. Rio tampak lebih tenang, lebih dewasa.
“Thanks, Rio. Gue hargain itu,” kata Alia akhirnya.
Rio mengangguk. “Lo nggak perlu buru-buru buat ambil keputusan soal Aldo. Kadang, waktu bisa kasih kita perspektif yang lebih jelas.”
Alia menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Rio. “Mungkin lo bener.”
Namun, di dalam hati Rio, dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari langkah berikutnya. Dia sudah menanamkan benih keraguan di dalam hati Alia, dan kini dia tinggal menunggu momen yang tepat untuk memanfaatkannya. Rio menutup obrolan mereka dengan kata-kata penutup yang manis sebelum meninggalkan Alia sendirian.
Beberapa hari kemudian, Aldo memutuskan bahwa dia tidak bisa terus diam. Dia harus berbicara dengan Alia, memperjelas segala hal sebelum semuanya terlambat. Dia mengirim pesan singkat ke Alia, meminta untuk bertemu di tempat biasa mereka di kafe. Alia merespons dengan jawaban singkat, menyetujui pertemuan itu.
Saat hari yang dinanti tiba, Aldo merasa gugup. Dia tidak pernah merasa seburuk ini sebelumnya, seolah-olah hari ini akan menentukan masa depan mereka. Ketika Alia akhirnya tiba di kafe, dia duduk di depan Aldo dengan wajah datar. Mereka saling menatap sejenak, tak ada kata-kata yang terucap. Namun, sebelum Aldo sempat membuka mulut untuk bicara, Alia mengambil napas panjang dan berkata,
“Aldo... gue udah mikir panjang soal ini.” Dia berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian. “Gue rasa kita butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Gue butuh jarak." Alia akhirnya mengutarakan apa yang selama ini membebani pikirannya.
Perasaan di dada Aldo tiba-tiba hancur, seperti ada sesuatu yang remuk di dalamnya. Dia tidak tahu harus merespons apa, dan sejenak merasa lumpuh. Kalimat Alia yang singkat dan padat tadi menyiratkan begitu banyak hal, lebih dari sekadar permintaan untuk berpisah sementara. Aldo bisa merasakan bahwa hubungan mereka berada di ambang kehancuran.
"Jarak?" gumam Aldo, berusaha mengendalikan emosinya. "Maksud lo, lo mau kita... putus?"
Alia menggeleng pelan, namun raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Gue nggak bilang putus, Do. Gue cuma... gue nggak tau lagi harus gimana. Semua yang gue denger, semua yang gue liat, bikin gue terus-terusan ragu. Gue butuh waktu buat nyari tahu apa yang sebenernya gue rasain."
Aldo menatap Alia dengan tatapan putus asa, mencoba memahami posisi Alia. Dia tahu bahwa masalah ini tidak sepenuhnya kesalahan Alia, namun hatinya tidak bisa menerima begitu saja keputusan untuk "memberi jarak." Dia ingin memperbaiki semuanya, tapi entah kenapa, kata-kata itu tidak keluar dengan benar.
"Al, gue sayang sama lo. Gue cuma mau lo tau itu. Apa pun yang lo denger atau liat, gue nggak pernah berniat buat nyakitin lo. Gue nggak punya perasaan apa-apa sama Nisa, gue cuma cinta sama lo," kata Aldo dengan suara bergetar.
Alia menatapnya lama, dan dalam tatapan itu, ada rasa sakit dan kebingungan yang mendalam. Dia juga ingin percaya pada Aldo, namun rasa takut akan pengkhianatan yang terus menghantui pikirannya terlalu besar. Dia merasa lelah, lelah dengan perasaan cemas dan ragu yang terus menggerogotinya setiap hari.
"Gue ngerti, Do. Gue tau lo sayang sama gue," jawab Alia akhirnya. "Tapi gue juga harus ngelindungin diri gue sendiri. Gue butuh waktu buat yakin sama perasaan gue."
Mendengar kata-kata itu, Aldo terdiam. Dia ingin berdebat, ingin meyakinkan Alia bahwa perpisahan sementara bukanlah solusi yang tepat. Namun, di dalam hatinya, Aldo juga tahu bahwa memaksa Alia tetap bersamanya hanya akan memperburuk keadaan.
"Berapa lama lo butuh waktu?" tanya Aldo akhirnya, suaranya terdengar berat.
Alia menggeleng pelan. "Gue nggak tau, Do. Mungkin beberapa minggu, mungkin lebih lama. Gue cuma butuh ruang buat berpikir."
Aldo meremas kedua tangannya, menahan dorongan untuk memohon. Dia tahu bahwa ini bukanlah perpisahan yang dia inginkan, tapi di satu sisi, dia juga tidak ingin membuat Alia semakin menderita.
Akhirnya, dengan berat hati, Aldo mengangguk. "Oke, Al. Gue akan kasih lo waktu."
Namun, di dalam hatinya, Aldo merasa ada sesuatu yang hilang. Keputusan ini terasa seperti awal dari akhir, meskipun dia berharap itu bukanlah kenyataan.
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang canggung setelah itu. Tak ada lagi yang bisa diucapkan. Hanya suara gemerincing cangkir dan bisikan pengunjung lain di kafe yang terdengar di sekitar mereka. Setelah beberapa saat, Alia berdiri dan mengucapkan selamat tinggal tanpa banyak kata, meninggalkan Aldo yang masih terduduk di tempatnya, memandangi punggung gadis yang dia cintai dengan rasa kehilangan yang mendalam.