Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Ger? Ger? Kamu dengar Papa?!"
Gerry tersentak. Handoko tengah menatapnya dengan marah. Ternyata ia hanya berhalunisasi telah membunuh mertuanya ini.
"Apa penjelasanmu?!" tanya Handoko tajam.
Gerry menjatuhkan dirinya. Ia berlutut di hadapan mertuanya.
"Maafin Aku, Pa." Gerry mulai mengiba.
"Ini jumlah uang yang sangat besar, Gerry!" teriak Handoko marah. Ia mulai mencurigai menantunya ini.
"Aku membeli perhiasan buat Nara, Pa!" katanya akhirnya. Hanya itu yang dapat menyelamatkannya. Untuk Nara, semua tidak ada artinya buat Handoko.
Dan benar. Tatapan tajam Handoko mengendur.
Handoko melangkah mundur dan duduk di tepi pembaringannya.
"Nara sudah cukup banyak perhiasannya, Nak." suaranya juga lunak.
"Aku hanya ingin mengambil hatinya, Pa. Papa tau, Nara selalu menolak Aku." kata Gerry memelas. Matanya juga berkaca - kaca.
Kemarahan Handoko luruh sudah.
"Kenapa tidak meminta sama Papa aja? Itu uang perusahaan, Gerry. Kamu tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu meskipun Kamu adalah menantu Papa." katanya lemah.
"Aku malu, Pa. Aku cuma parasit di mata Nara." ia memperlihatkan mimik wajah suami yang tidak di anggap.
"Nara bukan penggila perhiasan. Bukan dengan cara itu Kamu mengambil hati Nara."
"Maafin Aku, Pa."
Handoko menghela nafas.
"Baiklah Ger, kamu boleh kembali ke kamarmu." Gerry mengangguk.
"Sekali lagi, maafin Aku, Pa." katanya seraya beranjak keluar dari kamar mertuanya.
Handoko menatap punggung Gerry yang menghilang di balik pintu kamar.
"Kamu sama sekali nggak kenal Naya." keluhnya.
Sejak kecil Nara tidak pernah meminta dibelikan perhiasan. Juga saat ia sudah remaja. Bahkan sampai sekarang.
Perhiasan Nara semua pembelian sang Mama.
Gerry kembali ke kamarnya dengan menyumpah serapah dalam hatinya,
'Dasar tua bangka pelit!'
"Den, makan malam udah siap. Apa Saya mau anterin ke kamar seperti biasa?"
Gerry berpikir sejenak. Nara pasti akan makan malam bersama Papanya. Bagaimana kalau Handoko menanyakan padanya tentang perhiasan itu?
"Nggak usah. Saya mau makan di ruang makan aja." katanya pada pelayan yang tadi bertanya padanya.
Pelayan itu mengangguk,
"Baik, Den.'
'Tapi tadi Nara kan, kumat. Pasti ia makan di kamarnya.' pikirnya lagi.
"Eh, tunggu!" panggilnya pada pelayan itu.
"Itu, anterin aja ke kamarku seperti biasa!"
Pelayan itu membungkukkan tubuhnya.
"Siap, Den."
"Makasih." Gerry melempar senyum maunya. Pelayan itu sedikit tersipu sebelum kembali memutar langkahnya.
'Aduuuh! Meleleh banget Akuuu!' jeritnya dalam hati.
Sejak Gerry menjadi menantu keluarga ini, semua pelayan, khususnya yang cewek, dibuat terpesona padanya.
Gerry yang tampan dan baik hati, itu yang ada dalam pikiran mereka karena Gerry selalu bersikap ramah pada semua pelayan.
Hubungannya yang unik dengan Nara menjadi bahan ghibahan mereka.
"Kok mereka tidur terpisah, sih?"
"Kasihan Den Gerry, Non Nara jutek banget kalau ngomong sama Dia!"
"Kalau saja Non Nara bukan anaknya bos, mana mau Den Gerry nikahin Dia? Secara Non Nara nggak ada bagus - bagusnya sama sekali!"
"Non Nara cantik, kok. Cuma terlalu kurus aja."
"Cantik apanya, sih? Pucat gitu kayak vampir!" mereka akan tertawa cekikikan. Puas rasanya bisa membela Gerry yang super ganteng itu dengan menghina Nara. Walau hanya dengan ghibahan.
Tapi wajah pucat Nara menular pada mereka ketika si Bibik tiba - tiba berdiri di hadapan mereka.
**************
"Udah kenyang belum ngomongnya?!" sengat si Bibik. Mereka semua menunduk. Si Bibik adalah kepala pelayan di sini.
"Kalian itu udah bosan ya, kerja di sini? Masih bagus Saya yang dengar celotehan nggak penting Kalian ini! Bagaimana kalau Pak Handoko yang dengar? Bagaimana kalau Beliau tau putri kesayangannya jadi bahan hinaan Kalian?"
"Bapak besar kan nggak pernah masuk ke sini, Bik." masih ada yang menjawab, tapi ia lantas menutup mulutnya karena merasa kelepasan bicara.
Si Bibik melotot.
"Bagus, ya. Mentang - mentang Bapak besar nggak pernah masuk ke sini, Kalian jadi seenaknya ngomongin Non Nara? Kalian tau siapa Non Nara? kalian tau Non Nara selalu siap membantu kesulitan Kalian? Apa pernah Non Nara jahatin Kalian?"
Si Bibik megap - megap karena terlalu panjang berbicara.
"Maaf." terdengar suara yang tadi mengatakan kalau Pak Handoko tidak akan pernah datang ke tempat mereka.
"Maaf." yang lain membeo.
Si Bibik menghela nafas.
"Bibik nggak ingin ada yang ngatain Non Nara lagi. Atau..." matanya tajam menatap satu demi satu orang yang ada di sana.
Bibik mengambil gelas dan membuat segelas susu dan membiarkan kalimatnya menggantung di udara.
Si Bibik langsung membawa susu yang dibuatnya keluar dari dapur.
"Maksudnya apa, ya? Kita mau dipecat?" suasana dapur kembali berisik.
"Nggak tau." ada yang menjawab dengan mengangkat bahunya.
"Masa' sih, begitu aja di pecat? Emang si Bibik bisa, ya? Mecat Kita?"
"Bisa, lah! Dia kan tangan kanan Bos."
"Lah, Kita apa? Tangan kirinya?"
Mereka kembali cekikikan.
Memang, menggibah itu menyenangkan dan membuat lupa diri, lupa waktu dan lupa ingatan. Mengghibah itu membuat bahagia asal jangan diri sendiri yang menjadi bahan ghibah.
Si Bibik membawa segelas susu ke kamar Nara.
"Ini, Non." Nara menerima gelas susu dan meminumnya seteguk.
Ada notifikasi chat masuk.
"Habisin, Non." Nara tidak mengindahkan permintaan Bibik. Ia mencoba meraih ponselnya. Tapi terlalu jauh.
"Tolong, Bik."
"Habisin dulu susunya. Atau minumlah sedikit lagi."
Nara meminumnya seteguk lagi. Benar - benar seteguk.
"Bi? Tolong?" matanya memohon.
Si bibik mengambil ponsel dan memberikannya pada Nara. Nara menyentuh layar ponselnya untuk melihat pesan.
Ternyata dari Gerry.
'Nara, kalau Papa menyinggung soal perhiasan, bilang saja iya. Please?'
Alis Nara bertaut.
"Kenapa, Non?" Nara mengangkat bahu seraya menyerahkan gelas susu pada pembantu setianya ini.
"Minum sedikit lagi, Non?" Nara menolak. Ia mulai mengetikkan kata - kata untuk membalas.
'Kenapa? Kamu pasti berbuat kesalahan.'
Tidak terlalu lama untuk mendapatkan jawaban. Tapi bukan untuk menjawab pertanyaannya.
'Kamu udah enakan? Tadi katanya Kamu kumat. Kenapa?' begitu perhatian. Kelihatannya. Nara tersenyum pahit.
'Bukan urusanmu.'
'Aku suamimu, Nara.' apa benar begitu?
'Cuma status.'
'Tapi seenggaknya, Kamu mau nolongin suamimu ini, kan?'
Nara berpikir sejenak.
'Apa yang Kamu lakukan?'
'Aku memakai uang perusahaan.' Nara terbelalak.
'Hanya sekali ini saja, Nara. Aku janji, tidak ada lain kali.' belum sempat membalasnya dengan makian, pesan Gerry kembali masuk.
'Pasti buat selingkuhanmu itu, ya? Kenapa nggak pakai uang gajimu sendiri?'
'Nara, Aku lagi mengambil hatinya. Uang gajiku nggak cukup.'
'Dasar gila!'
'Aku memang tergila - gila padanya.'
Nara melempar ponselnya.
Dakk!
Si Bibik terkejut. Nara menutup wajahnya. Pengakuan Gerry melukai harga dirinya sebagai seorang istri. Meskipun hanya sebagai status.
Ponsel kembali berbunyi. Berbunyi dan berbunyi.
"Biarin aja, Bik." Nara mengangkat tangannya, mencegah si Bibik yang akan mengambil ponsel malang itu.
Nara mulai berpikir untuk berpisah dengan Gerry.
*****************