Bukan Salahku Mendua

BSM Bab. 27

Beristirahat sejenak dari rutinitas yang membuatnya penat, Theo memilih mendatangi kediaman Feli. Menghempaskan tubuhnya dengan kesal pada sofa ruang tamu, Theo menyandarkan punggung sambil memijit kepalanya yang mulai terasa pening.

Jika ditanya, Theo sudah ingin mundur dalam tugas meliput narasumber yang satu ini. Tak hanya licin seperti belut menghindari wartawan, narasumber yang satu ini bahkan lihai mengelabui wartawan.

Beberapa hari ini tenaga Theo bahkan hampir terkuras habis. Beruntung ada Feli yang selalu punya cara yang unik untuk mengembalikan semangatnya. Seperti saat ini, disaat ia penat Feli selalu ada untuk menghiburnya.

Gadis nakal itu langsung duduk di pangkuan Theo. Ia mengambil alih memijit kedua pelipis Theo dengan lembut. Theo memejamkan matanya menikmati pijatan Feli yang cukup bisa menghilangkan sakit kepalanya.

“Pak Samsul bilang apa sampai kamu stres begini, Kak?” tanya Feli.

“Rasanya aku ingin mundur saja meliput narasumber yang satu ini, Fel. Waktuku terbuang percuma gara-gara orang ini.”

“Terus?”

“Pak Samsul tidak mengijinkan. Dia tetap ingin memuat berita tentang Antonio. Aku bahkan sudah hampir menyerah. Kalau saja dia tidak mengancamku, aku mungkin sudah berhenti.”

“Pak Samsul ngancam kamu gimana?”

“Dia tahu rahasia tentang kita berdua. Dia ngancam bakal memecat aku dan akan memberitahu rahasia kita ini ke Laura kalau aku mundur.”

“Oh ya?” Feli terkejut. Padahal ia sudah berhati-hati, tapi mengapa hubungannya dengan Theo masih terendus juga.

“Memangnya kamu sudah cerita sama siapa saja tentang hubungan kita? Hm?” Theo membuka mata, menatap Feli yang masih berasa di atas pangkuannya itu.

“Aku tidak pernah cerita ke siapapun, Kak. Aku berani sumpah. Tapi, Pak Samsul tahu dari mana?”

“Aku juga tidak tahu. Aku pusing memikirkan ini.”

“Ya sudah, kalau begitu tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita bersenang-senang dulu.” Jemari lentik Feli mulai nakal membuka tautan kancing kemeja Theo. Ia terlihat tak sabaran, bahkan sudah sangat bernafsu. Bisa dilihat dari tingkahnya yang agresif, bahkan sesekali menggigit bibirnya sensual.

Hal seperti itulah yang Theo sukai dari Feli. Gadis nakal itu selalu mengambil inisiatif lebih dulu.

“Fel, nanti ada yang lihat.” Tak menolak, Theo membiarkan saja apa yang dilakukan Feli. Tak mau munafik, ia memang butuh saat ini. Lumayan untuk menghilangkan kepenatan pikirannya yang hampir membuatnya stress.

“Jangan cemas. Ayah ibuku sedang ke luar kota. Mereka sedang menjenguk paman yang sedang sakit. Makanya aku meminta kamu nginap di sini.” Rupanya itulah alasannya mengapa Feli berani meminta Theo menginap di rumahnya. Agar ia bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk bisa merasakan hidup berdua bersama Theo.

“Tetangga kamu, Fel. Gimana kalau mereka curiga saat melihat ada laki-laki yang masuk ke rumah kamu.” Kemejanya sudah dilempar Feli sembarangan. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Jemari Feli yang bermain-main nakal di dadanya itu sungguh membuatnya tak bisa menahan lagi.

“Tetangga-tetangga di sini tahu kalau kamu itu adalah saudara sepupuku.” Tak peduli keadaan, kini jemari nakal Feli mulai turun ke bawah, hendak membuka ikat pinggang Theo.

“Kamu ini memang nakal.” Gemas, Theo menyentil ujung hidung Feli sembari mengulas senyum senang. Untung saja ia bisa membuat alasan yang bisa dipercaya Laura. Jika tidak, mungkin ia akan melewatkan kesempatan ini.

“Kamu mau di sini, atau kita ke kamarku saja?” tawar Feli sambil menggigit bibirnya. Baik ia maupun Theo sama-sama tak bisa membendung lagi gejolak hasrat yang mulai mendesak.

“Kita ke kamarmu saja. Takut ada yang lihat di sini.” Theo langsung membopong tubuh Feli menuju kamar Feli. Di kamar itulah keduanya tenggelam dalam lautan gairrah yang membuat keduanya semakin terjebak dalam hubungan terlarangnya.

Feli lebih mendominasi dalam permainan panas itu. Karena seperti itulah cara Feli merebut perhatian dan cinta Theo dari Laura. Feli akan menjadi wanita yang selalu mengerti kebutuhan Theo dengan cara memuaskannya di atas ranjjang. Bukan mustahil kini Theo pun terjebak dalam permainan Feli. Ia bahkan telah melupakan bagaimana caranya membahagiakan Laura.

Erangan maskulin yang terdengar memenuhi kamar itu menjadi pertanda sebesar apa kepuasan Theo dalam mencapai puncak kenikmatannya. Feli memang selalu bisa menyenangkannya.

****

Sepulang dari mengantarkan pesanan, Laura kini duduk gelisah dibalik etalase kue. Sedari tadi isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Theo. Beberapa menit lalu berkali-kali ia menghubungi Theo, tapi ponsel Theo malah tidak aktif.

Pagi tadi Theo meminta ijin padanya untuk ke luar kota selama beberapa hari. Dengan alasan menjalankan perintah dari Samsul, atasan Theo. Laura membiarkan, padahal ia tahu sendiri alasan itu hanya akal-akalan Theo saja. Padahal mungkin sekarang Theo sedang bersama Feli.

Membayangkan Theo sedang bersama perempuan lain membuat hati Laura perih tersayat-sayat. Ingin rasanya Laura berteriak sekuat tenaga untuk melampiaskan sakit hatinya. Tetapi ia sadar, ia tak bisa melakukan itu.

Ditengah perasaannya yang carut marut dan pikirannya yang kacau balau, ponselnya berdenting. Bunyi sebuah pesan ya g masuk. Lekas ia membuka ponsel yang sedari tadi dalam genggamannya itu. Berharap Theo yang mengirimkan pesan kepadanya.

[Apakah kamu punya waktu sebentar?]

Pesan itu dikirim dari nomor yang tak dikenal. Laura mengerutkan dahi begitu membaca pesan itu.

[Maaf, ini siapa ya?] Begitu pesan balasan yang dikirimkan Laura.

Menunggu beberapa saat, belum juga ada pesan balasan. Akhirnya Laura mengabaikan pesan itu. Ia menganggap pesan itu adalah pesan nyasar yang dikirimkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Laura saat ini seorang diri di toko. Rere sudah pulang lebih awal untuk urusan yang mendadak. Sebab hanya seorang diri, Laura memutuskan untuk menutup toko lebih awal. Di jam delapan malam Laura sudah menutup toko.

Mengenakan helm, kemudian menaiki skuter matiknya, Laura lalu menghidupkan mesin. Dengan kecepatan rendah ia menyusuri jalanan ibukota. Tanpa Laura sadari sebuah mobil berwarna hitam mengikutinya diam-diam.

Sedari tadi pikiran Laura tak pernah lepas dari Theo. Hatinya hancur berkeping-keping saat teringat perselingkuhan Theo. Saat ini Theo pasti sedang bersama Feli. Mereka pasti sedang bersenang-senang di atas penderitaannya.

Kesibukan Theo belakangan sudah cukup membuat Laura kesepian. Kini harus ditambah lagi dengan pengkhianatan Theo. Rasanya ia sudah tak tahan lagi. Tetapi kepada siapa ia harus mengadu?

Desakan perasaan membuat Laura tak bisa berkonsentrasi lagi pada jalanan. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, ia pun memilih menepikan sepeda motornya sejenak. Di dekatnya ada sebuah taman bermain anak. Ia lantas menuju ke taman itu, mengambil duduk pada ayunan yang menggantung.

Duduk seorang diri di bawah sinar rembulan malam itu kian membuat hatinya nelangsa. Kesendiriannya ini semakin menampakkan kesepiannya. Kerlip bintang nun jauh di sana seolah tengah meledeknya. Bila ia adalah wanita yang paling menyedihkan di dunia ini.

Ah, sungguh miris nasibnya malam ini. Duduk seorang diri di bawah rembulan malam dengan bertemankan sepi. Sempurna sudah penderitaannya malam ini.

Mengasihani diri sendiri membuat air matanya berderai tanpa sanggup ia cegah. Hatinya yang nelangsa dirundung pilu membuat air mata itu semakin deras saja berderai. Lalu tanpa terduga, tiba-tiba saja sebuah sapu tangan berwarna putih terulur di depan wajahnya. Isak tangisnya pun terhenti. Lalu ia menoleh, menengadahkan wajahnya.

Sontak ia terkejut melihat sebuah paras tampan di depannya. Sepasang mata dengan bola mata abu-abu itu menatapnya sendu.

“Tidak baik seorang wanita duduk seorang diri di tempat seperti ini malam-malam begini,” ujar si pemilik wajah tampan dengan bola mata abu-abu itu. Kemudian mengambil tempat pada ayunan kosong di sebelah kanan Laura.

“Dari mana Anda tahu saya ada di sini?”

“Aku mengikutimu sejak tadi.”

Laura terbengong menatap pria itu. Yang malah membalasnya dengan senyuman merekah.

“Hapus dulu air matanya. Atau kamu mau aku yang menghapusnya?”

★