Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Menuju Air Terjun Naga
Matahari mulai terbit menyinari seluruh penjuru desa. Warga desa mulai terbangun dengan suasana pagi yang tenang. Meskipun pagi itu sangat damai beberapa penduduk desa masih cemas dengan ancaman sosok gaib yang beberapa hari ini menganggu mereka saat malam hari.
Saat mereka berjumpa di jalan, mereka akan saling bertanya tentang penampakan yang muncul semalam. Mereka tidak tahu jika Kepala Desa Wijaya Kusuma sudah mengatasi masalah tersebut.
Sejak semalam Ki Dayat masih ada di rumah Wijaya Kusuma, dia terlalu lelah untuk pulang ke rumah ditambah Wijaya dan ibunya melarang Ki Dayat pulang dulu.
"Jaya, Aki sebenarnya ingin mengantar kamu menuju tempat melatih ilmu kanuragan, tapi fisik Aki sudah tidak kuat," kata Ki Dayat.
"Aki jangan khawatir, saya bisa pergi sendiri. Cukup beritahu arah dan petunjuk yang jelas," jawab Wijaya.
"Air terjun naga, disana tempat teman Aki tinggal dan mengabdi pada leluhur dan alam."
"Air terjun naga? Saya belum pernah mengenal tempat itu. Tolong beritahu saya arah yang cepat menuju air terjun itu."
Ki dayat mengangguk, "Air terjun Naga terletak di pedalaman gunung, sekitar tiga hari perjalanan dari sini. Setelah melewati hutan larangan kamu akan bertemu aliran sungai yang besar, ikutilah aliran sungai itu. Dengan mengikuti aliran sungai itu, kamu akan bertemu air terjun naga."
"Oh tinggal ikuti aliran sungai ya, Ki."
"Dulu Aki tidak lewat situ, Aki berputar menuruni lereng karena Aki tidak berani terjun dari atas. Hanya saja jika berputar menuruni lereng akan memakan waktu lebih lama."
Ibu Wijaya Kusuma lalu datang membawa singkong rebus dan teh manis, "Aki, sarapan dulu singkong Ki, nanti kita besar besar setelah nasi matang," ucap ibu Wijaya.
Wijaya Kusuma lalu mengambil daun pisang dan membungkus beberapa singkong rebus itu yang sudah ditaburi parutan kelapa.
"Wijaya, kenapa dibungkus? Kamu mau turun ke bawah?" tanya ibunya heran.
"Mah, Wijaya akan pamit pergi ke air terjun naga untuk belajar ilmu tenaga dalam," kata Wijaya Kusuma.
"Belajar tenaga dalam? Siapa yang akan mengajarimu, apa tidak tidak berbahaya ya Ki?"
"Tenang, Kulsum waktu kamu masih muda masih ingat dengan pemuda bernama Adiwan?" tanya Ki Dayat.
"Ardiwan? Sudah lama sekali, saya tidak ingat." jawab ibu Wijaya.
"Dulu dia seumuran denganmu, dia memutuskan untuk mengabdi pada leluhur di puncak gunung. Saya pernah menemui dia beberapa kali, namun setelah bapaknya meninggal, saya tidak pernah ke sana lagi. Ardiwan bisa mengajari Wijaya Kusuma ilmu kanuragan."
"Tapi apa tidak berbahaya Ki? Saya khawatir." kata ibu Wijaya Kusuma cemas.
"Wijaya perlu mendalami ilmu kebatinan dan membuka kekuatan dalamnya. Karena musuh yang paling berbahaya adalah mereka yang menyerang dalam keheningan. Kejadian semalam menjadi momen untuk dia agar meningkatkan kemampuannya."
"Tenang Mah, Wijaya berjanji akan kembali ke desa ini. Wijaya Kusuma ingin mempelajari ilmu kebatinan selain untuk melindungi desa ini, ada hal yang ingin ku perjuangankan," Wijaya Kusuma mendadak teringat tentang kematian ayahnya yang diduga telah diracun oleh Kepala Desa sebelah.
Wijaya lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil beberapa pakaian dan memasukannya ke dalam kain dan di ikat. "Saya ingin cepat-cepat pergi Ki," kata Wijaya Kusuma penuh semangat.
"Makan dulu, Jaya!" ucap Ki Dayat.
Namun Wijaya Kusuma segera pamit pergi menuju air terjun naga, meninggalkan ibunya yang cemas dan tatapan penuh harap Ki Dayat.
"Dia sangat mirip dengan bapaknya," kata Ki Dayat dengan suara pelan.