Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sejak kepergian Bulan dua hari yang lalu, hidupku terasa hancur. Tidak ada akses untuk bertemu dengannya. Beberapa kali. Aku berusaha menunggu di depan rumah. jangankan Bulan yang terlihat, pintu gerbangnya selalu tertutup rapat. Menghubungi mas Sigit tidak pernah di gubris. mereka benar-benar memeras emosiku.
Tapi pagi ini firasat ku benar-benar tidak enak.
Aku begitu gelisah hingga ibu menegurku.
"Ada apa, May?"
"Perasaanku tidak enak, Bu. Aku takut Bulan kenapa-napa. Aku harus kesana sekarang." jawabku mantap.
"Ini masih subuh.." sela ibu.
"Justru karena masih subuh. Aku bisa menyelinap masuk sat ada orang keluar dari rumah itu. Karena kalau agak siangan pintunya selalu tertutup rapat. Entah bagaimana cara mereka keluar dari sana." omel ku pelan.
Walau ibu berusaha melarang, aku tetap berangkat. Mungkin naluri seorang ibu sedang memanggilku.
"Bulan, tunggu ibu. Kita akan bersama kembali. ibu akan membawamu pulang .."
Dengan semangat empat lima aku kayuh sepeda milik Bilal. aku terpaksa memakainya karena ojek belum ada jam segini.
Suasana masih sepi-sepi saja. seperti tidak ada kehidupan saja dalam rumah besar itu.
Lampu teras pun mati.
Kaki ku sampai pegal menunggu tapi tidak ada tanda-tanda ada yang keluar rumah. Aku sengaja bersembunyi di balik gardu di pinggir jalan.
Abang tukang sayur keliling langganan kami lewat. Aku berharap Ibu mertua ataupun Rani keluar membeli sayur seperti kebiasaan ku dulu.
Dan benar saja. Dengan wajah cemas ibu mertua mendekati Abang sayur. Aku beringsut sedikit kedalam agar kehadiranku tidak di sadari olehnya.
"Ibu, kenapa tidak menantunya saja yang belanja..." sapa si Abang dengan ramah.
"Menantu saya sedang pulang kerumah ibunya. Bang, saya nasi bungkus saja." ucapnya dengan mata mengawasi kanan kiri.
"Lho, tidak masak, to Bu?" tanya di Abang sayur.
"Tidak ada orang dirumah. hanya saya dan suami." ujarnya cepat.
Spa maksudnya tidak ada orang? apakah mas Sigit membawa Bulan ke suatu tempat? pupus sudah harapanku bertemu anak ku.
Dia membayar dengan cepat dan melangkah pergi. Tepi di depan pintu gerbang dia menoleh lagi.
"Ada bawang sama jahe?"
"Ada, Bu. Buat apa?" iseng aban sayur bertanya sambil menyiapkan barangnya.
"Cucu saya panas dari semalam. Rewel sekali. sudah di beri obat warung tapi panasnya belum turun juga."
Aku yang sudah putus asa kembali terkesiap. siapa yang di maksudnya? Bulan, kah.. Atau Tara? Bagaimana cara mencari tau? aku bingung sekali.
"Ooh, anak yang cantik dan lucu itu? dia sering ikut ibunya belanja sama saya. kasihan..." celetuk Abang sayur.
"Bulan..! Tapi anaknya Sigit."
Jantung ku berdebar lebih kencang. Bulan sakit? Pantas saja perasaanku tidak enak sejak semalam.
Sekarang ku harus mencari cara untuk bisa masuk. karena meminta dengan baik-baik tidak ada hasilnya.
Aku menggigit ujung jariku.
Tak lama ayah mertua keluar untuk membuang sampah. diapun terlihat waspada dengan keadaan. Tiba-tiba ada ide ku.
Aku melihat seorang bapak RT sedang joging.
"Pak, maafkan kami belum bayar iuran sampah bulan ini." ucapku pelan agar tidak menarik perhatian ayah mertua.
"Kenapa begitu? Sebagai warga..."
"Bapak tanyakan saja pada ayah mertua saya. Dan jangan bilang kalau saya melapor, ya pak.." ucapku memohon.
Pria berkumis itu melihat ayah mertua yang sedang meletakkan sekantong besar sampah.
Dia langsung menegurnya dengan sopan.
Saat mereka sedang terlibat percakapan. Aku menyelinap masuk.
Untuk sementara aku aman.
Aku bersembunyi di balik pohon mangga di halaman.
Dari sini aku bisa mengawasi keadaan dalam rumah dengan leluasa.
**
Sementara itu di dalam.
"Bu, bagaimana keadaan Bulan? Masih panasnya?"
"Masih, pak. Tapi sudah ibu baluri dengan parutan bawang dan jahe. Biasanya sih langsung turun."
Mereka melihat keadaan Bulan yang terlihat tenang.
"Dia tidur?"
"Sepertinya begitu. Jangan di ganggu." ujar Bu Karti.
"Dia sudah makan, Bu?"
"Belum, sih. Tapi kasihan mau bangunin untuk makan. tidurnya lelap sekali." gumam Bu Karti lagi.
"Ibu saja yang tunggu warung. Biar bapak tungguin Bulan sampai Sigit pulang." ucap suaminya.
"Yaah.. Tapi pekerjaan di warung banyak. Siapa yang akan mengangkat barang berat, masa aku?" sergah istrinya.
"Lalu, Bulan?"
"Dia sudah baikan. tinggalkan saja."
"Kau yakin, Bu?"
"Yakin. Ibu sudah berpengalaman membesarkan tiga anak. Ini sering terjadi, kok." akhirnya mereka pergi meninggalkan Bulan sendirian di rumah besar itu.
"Pintunya di kunci saja dari luar. Takutnya May datang. toh Sigit ataupun Rani sudah tau tempat kuncinya."
***
Setelah mereka pergi, aku langsung mengambil kunci rumah yang mereka sembunyikan. tidak perlu mencari lagi karena aku melihat dan mendengar semua obrolan mereka.
"Bulan.. dimana kau, Nak?" Dengan berbekal insting seorang ibu. Aku menemukan Bulan di sebuah kamar gelap karena pintu dan jendelanya di tutup. Saat ku nyalakan lampu. Bulan sedang tidur telentang. Nafasnya tenang. Aku langsung memeluknya erat.
"Bulan, ini ibu.. Kita pulang ya..!" tapi aku heran Bulan tidak bereaksi saat aku peluk dan goncang tubuhnya.
"Bulan, bangun..!" pekik ku.
Mataku nanar menatapnya. Tangannya terkulai lemas.
Hatiku perih bukan main. Tega sekali mereka menyiksa anak ku seperti ini. Meninggalkannya sendirian di rumah sebesar itu dalam keadaan sakit pula.
"Awa kalian, aku bersumpah akan membalas semua perlakuan kalian ini." bibirku bergetar mengucap sumpah.
Aku segera menghubungiku Dokter Agam. setelah menceritakan secara singkat keadaan Bulan.
Tak perlu menunggu lama, dokter baik hati itu langsung datang dengan mobil ambulance desa.
Sat itu aku sudah menunggunya di gardu sambil memeluk putriku yang tidak sadarkan diri.
Dokter Agam sendiri ikut panik melihat keadaanya.
"Tidak usah menunggu lagi. Kita akan membawanya kerumah sakit kota. Disana dia akan mendapat perawatan yang lebih baik." ucapnya sambil mengemudi.
Aku tidak menjawab. Dalam keadaan sekarang ini, dia pasti lebih tau mana yang terbaik buat anak ku.
"Yang sabar, ya May. Ini ujian buatmu." Tak ku sangka, dokter Agam menggenggam tanganku untuk memberi dukungan.
"Bagaimana keadaanya, Dok?" tanyaku dengan mata yang masih basah.
"Kau tenang saja. Aku sudah bicara dengan dokter senior. Bulan akan mendapat perawatan ekstra. Tapi menurut pengamatan sekilas. Bulan kelaparan. Kemungkinan besar tidak ada makan di lambungnya sejak kematiannya."
Aku tercekat.. anakku kelaparan di rumah ayahnya? Hal yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi itulah kenyataannya. kenyataan bahwa mas Sigit tidak pernah menganggap Bulan putri kandungnya.
Hal ini akan memudahkan aku untuk mendapatkan hak asuhnya kelak.
"Terima kasih. Saya tidak tau apa yang akan terjadi kalau tidak ada dokter."
"Jangan berterima kasih padaku. Kau lah yang patut di puji. karena keberanianmu Bulan bisa kita selamatkan. Aku tidak habis pikir, apa yang ada di otak mereka hingga tega menyiksa anak sekecil Bulan." dia menggeleng keras.
"Saya benar-benar tidak terima dengan semua ini. Saya akan menuntut mereka..!" jawabku tegas berapi-api.
"Sabar.. Aku paham bagaimana perasaan mu. Tapi kira tunggu kondisi Bulan membaik dulu baru pikirkan yang itu. Aku ada di pihak mu." ucapnya tersenyum.
Aku sangat bersyukur bertemu mahluk baik hati seperti dia. Dengan pernyataannya. berada di pihak ku membuat aku semakin berani.
💞Makasih buat para pembaca semua.. Khususnya buat kak Yuliana tunru dan kak Lissaerlina. Mereka setia menemaniku sampai karyaku ini mendapat Bab 20 terbaik🙏🙏