“Addunya kulluhaa mata', wa khoyru mata’uddunya al mar’atushshalehah”
“Dunia seluruhnya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalihah."
Kelanjutan cerita di Balik Cadar Aisha.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sederhana
Sesi terapi Lela dan suaminya telah usai, psikiater lalu meminta Zayn untuk keluar sebentar karena dia ingin melakukan sesi terapi dengan hanya Lela seorang diri.
Melihat Zayn keluar, Alvian yang baru datang setelah memeriksa pasien segera menghampirinya bersama sang istri.
"Terima kasih," ucap Aisha kepada kakak iparnya setelah mereka duduk di bangku.
"Untuk apa?" tanya Zayn heran.
"Dokter Anita sudah mengatakan semuanya. Anda dengan berbesar hati bersedia menikahi kakak saya padahal anda tahu persis kondisinya."
"Andai saja anda tak menikahinya, dan kakakku menikah dengan lelaki lain, suaminya pasti akan kecewa karena mengetahui kondisinya setelah menikah dan mungkin saja kakak saya akan menjadi janda untuk yang kedua kalinya. Itu pasti akan membuat trauma yang dimilikinya semakin parah."
Zayn tersenyum.
"Jika kalian berpikir aku menikahinya hanya karena ingin menolongnya saja, kalian sudah salah paham."
Aisha dan Alvian kaget.
"Aku ingin menikahinya karena dia memang wanita shalihah yang layak untuk aku jadikan istri. "
"Setelah secara tidak sengaja mengetahui kondisinya, traumanya dan penderitaannya, aku malah fokus pada hal yang lainnya."
Alvian dan Aisha mendengarkan dengan seksama.
"Kecintaannya pada sang ibunda," lanjut Zayn lagi.
"Pada Ummi?" tanya Alvian.
Zayn mengangguk.
"Kalian pasti tahu jika diantara salah satu bentuk kebaikan adalah menyembunyikan rasa sedih dari ibumu. Dan Lela pun melakukan hal itu. Di tengah kondisinya yang tidak sedang baik-baik saja, butuh dukungan moril dari orang sekitarnya, dia memilih untuk memendamnya sendiri, semuanya demi kecintaannya pada Ummi."
Aisha langsung menundukkan kepalanya, terharu. Berpikir jika apa yang telah dikatakan kakak iparnya itu adalah benar.
"Padahal bisa saja istriku menyalahkan Ummi dan Almarhum Abah atas apa yang terjadi pada dirinya. Namun dia lebih memilih sabar dan berserah diri kepada Allah SWT, menjalani keterpurukannya sendiri dan tidak mau berbagi, dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja."
"Hanya wanita yang berakhlak mulia yang bisa melakukannya. Bagaimana aku tak dibuat jatuh hati dan ingin menikahinya?" Zayn melihat Alvian.
Alvian langsung menepuk pundak Zayn.
"Kalian sama-sama makhluk Allah SWT yang berakhlak mulia. Semoga secepatnya kalian bisa menjalankan kehidupan rumah tangga yang semestinya dengan Allah SWT segera memberikan kesembuhan untuk istrimu."
"Aamiin."
***
"Baiklah ibu, aku tunggu. Aku akan masak makanan kesukaan ibu." Anita terlihat sumringah ketika berbicara dengan ibunya di telepon.
Tak lama Anita menutup teleponnya, dengan wajahnya yang terlihat senang dan tak sabar untuk bertemu dengan sang ibunda setelah hampir 2 bulan keduanya tidak bertemu karena setelah pernikahannya waktu itu, sang ibu langsung terbang ke luar negeri menemani suaminya untuk urusan bisnis.
"Apa ibumu baru sampai di Indonesia?" tanya Zaidan sambil duduk di samping sang istri.
"Iya. Ibu dan ayah baru saja mendarat di Indonesia. Besok katanya mereka akan mengunjungi rumah kita. Kebetulan besok aku bisa libur karena ada dokter pengganti."
"Baguslah. Kalau begitu buat hidangan istimewa untuk kedua orang tua kita."
"Tentu saja. Aku akan membuat makanan kesukaan ibu, aku yakin jika sudah 2 bulan ibu tidak makan makanan itu "
Zaidan tersenyum.
Keesokan harinya.
Anita menyambut kedatangan ibunya dengan sangat bahagia, dia memeluk erat sang ibunda.
"Mami sangat merindukanmu sayang," ucap ibunya sambil menatap hangat sang putri.
"Aku juga Bu. Aku sangat merindukan Ibu."
Dipanggil ibu, mata Desi mendelik tak suka, membuat Anita menahan tawanya. Anita sangat tahu jika ibunya tidak mau dipanggil dengan sebutan ibu lagi semenjak sang ibunda menikah lagi dengan seorang duda pengusaha kaya raya.
Anita lalu bersalaman dengan ayah tirinya, walaupun bukan ayah dan anak kandung, namun sangat terlihat kasih sayang diantara keduanya yang begitu tulus.
Zaidan lalu menghampiri kedua mertuanya, dia menyalami keduanya satu persatu.
Anita lalu menggandeng sang ibu untuk memasuki rumahnya, diikuti oleh Sastro dan Zaidan di belakangnya.
Desi dan suaminya yang baru pertama kali mengunjungi rumah putrinya sedikit tercengang mengetahui apartemen yang dihuni Anita dan suaminya ternyata apartemen kecil nan sederhana yang sangat jauh dari kesan mewah.
"Duduklah ibu. Ayah. Aku akan ambilkan minum dulu," ucap Anita sambil berjalan menuju dapur yang letaknya tak jauh dari ruang tamu.
Zaidan duduk menemani kedua mertuanya.
"Nak Zaidan. Bagaimana pekerjaanmu?"
"Alhamdulillah baik dan lancar Ayah."
"Jadi bagaimana dengan tawaran ayah tempo hari?"
Zaidan tersenyum.
"Mohon maaf ayah. Setelah saya pikir-pikir. Saya tidak ahli bekerja di bidang itu. Saya tidak yakin bisa menjalankan perusahaan itu dengan baik bila saya yang memimpin."
Desi dan Sastro lagi-lagi saling berpandangan, kaget dengan jawaban Zaidan yang menolak tawaran pekerjaan darinya.
"Kan sudah ayah bilang kamu bisa sedikit-sedikit belajar sambil bekerja nanti."
"Maaf ayah. Terima kasih atas tawarannya, tapi saya memilih untuk tetap fokus saja pada pekerjaan saya yang sekarang."
"Baiklah kalau seperti itu nak. Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi ayah."
Zaidan mengangguk.
Tak lama Anita datang dengan membawa minuman dan makanan kecil.
Mereka-pun berbincang bersama, tak lupa Desi memberikan oleh-oleh yang dibawanya dari luar negeri untuk sang putri dan menantunya.
"Ibu. Ini pasti mahal sekali. Terima kasih ya." Anita memeluk ibunya.
Zaidan juga tak lupa mengucapkan rasa terima kasihnya kepada sang mertua karena telah memberikan sepasang jam tangan mewah untuknya dan sang istri.
Tiba-tiba ponsel Zaidan berdering, dia berdiri dan meminta izin untuk mengangkatnya.
"Sayang. Mami pikir apartemen ini terlalu kecil," ucap Desi setengah berbisik pada putrinya setelah Zaidan pergi.
"Memang kecil. Tapi kalau hanya untuk kami berdua, ini lumayan besar kok."
"Kenapa kalian tidak pindah saja ke apartemen pemberian dari kami?" Ayah memberi saran.
Anita tersenyum.
"Kalau untuk sekarang kami tidak membutuhkan apartemen yang besar, mungkin kalau kita sudah punya anak baru kita akan memikirkannya."
"Tapi kalau menurut mami, bukan masalah besar atau kecilnya, tapi apartemen ini terlalu sederhana untuk kamu anak mami," ucap Desi lagi mencoba mengutarakan isi hatinya.
Anita menahan senyumnya.
"Aku mengerti maksudnya ibu. Asal ibu tahu jika di hidupku sekarang aku belajar banyak hal. Kesederhanaan bukan hanya mengajarkanku untuk melihat keindahan dari setiap kemewahan, tapi yang lebih penting juga mengajarkanku untuk melihat keindahan dari hal-hal yang sederhana."
soalx jau dri suami😚😚
sy suka ceritax dan akan slalu menunggu kelanjutanx
smangat thor km hebat🙏🙏