NovelToon NovelToon
Stuck On You

Stuck On You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: _Sri.R06

Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.

Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.

Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.

Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jadilah Anak Baik!

“Aku bilang juga apa? Setelah kejadian terakhir kali itu, seharusnya kau lebih berhati-hati Agnia. Dia mungkin akan mencari masalah dengan salah-satu dari kita,” kata Windy, saat mereka melangkah di koridor setelah selesai menghadiri kelas hari itu.

Agnia yang melihat ekspresi Windy tampak masam tidak bisa menahan dengusan geli, dia menghela napas untuk kemudian berkata, “Sudah, tidak perlu dipikirkan lagi, lagi pula, dia sepertinya tidak mengenaliku saat kami bertemu kemarin. Jadi seharusnya itu tidak termasuk dalam membalas dendam,” kata Agnia, terlampau tenang.

“Tapi lihat saja, jika tiga makhluk dari dunia lain itu mencari masalah lagi denganmu, aku tidak akan segan-segan menjambak rambut mereka sampai botak!” Tangan Windy bergerak liar, seolah ingin menghancurkan apapun yang ada dalam pikirannya itu.

Agnia spontan tertawa, selalu terhibur saat temannya tidak bisa menahan emosi seperti sekarang ini.

“Jangan tertawa!” seru Windy memberi peringatan, membuat Agnia merapatkan bibir meski sesekali tetap terkikik kecil karena sulit menahan dorongan geli di perutnya.

“Baiklah-baiklah, maaf,” imbuh Agnia, saat melihat Windy menatap tajam ke arahnya.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, hingga sampai di ujung koridor. Mereka berpisah, karena Agnia memiliki urusan lain saat ini. Sementara Windy, wanita itu tampaknya memiliki masalah lebih besar.

“Serius, tidak apa-apa, kan kalau aku tidak menemuimu menemui dia?” tanya Windy, raut wajahnya tampak sudah berubah, tangannya sudah menyentuh perut seolah tengah menahan sesuatu.

Agnia mengangguk. “Iya, cepat ke toilet sana. Kalau kamu lahiran di sini, kan bahaya!” Agnia bergurau, lantas tertawa saat melihat mata Windy yang membulat, namun dengan cepat wanita itu berlari saat sudah tidak bisa menahan lagi lebih lama.

Agnia yang melihat kepergian temannya itu hanya bisa menggeleng pelan. Dia kemudian melanjutkan perjalanan hingga kakinya berhenti di depan sebuah ruangan yang sebelumnya diberitahukan oleh Windy.

“Di sini, kan?” Agnia bergumam, saat melihat pintu yang memiliki kaca di tengahnya itu. Dilihat sekilas, ruangan yang berada di lantai atas itu tampak tidak terpakai. Mulai ragu apakah windy memberikannya informasi yang benar atau tidak sebelumnya.

Koridor di lantai itu juga sebenarnya tidaklah sepi. Banyak sekali mahasiswa yang berlalu-lalang. Beberapa kelas juga masih melakukan pembelajaran, ditambah pencahayaan dari kaca jendela yang ukurannya besar membawa sinar mentari yang cukup di tempat itu.

Namun, saat itu, karena Agnia merasa ragu apakah ada orang di dalam ruangan itu atau tidak, pada akhirnya wanita itu berniat kembali saja. Mungkin dia akan mencobanya lagi nanti, tentu saja dengan Windy yang mungkin saja bisa menemaninya.

Namun, baru saja Agnia berbalik, dia sudah dihadapkan dengan seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depannya. Agnia spontan mundur, nyaris saja bertabrakan dengan dada pria di depannya. 

“Emang gak punya mata, ya?! Hampir saja kamu mengotori pakaian Evan!”

Itu adalah suara orang lain. Suara seorang wanita yang rasanya Agnia pernah mendengarnya di suatu tempat.

“Masih tidak pergi juga?!” 

Suara itu kembali terdengar. Agnia kini mencari asal suara itu, yang ternyata tepat di belakang pria yang hampir saja bertabrakan dengan dia. 

Bia!

Ternyata bukan hanya Agnia, wanita yang Agnia kenali sebagai Bia itu tampak mengernyitkan dahi, tampaknya dia juga mengenali Agnia. Agnia yang menyadari akan ada masalah baru yang menimpanya tidak ingin memperburuk situasi.

Jadi, untuk mempercepat semuanya, Agnia hendak berlalu dari sana secepat mungkin. Meninggalkan calon masalah barunya itu di belakang.

Namun itu hanyalah angan, karena saat Agnia baru saja melewati pria itu, pergelangan tangannya diraih oleh seseorang, membuat langkah kaki wanita itu terhenti.

Ternyata pria itu, dia yang menahan Agnia saat ini. Agnia mendongak untuk melihat siapa pria yang tampaknya ingin memberikan masalah padanya.

Namun, saat itu, Agnia justru tertegun. Ternyata pria yang sedari tadi Agnia cari kini sudah berada di hadapannya. Salah dia karena tidak mendongak untuk hanya sekedar melihat wajah pria itu.

“Kenapa di sini?”

Agnia tertegun, ya, benar! Itu suara yang sama yang berbicara dengannya kemarin. Jadi, Agnia bisa memastikan jika dia tidak salah mengenali orang.

Agnia menarik tangannya, hingga terlepas dari pria itu. Pria yang tadi dipanggil oleh Bia dengan sebutan Evan tampak mengangkat sebelah alis menunggu Agnia berbicara.

Saat itu, Agnia mengangkat paper bag berisi Hoodie yang dipinjamkan oleh Evan. “Ini—” katanya, “terima kasih untuk yang kemarin.”

Saat paper bag itu sudah berada di tangan Evan, Agnia tidak lagi membuang waktu untuk tetap di sana. Apalagi, saat tanpa sengaja pandangannya mengarah pada wajah Bia yang sudah merah padam, Agnia langsung pergi dari sana setelah mengangguk singkat pada teman Evan yang lain.

Namun, dia tidak sadar, perkataannya yang barusan justru membawa pemikiran berbeda pada orang yang mendengar tidak terkecuali Bia.

Empat teman Evan tampak tercengang sembari menatap kepergian Agnia, terakhir mengarah pada pria yang menjadi objek kebingungan mereka,yang justru masih tenang sambil memperhatikan paper bag berisi hoodie yang kemarin dia berikan pada Agnia.

“Bro—kalian … itu—”

“Jangan memikirkan sesuatu yang tidak terjadi!” tukas Evan, dia tahu kemana maksud perkataan salah satu temannya itu. Dan, jelas dapat menebak apa yang saat ini berada di kepala teman-temannya yang lain.

“Aku pikir … kau sudah sampai sejauh itu dengan dia—” Mendapat tatapan tajam dari Evan membuat pria yang baru saja hendak mengatakan sesuatu langsung tergagap. “Iya-iya, kami salah paham. Tapi, dia cukup cantik juga, ya. Apalagi aura yang dibawanya itu cukup tenang,” katanya lagi, tanpa sadar tersenyum namun langsung terbatuk heboh saat Evan malah memukul belakang kepalanya dengan tidak manusiawi.

Dia memang seperti itu. Evan berjalan lebih dulu, memasuki ruangan yang menjadi tujuan mereka. Tanpa sadar, bibirnya menyunggingkan senyum sembari sesekali menatap paper bag yang berada di tangannya.

“Kamu tidak memiliki urusan apapun lagi dengan Evan, kan? Jadi sebaiknya cepat pergi.” Pria lain yang berada di depan Bia berdiri di ambang pintu, menahan wanita itu yang berniat mengikuti Evan untuk masuk ke dalam.

“Tapi—”

“Sudahlah, bagaimanapun, Evan itu tidak akan tertarik padamu. Jadi, berhenti di sini, oke?” bersamaan dengan itu, pria bernama Rico tadi menutup pintu dengan kasar, membuat Bia harus menahan diri agar tidak menendang pintu di depannya itu.

“Aku tidak akan menyerah, Evan. Kamu pasti jadi milikku cepat atau lambat!” gumamnya, penuh percaya diri. Bia kini menatap arah kepergian Agnia tadi, matanya tampak penuh dengan kilatan amarah. Saat rahangnya mengetat dengan sebelah jemari tangan yang terkepal erat, dia mengatakan. “Dan untuk kamu, aku tidak akan membiarkanmu begitu saja!”

***

Agnia sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya malam itu, saat dia menemukan kejadian menegangkan di salah satu jalan yang memang terkenal jarang dilewati.

Jelas Agnia tidak bisa tidak peduli, apalagi dia memang harus melewati salah satu gang yang kebetulan di mana para anak muda itu berkelahi.

Benar, di sana … Agnia menemukan seorang pemuda yang tengah dikeroyok oleh lima orang pemuda lainnya. Mereka tampak masih seumuran.

Agnia benar-benar dibuat bingung dengan apa yang terjadi. Ingin menolong, dia bingung bagaimana harus melakukannya. Sebelumnya Agnia memang tidak menaiki angkutan umum hingga sampai ke tempat tinggalnya. Karena itu, Agnia hanya seorang diri karena memang hanya tinggal melewati gang di depannya mungkin tidak sampai 3 menit berjalan kaki, dia sudah sampai di depan kost khusus putri.

Agnia mendekat, dia masih bisa mendengar erangan saat salah satu dari mereka terkena pukulan dari satu orang yang dikeroyok itu. Agnia meringis, dari posisinya ini, dia bisa melihat cukup jelas adegan mengerikan itu.

Hingga, saat matanya menangkap sesuatu yang janggal di depan sana. Agnia tidak bisa lagi memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Namun, saat salah seorang dari lima orang itu mengambil balok kayu berukuran sedang kemudian mengarahkannya ke arah orang yang sedang mereka keroyok. Agnia merasa semuanya menjadi jelas sekarang.

Agnia seketika itu berdiri lebih tegak, alarm untuk menyelamatkan orang lain kini menjadi begitu kuat dalam dirinya.

Agnia menarik napas begitu kuat, setelahnya berteriak sekuat mungkin.

“MALING! TOLONG ADA MALING!”

“TOLONG!”

Tepat bersamaan dengan apa yang Agnia teriakkan itu, kelima orang itu tampak panik, kemudian terburu-buru meninggalkan satu pemuda yang tampak menyedihkan di sana. Mereka menaiki motor yang sudah terparkir di sisi jalan, kemudian melaju lebih kencang meninggalkan satu orang pemuda yang tadi mereka keroyok itu tanpa perasaan.

Agnia bisa menghela napas lega, ada bagian dari dirinya yang memang begitu mengkhawatirkan sosok yang kini sedang terduduk di atas aspal di sana.

Jadi, dengan jantung yang masih menunjukan ritme yang kencang. Agnia memutuskan untuk melihat keadaan remaja lelaki itu.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Agnia saat dia sudah berdiri di samping tubuh yang terlihat lelah itu.

Mendengar suara asing barusan, remaja itu tidak lantas mendongak. Dia terlebih dulu berdiri, barulah kemudian melihat siapa wanita yang barusan berbicara kepadanya.

Agnia mengangkat kedua alisnya, menunggu jawaban pemuda itu. Namun, selanjutnya hanya anggukan singkat yang menjadi jawabannya.

Remaja itu ternyata menjulang tinggi di depan Agnia, wanita itu harus mendongak untuk memperhatikan wajah rupawan di depannya.

Agnia meringis melihat banyak luka yang mulai membiru di wajah itu. Sayang sekali, pikirnya.

Kemudian Agnia memperhatikan pakaian kemeja putih yang dikenakan remaja itu. Tampak kotor, dan ada noda merah di kerahnya. Dia bisa menebak jika itu adalah noda darah yang mungkin saja menetes dari sudut bibir pemuda itu yang terlihat sedikit robek.

“Ayo, ikut dengan Kakak.” Agnia menarik tangan remaja itu, namun yang dia dapatkan selanjutnya malah tepisan kasar yang membuat Agnia tersentak.

“Jangan memegangku! Aku bahkan tidak mengenalmu,” katanya, dengan sorot mata merendahkan. Terasa sekali kalau saat ini dia merasa risih dengan sikap Agnia yang terasa kurang ajar.

Agnia merasa matanya berkedut, bibirnya sedikit terbuka bingung harus mengungkapkan kekesalannya saat ini. Bahkan dia tidak mendapat ucapan terima kasih?

“Kau terluka, aku bisa mengobatimu. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini, aku juga tidak berniat buruk!” ujar Agnia, balas menatap tajam remaja itu.

“Tidak—”

“Jadilah anak baik, oke!” decak Agnia, nada suaranya terdengar dingin.

Remaja itu tersentak atas respon tubuhnya sendiri. Tepat saat untuk kedua kalinya tangan lembut wanita itu menarik pergelangan tangannya, justru dia merasa perasaan nyaman menjalari rongga dadanya, terasa hangat.

Kenapa … kenapa justru aku tidak bisa menolak permintaan wanita ini?! Ada apa sebenarnya dengan tubuhku? Dan saat dia tersadar, tubuhnya secara naluri mengikuti langkah Agnia yang menuntunnya mulai memasuki gang kecil di samping mereka.

.

.

.

“Siapa namamu?” tanya Agnia.

Saat ini mereka berada di teras depan kost wanita itu, Agnia dan pemuda itu duduk di kursi kayu dengan meja kecil di antara mereka. Sebelumnya Agnia tentu saja sudah meminta ijin pada pemilik kost, namun Agnia harus menggunakan alasan jika mereka adalah kerabat jauh sehingga itu tidak akan menimbulkan kecurigaan.

Agnia sudah membawa kotak P3K juga baskom kecil berisi air hangat, dengan handuk kecil bermaksud untuk membersihkan sisa darah di beberapa luka di wajah remaja itu.

“Varo,” jawabnya.

Agnia mengangguk saja. “Aku akan membantumu mengobati lukanya, atau … kau ingin melakukannya sendiri?” tanya Agnia.

Saat itu, dia melihat Varo diam tidak menjawab. Jadi Agnia menganggap itu sebagai ‘ya’.

Agnia mulai memeras handuk kecil yang sudah dia basahi dengan air hangat. Selanjutnya menempelkan handuk itu dengan gerakan pelan pada sudut bibir Varo yang terdapat jejak darah. Setelahnya, mengganti air tadi, dan melakukan hal yang sama pada beberapa luka lain yang terlihat membiru.

Agnia memperhatikan wajah itu, tidak ada ringisan saat dia menekan pelan luka di wajah Varo. Kulit putih pucatnya kini telah dipenuhi warna biru di beberapa tempat. Agnia menghela napas, ada rasa sakit di hatinya saat melihat wajah penuh luka itu.

“Kenapa kalian berkelahi?” tanya Agnia sesaat kemudian, sambil mengoleskan salep di luka Varo.

“Aku tidak tahu,” jawabnya, terdengar jujur. Varo memperhatikan wajah wanita asing di depannya. Wanita itu tampak meringis, padahal sudah berulang kali menekan luka pada wajahnya.

Padahal, saat itu Varo tidak menunjukan kalau dia kesakitan, namun justru malah wanita itu yang seolah mewakilinya.

Agnia menaikkan pandangannya, kini bersitatap dengan netra gelap itu. “Bagaimana bisa tidak tahu. Apa mereka tidak memiliki pekerjaan lalu tiba-tiba memukulimu, begitu?” tanya Agnia.

“Mungkin.”

Agnia berkedip dua kali, dia menatap tidak percaya dengan jawaban Varo barusan. Namun akhirnya tidak lagi menanggapi, hanya fokus pada luka di wajah remaja itu.

Varo memperhatikan Agnia untuk kedua kalinya, namun saat melihat netra berwarna keemasan itu, tiba-tiba luapan perasaan yang sudah lama tidak dia rasakan itu seolah kembali muncul. Ada kumpulan rasa sakit juga kerinduan. Semakin lama Varo memperhatikan Agnia, justru dadanya terasa semakin sesak.

“Jadi begitu?” Suara seorang pria terdengar di saat suasana dalam keadaan hening saat itu, nyaris saja menciptakan suasana horor jika saja Agnia tidak mengenali suara itu.

Spontan kepalanya mengarah ke arah depan, dan saat itu matanya membulat sempurna melihat Abian ternyata benar-benar berada di tempat tinggal Abian

Dia … bagaimana bisa ada di sini? Batin Agnia.

Yang lebih penting adalah … bagaimana pria itu bisa masuk, saat gerbang depan seharusnya terkunci. Bahkan kuncinya saja ada pada Agnia.

Namun Agnia tetap menjawab pertanyaan tadi, sembari mengernyitkan dahi. “Apa?” tanyanya, ingin memperjelas apa maksud Abian.

“Jadi seleramu adalah anak remaja yang usianya jauh lebih muda darimu?” jawab Abian tanpa beban, sementara Agnia sudah membulatkan matanya mendengar perkataan tidak masuk akal pria di depannya itu.

1
Jam Jam
ceritanya bagus ka, dilanjut ya kak. Semangaaat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!