Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Again and Again
Setelah melewati perdebatan batin yang cukup menyiksa, Reno akhirnya menggerakkan jarinya untuk menerima panggilan. Ponsel diletakkan di telinga dan mulai menyapa, “Halo, Sa.” Di rungunya sendiri, suara yang keluar kedengaran begitu bergetar. Kentara sekali tidak siap untuk kembali bertegur sapa dengan seseorang yang susah payah berusaha dilupakan.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Sampai sembilan detik berlalu, Reno tak kunjung mendapatkan sahutan. Keningnya berkerut, lalu dibawanya ponsel ke depan wajah untuk memeriksa apakah panggilannya betulan sudah tersambung. Hasilnya, terlihat jelas ikon detik yang angkanya terus berubah, pertanda bahwa ia tidak sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
“Sa?” panggilnya. Jika dalam hitungan ke-tiga masih tidak ada jawaban, ia akan menutup panggilan.
Biarlah ia berpikir bahwa mungkin saja Clarissa hanya sedang tidak sengaja menghubungi dirinya. Mungkin ponselnya ditinggalkan dalam keadaan layar tidak terkunci dan nomornya terdial ketika sang empunya ponsel sedang tidur.
Tetapi, di detik ke-dua, suara perempuan yang tidak asing menyentuh telinganya. Saking lamanya tidak mendengar suara itu, Reno sampai merasakan buku kuduknya merinding. Ada sensasi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semacam luapan kerinduan yang ditahan-tahan sedemikian rupa, bercampur dengan adanya upaya untuk menarik diri mundur sejauh-jauhnya.
“Iya, kenapa Sa?” sekuat tenaga, Reno berusaha untuk tetap tenang. Jangan tanyakan kondisi jantungnya, sebab kini sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Apalagi saat suara lembut Clarissa mulai kembali terdengar, mengudara dengan nada yang berat dan sarat akan kepedihan.
Reno menahan napas, mengepalkan tangan kuat-kuat selama mendengarkan Clarissa berbicara di seberang. Dadanya bergemuruh, kepalanya menjadi berkali-kali lipat lebih berisik ketimbang hari-hari biasanya.
“Aku nggak tahu harus telepon siapa, Ren. Cuma kamu yang ada di kepala aku. Tolong....”
“Share lokasi kamu, aku ke sana sekarang.” Kalah. Reno sudah kalah. Perkataan untuk tidak lagi peduli nyatanya tidak bisa dia penuhi. Nyatanya, ketika lokasi yang dia minta berhasil dikirim, kakinya langsung bergerak cepat tanpa pikir dua kali.
Terburu-buru Reno menuruni tangga, hampir-hampir membuat dirinya jauh terguling karena melewatkan satu anak tangga. Kekalutan yang menguasai kepalanya bahkan membuatnya sampai tidak bisa lagi mendengar suara lain selain suara Clarissa yang mulai terisak di seberang sana. Sampai-sampai, suara Theresa yang cukup keras bertanya ia hendak ke mana pun terabaikan begitu saja.
Detik demi detik yang berlalu, Reno memacu langkahnya semakin cepat, tidak ingin membuang lebih banyak waktu dan membiarkan yang lebih buruk terjadi pada Clarissa.
...****************...
Nomor ini sedang berada dalam panggilan lain.
Ageeta terpaku menatap layar ponselnya. Niatnya hendak menghubungi Reno untuk memastikan bahwa lelaki itu sudah sampai di rumah dengan selamat, tetapi yang dia dapatkan malah nomornya tidak dapat dihubungi.
“Telepon siapa malam-malam begini?” monolognya, untuk sedetik kemudian menggelengkan kepala kuat-kuat. “Bukan urusan kamu, lah, Ageeta. Jangan rese jadi orang, ah!” sambil menampar pelan pipinya, menyadarkan diri sendiri untuk tidak melewati batas.
Akhirnya, karena tidak tahu juga kapan Reno akan selesai dengan panggilannya, Ageeta memutuskan untuk berhenti mencoba. Sebagai gantinya, ia kirimkan pesan pada lelaki itu. Ketika nanti pesannya dibalas, maka di saat itu ia akan tahu bahwa Reno sudah tiba dengan selamat.
Usai mengirim pesan, Ageeta beranjak dari sofa ruang tamu. Pintu dan jendela dicek sekali lagi untuk memastikan semuanya sudah terkunci dengan baik, kemudian televisi dimatikan dan dia beranjak meninggalkan ruang tamu.
Di depan pintu kamar, Rooney sudah menunggu. Tatapan matanya mengatakan ia sudah ngantuk berat, dan mereka sebaiknya segera pergi tidur.
Ageeta mengangguk dan bergegas membuka pintu kamar, membiarkan Rooney masuk mendahului dirinya untuk mengambil posisi tidur yang nyaman di atas kasur.
“Jangan kebangun malam-malam buat minta keluar, ya,” peringatnya. Pasalnya, Rooney suka terbangun antara pukul dua sampai tiga dini hari, menggaruk-garuk pintu minta keluar untuk kemudian minta masuk lagi setelah setengah jam berada di luar kamar—entah berbuat apa.
Rooney tidak menyahut, mengeong barang sekali pun tidak. Bocah bulu itu malah sudah melingkarkan tubuh di atas kasur, memejamkan mata dan mulai mendengkur.
Ageeta menghela napas pelan, lalu ikut membaringkan tubuhnya. Selimut ditarik sampai ke batas perut, membiarkan tubuh Rooney yang berposisi di dekat ketiaknya ikutan tercover.
“Selamat malam, sayangku,” kata Ageeta sambil mendaratkan kecupan di puncak kepala Rooney. Setelahnya, ia membaca doa dan mulai turut memejamkan mata. Kepalanya dipenuhi hal-hal indah, jadi ia tertidur dalam keadaan tersenyum. Tanpa tahu bahwa seseorang yang sedang dia pikirkan sedang berlarian, berjuang untuk menghampiri perempuan lain.
...****************...
Seberengsek apa pun dirinya sejak dulu, salah satu hal yang tidak bisa Reno tangani adalah ketika melihat Clarissa menangis. Dia selalu ingin menghajar siapa pun yang membuat perempuan itu menangis, bahkan jika itu adalah dirinya sendiri.
Malam ini, setelah sekian lama putus komunikasi, Reno tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan kembali menyaksikan perempuan yang pernah menduduki takhta tertinggi di hatinya itu kembali mengurai air mata.
“Saya nemuin Mbak ini lagi nangis sendirian di pinggir jalan dan kakinya luka-luka, makanya saya bawa ke sini biar dapat pertolongan pertama.” Seorang pemuda dengan sarung kotak-kotak terselempang di tubuhnya, menjelaskan.
Reno tidak menyahut, ingin mendengarkan lebih banyak. Posisi mereka saat ini berada di sebuah warung kopi. Tidak hanya bertiga, ada beberapa orang lain termasuk sang pemilik warung kopi yang merupakan sepasang suami istri.
“Kami udah coba tanya-tanya, tapi Mbak ini nggak mau jawab sama sekali. Waktu pertama lihat kami juga Mbak ini ketakutan banget, Pak. Kami sampai harus panggil ibu yang punya warung buat bantu yakinin kalau kami bukan orang jahat.” Pemuda lain berkaus partai ikutan menimpali.
Penuturan lain satu persatu mulai berdatangan dari mereka yang ada di sana, sementara Clarissa sendiri hanya terdiam memegangi gelas berisi teh yang sepertinya sudah mulai dingin. Reno bisa melihat jelas tubuh perempuan itu masih bergetar. Tak terbayang hal mengerikan apa yang menimpanya sampai bisa terdampar di pinggiran kota dalam keadaan kacau begini.
“Nggak apa-apa, biar saya yang urus sisanya, Mas. Terima kasih Mas-Mas ini sudah mau bantu.” Reno tersenyum tipis pada satu persatu pemuda yang telah menolong Clarissa.
“Sama-sama, Pak. Kalau begitu, kami izin pamit ya, mau pulang.” Pemuda yang pertama pamit, disusul teman-temannya yang lain.
Setelah segerombolan pemuda tadi pergi, hanya tersisa dirinya bersama Clarissa dan suami istri pemilik warung kopi. Yang kemudian, sepasang suami istri itu pun dengan sukarela menepi, bermaksud memberikan waktu untuk Reno dan Clarissa berbicara berdua.
Untuk beberapa lama, Reno diam terpaku di tempat duduknya. Otaknya bekerja keras, memikirkan hal apa yang pertama harus dia lakukan.
“Sa,” lalu dengan suara pelan, ia mengawali semuanya.
Kepala Clarissa yang semula tertunduk layu, perlahan terangkat. Di momen itulah Reno bisa melihat wajahnya yang sembab dan kedua netranya yang memerah. Kabut-kabut bening masih menghiasi kedua netra cantik perempuan itu, pertanda tangisnya belum sepenuhnya reda.
“It’s okay, ada aku di sini. Kamu nggak perlu takut lagi.” Dengan sedikit keraguan mengganjal di hati, Reno memberanikan diri menyentuh tangan Clarissa, berniat menenangkannya. “Kamu ... kamu masih selalu bisa andalin aku, Sa.”
Bak gayung bersambut, pernyataan itu membawa Clarissa melepaskan genggamannya pada cangkir, beralih menghambur ke dalam pelukan Reno dan mulai menangis lagi sejadi-jadinya.
Reno membalas pelukan itu, mengusap-usap punggung Clarissa sambil berkali-kali berbisik, “Nggak apa-apa, nangis aja sampai puas. Keluarin sampai kamu lega, habisin semua air matanya.” Dan setelahnya berbisik kepada dirinya sendiri, “Nggak apa-apa. Ini bukan apa-apa. Lo cuma sedang bersikap sebagaimana mestinya seorang manusia, Ren. Nggak apa-apa.”
Entah apakah memang tidak apa-apa untuk membiarkan dirinya kembali terlibat dengan Clarissa. Atau seharusnya, ia tahu bahwa masa lalu tidak pernah boleh dibawa-bawa lagi, apa pun alasannya.
Bersambung....
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️