Hazel nyasar masuk ke dalam novel sebagai karakter antagonis yang semestinya berakhir tragis dengan bunuh diri. Namun, nasib memihak padanya (atau mungkin tidak), sehingga dia malah hidup adem ayem di dunia fantasi ini. Sialnya, di sekelilingnya berderet cowok-cowok yang dipenuhi dengan serbuk berlian—yang terlihat normal tapi sebenarnya gila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Mata Duitan
Suasana di dalam kelas begitu ramai, dengan siswa-siswi yang terbagi dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Papan tulis dipenuhi dengan rumus dan grafik, sedangkan suara riuh rendah bercampur dengan tawa dan obrolan mengisi udara.
Di antara siswa-siswa yang sibuk, Hazel duduk di kursinya, dikelilingi oleh buku-buku dan lembar-lembar kertas yang bertaburan di atas mejanya.
Tania, duduk di sebelahnya sambil membolak-balik hasil kerja Hazel dengan tatapan kritis. "Lo kenapa sih mesam-mesem terus? Senyum lo mengganggu mata gue yang lagi fokus sama warna hitam di atas putih," ejek Tania dengan julid, mejitak kepala Hazel pelan.
"Sadis banget sih," batin Hazel sambil meringis merasakan tepukan ringan dari Tania, merasa sedikit tersinggung namun tidak bisa menahan senyumnya.
"Gue lagi bahagia tahu," ucap Hazel dengan nada yang penuh keceriaan.
Tania, yang awalnya ingin melanjutkan untuk membalik halaman, akhirnya terhenti dan memfokuskan pandangannya pada Hazel yang masih cengengesan. Ekspresi Tania berubah, menjadi lebih serius dan ingin tahu.
"Bahagia kenapa?" selidik Tania, tidak sabar untuk mengetahui alasannya.
"Tadi malam gue di-traktir Davian, gue baru tahu kalau dia tuh anak orang kaya," cerita Hazel dengan antusias. Suaranya sedikit terbawa euforia kejutan yang dia alami.
"Dan gue juga ketemu sama bundanya, sumpah di dunia ini dia orang pertama yang menurut gue paling cantik," tambahnya dengan semangat yang masih terpancar di wajahnya.
Tania memijit pelipisnya dengan lembut, mencoba menenangkan diri. Di dalam hati, dia merasa ingin sekali menjitak kepala Hazel untuk membuatnya sadar. Namun, dia sadar bahwa tindakan seperti itu hanya akan membuat Hazel semakin aneh
"Dan tadi gue ngajarin Bastian matematika, dia ngasih gue duit, banyak banget!" ujar Hazel antusias, sambil menggerakkan tangannya seolah-olah sedang memegang sejumlah uang yang sangat banyak.
"Heran gue sama lo. Lo kenapa jadi mata duitan gini sih?" keluh Tania, suaranya agak terdengar frustasi.
Hazel mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang biasanya penuh semangat sekarang memancarkan serius dan penuh pemikiran. Dia tidak langsung menjawab, melainkan membiarkan kata-kata Tania mengendap di udara, memberinya waktu untuk meresapi dan memahami maksud di balik pertanyaan tersebut.
"Karena di dunia nyata maupun dunia fiksi, uang itu menjadi penentu sikap seseorang ke lo," jawab Hazel dengan suara yang rendah, hampir terdengar seperti sebuah pengakuan yang pahit.
Dia tidak hanya berbicara kepada Tania, tapi juga kepada dirinya sendiri. Kata-kata itu mencerminkan pengalaman dan pengamatan hidupnya sendiri.
Hazel kemudian menambahkan, "Ketika seseorang memiliki banyak uang, terkadang itu bisa mempengaruhi cara mereka memandang hidup dan orang lain. Uang dapat membuka pintu kesempatan, tapi juga dapat mengubah sikap dan pandangan seseorang terhadap dunia."
***
Suasana parkiran mulai sepi di akhir hari, sinar matahari yang memudar memancar lembut di antara pepohonan yang menghijau. Hazel duduk sendirian di bangku sambil memegang buku kecil di tangannya.
Matanya tertutup sejenak, bibirnya komat-kamit, mungkin sedang mencerap isi dari halaman yang dibacanya. Dia merasa tenang di tengah keramaian yang mulai reda.
Tiba-tiba, suara Davian memecah keheningan. Dia duduk di samping Hazel dengan kakinya yang panjang menyelonjor, memperlihatkan sikap santainya. "Lo ngapain duduk sendirian di sini?" tanyanya, wajahnya terlihat penuh perhatian.
Hazel mengangkat kepalanya dan tersenyum cerah ketika melihat Davian. "Nungguin Tania," jawabnya dengan suara riang.
Dalam hati, Hazel memikirkan Davian dengan penuh kekaguman yang tidak terucapkan. "Ya ampun, Davian nih paling cocok dijadiin pacar, udah baik, lembut, murah senyum dan yang paling penting lebih kaya dari Tania," batinnya dengan seraut wajah kagum.
Davian merasa sedikit tidak nyaman dengan pandangan tajam Hazel yang mengamatinya dengan begitu terang-terangan. Meskipun begitu, ada juga rasa tergelitik di dalam dirinya.
"Jangan tatap gue kayak gitu," ucap Davian dengan nada sedikit tertahan, mencoba untuk tetap santai meskipun terganggu dengan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat, Hazel mengerutkan keningnya saat melihat Liliana, Enara, dan Ivanka mendekatinya dengan tatapan sinis. Di belakang mereka, Agler dan Bastian terlihat biasa saja, sementara Ananta selalu mencoba menghindar namun telinganya terlihat memerah.
"Lo jadi cewek gatel banget sih!" ketus Enara dengan nada mengejek, mencoba menyerang dengan kata-kata pedas.
Hazel hanya diam, memasukkan buku kecilnya ke dalam tas selempangnya dengan gerakan tenang. Dia berusaha untuk tidak terpengaruh meskipun hatinya berdebar-debar.
"Semua cowok mau lo embat, mulai dari Ananta, Febrian, Agler, Bastian, Davian bahkan lo juga deketin Kak Zen," tambah Ivanka dengan senyum sinis di wajahnya, mencoba untuk membuat Hazel tersinggung.
"Sabar mbak sabar," ucap Hazel dengan suara yang tenang, sambil mengisaratkan dengan kedua tangannya agar mereka diam.
"Lo sok cantik banget. Padahal mereka deketin lo karena..." ucap Enara, sebelum terpotong oleh Ananta yang tiba-tiba menegur keras.
"Enara!" ucap Ananta dengan suara meninggi, membuat semua orang di sekitar terkejut.
Enara memilih untuk diam, tetapi nadanya keras dan tangannya terkepal, menunjukkan ketegangan di antara mereka.
"Mereka deketin gue karena apa?" tanya Hazel dengan wajah polos, seolah-olah tidak tahu apa yang dimaksud oleh mereka.
Namun, sebenarnya Hazel sudah lama menyadari maksud dan tujuan sebenarnya dari perhatian cowok-cowok tersebut.
Ananta kemudian menarik lengan Hazel dengan lembut, mengalihkan perhatian dari keramaian. Dia membawa Hazel ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari situ. Dengan hati-hati, Hazel masuk ke dalam mobil Ananta.
Ananta mengunci pintu mobil dengan perlahan, lalu berjalan ke sisi pengemudi dan duduk di kursi pengemudi.
***
Davian menghela napas panjang, matanya menatap tajam Enara yang terdiam dengan jantung berdebar. Dia tidak menyukai pernyataan yang terlontar dengan begitu sembarangan.
"Mulut lo bocor banget ya, harusnya ditambal aja," ucap Davian dengan suara datar, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan yang dalam terhadap situasi ini.
Enara merasa tertekan, tetapi dia memilih untuk tetap diam, menyadari kesalahannya.
"Liliana udah sering bilang kalau misi ini dibatalkan, jadi jangan sangkut pautkan kedekatan gue maupun yang lain karena misi," ucap Agler sambil memutar-mutar kunci mobilnya dengan gerakan yang sederhana namun teratur.
"Tapi kalian kenapa jadi gini sih?" tanya Ivanka dengan suara agak terdengar frustrasi, lebih berani dibandingkan Enara dan Liliana.
"Gini gimana? Kita semua sama aja kok," jawab Bastian dengan santainya.
"Bas," Enara terdiam, ekspresinya mencerminkan kekecewaan yang sulit diungkapkan. Dia merasa frustrasi karena begitu sulit baginya untuk mencapai sosok seperti Bastian.
Liliana melangkah maju, menggandeng lengan temannya dengan lembut sebagai tanda untuk pergi. "Kita pulang aja," ajaknya sambil mencoba menenangkan situasi yang semakin tidak kondusif.
Davian tetap diam, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia masih merasa frustrasi dengan situasi ini. Dia menatap Enara dengan tatapan tajam sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya, membiarkan atmosfer yang tegang mereda sedikit demi sedikit.
Ivanka menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya yang tercampur aduk. Dia mengikuti langkah Liliana, menyadari bahwa ada saatnya untuk menyerah pada situasi yang tidak bisa diubah.
semangat terus author update nya ..😉