Disarankan baca "Dear, my first love" dulu ya🙃
"Kalo jalan yang bener, pake mata dedek."
Tangan Shawn setia berada di pinggang Zuya agar gadis itu tidak terjatuh dari tangga. Dan lagi-lagi gadis itu menatapnya penuh permusuhan seperti dulu.
Pertemuan secara kebetulan di tangga hari itu menjadi awal hubungan permusuhan yang manis dan lucu antara Shawn dan Zuya, juga awal dari kisah cinta mereka yang gemas namun penuh lika-liku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30 - Om jelek mesum!
Mobil Anson berhenti di sebuah penginapan.
"Di kampung kecil begini ada penginapannya? Kok bisa?" ceplos Zuya heboh sendiri.
"Wahhh, abang-abang liat! Ada monyet di pohon sana." kali ini gadis itu berseru dengan semangat menepuk-nepuk bahu Anson dan Logan.
"Ya ampun, nih bocah bawel banget dari tadi." Anson kesal karena kaget saat sang adik menepuk bahunya kuat-kuat.
Air muka ceria Zuya berubah seketika. Sebal pada abangnya. Ia pun memeletkan lidah ke Anson kemudian melihat ke arah dua monyet yang asyik bermain di atas pohon. Wajahnya kembali ceria.
Logan di sebelah Anson mati-matian menahan tawa. Menurutnya kalau mau bepergian dengan mobil dan perjalanannya jauh begini, gadis ceria dan heboh seperti Zuya memang cocok sekali di bawa. Biar sopirnya tidak cepat mengantuk.
"Zuzu, jangan ke sana!" Anson berseru kuat saat menyadari adiknya sudah keluar dari mobil dan berjalan ke arah pohon yang ada monyetnya.
"Bentar aja bang!"
Anson membuang nafas kesal.
"Sepertinya kau memang harus bawa dia kembali. Kau ingat kan kita datang untuk kasih vaksin ke mereka yang kena gigitan hewan rabies?" kata Logan.
Bahkan tanpa pria itu bilang pun Anson sudah tahu. Salah satu alasan mereka datang ke sini kan adalah untuk menangani kasus beberapa orang yang kena gigitan hewan rabies. Tim Anson yang lain akan datang besok pagi. Sesuai dengan arahan pria itu sebagai kepala divisi. Ia dan Logan datang lebih dulu malam ini untuk melihat lokasi. Mereka sekalian akan memberikan pengobatan gratis di kampung ini. Itu adalah program tim VVIP mereka. Biasanya di lakukan dua kali dalam setahun.
Zuya siap-siap mengambil ancang-ancang untuk lari saat sang abang mengikutinya dari belakang. Ia pun berlari kencang karena bang Anson mengejarnya dari belakang. Sayangnya larinya tak bisa mengalahkan sang abang. Dalam waktu cepat tubuhnya sudah melayang di udara. Abangnya mengangkat bak sekarung beras.
"Kalau kamu nakal terus abang pulangin!" ancam Anson.
"Zuzu nggak nakal bang. Emang salah main bentar sama monyet-monyet itu? Turunin Zuzu dong abang gantengnya Zuzu."
"Nggak ada. Kamu dilarang main sama monyet-monyet itu. Ada kemungkinan mereka terkena rabies. Abang ingetin kamu sekali lagi. Jangan coba-coba kamu deketin hewan-hewan itu."
"Oh." setelah abangnya bilang begitu barulah gadis itu patuh.
Anson menurunkan Zuya saat mencapai pintu masuk penginapan. Seorang resepsionis yang berdiri di depan menatap mereka keheranan. Beberapa orang di dalam sana juga. Karena ruang depan tersebut menyatu dengan tempat makan, tentu waktu mereka masuk langsung berhadapan dengan orang yang lain.
"Diam di sini, jangan kemana-mana." kata Anson memberikan peringatan kepada adiknya.
"Logan, tolong awasi anak nakal ini." Anson melirik Logan yang kini berdiri di belakang Zuya. Kemudian pria itu berjalan ke arah resepsionis.
"Blebleblebleble." Zuya meledek abangnya dari belakang. Logan tertawa.
"Kamu tuh ya, bener-bener." lelaki itu memegang kepalanya. Zuya pun tersenyum lebar.
"Halo,"
Logan dan Zuya sama-sama menghadap ke orang yang menyapa mereka. Seorang wanita cantik yang mungkin beberapa tahun lebih tua dari Zuya. Sekitar dua puluh lima tahun mungkin. Cantik, berpenampilan menarik, dan tidak seperti orang kampung. Kota banget malah gayanya, dan sedikit kebule-bulean. Mengingatkan Zuya kepada seseorang.
"Kalian mau nginap di sini?" tanya wanita itu kemudian. Zuya menganggukkan kepala.
"Itu, abang saya lagi melakukan transaksi sama kakak resepsionis." balas Zuya. Wanita itu melirik Anson sekilas lalu memandangi Zuya dan Logan lagi.
"Perkenalkan nama saya Miranda." ia memperkenalkan diri.
Zuya menyambut dengan ceria, berbeda dengan Logan yang biasa saja.
"Zuya."
"Logan." Logan dan Zuya bergantian memperkenalkan diri pada Miranda.
"Kak Miranda asli anak kampung sini?" Zuya bertanya. Gadis itu gampang akrab dengan orang, apalagi kalau orangnya ramah.
"Bukan. Kebetulan kakak saya membuka bisnis penginapan di sini, saya yang membantunya mengelola bisnis ini."
"Oh, berarti kak Miranda adik dari yang punya penginapan ini dong?"
Miranda tertawa pelan kemudian menganggukkan kepala. Sesekali matanya melirik ke Logan yang tampak cuek.
Lalu Miranda mengamati Zuya lagi. Menurutnya gadis yang sedang ngobrol dengannya ini asyik orangnya. Cantik juga. Penampilannya terkesan sederhana, tapi Miranda jelas tahu berapa harga pakaian yang dia kenakan. Jelas dia bukan berasal dari keluarga sederhana. Lihat saja kedua laki-laki yang datang bersamanya juga, mereka semua pasti anak dari keluarga kaya.
Bukannya Miranda membanding-bandingkan status dan merendahkan orang miskin, ia hanya mencoba mencocokkan perempuan yang sesuai dengan selera mamanya kalau ia membantu kakaknya menjodohkan laki-laki jomblo seumur hidup itu dengan seorang wanita. Tadi pas lihat gadis muda ini, entah kenapa Miranda langsung kepikiran kakaknya yang jomblo akut itu.
Miranda heran kenapa kakaknya itu setia sekali menjomblo. Memang pria itu pernah dijodohkan, tapi perjodohan itu gagal. Gadis di depan ini, walau menurutnya masih sangat muda, tapi dia merasa cocok dengan kakaknya. Kebetulan kakaknya juga sedang ada di sini. Pas sekali.
"Kak Miranda, di sini ada pemandian air panasnya nggak?"
"Ada. Kalian juga boleh memilih kamar yang kalian sukai. Ada cukup banyak kamar di penginapan ini. Kalian bisa pilih sesuka kalian."
"Bang Anson, Zuzu mau pilih kamar sendiri!" Zuya berseru kuat, ia sudah berjalan dan berhenti di dekat abangnya. Anson yang tengah bicara dengan resepsionis menatapnya tajam.
Terjadi perdebatan yang cukup panjang antara Zuya dan abangnya. Tapi akhirnya Zuya mendapatkan keinginannya. Ia akhirnya memilih kamar yang direkomendasikan oleh Miranda. Salah satu kamar terbesar di penginapan itu. Berada di lantai dua. Logan dan Anson sudah memilih kamar di lantai satu.
"Ingat, kalau mau jalan-jalan keluar, jangan malam ini. Malam ini kamu hanya bisa jalan di sekitar area penginapan. Selalu aktifin hape kamu. Abang sama Logan mau ke kelurahan sebentar." Anson bicara panjang lebar.
"Iya ngerti baang ..."
"Ya sudah, masuk sana. Jangan lupa di kunci pintunya." Zuya pun masuk setelah mengambil koper besar miliknya dari tangan abangnya.
Ia sudah mengantuk berat.
"Besok aja jalan-jalannya. Ini udah malam juga." gumamnya. Habis mandi dan mengeringkan rambut, gadis itu mematikan lampu dan langsung melompat ke tempat tidur, menutupi seluruh badannya dengan bedcover dan ketiduran.
Satu jam kemudian, pintu kamar itu terbuka. Seorang laki-laki tinggi besar memasuki kamar. Ia juga sudah lelah seharian ini. Ia akan berbaring sebentar sebelum mandi.
Pria itu menyalakan lampu tidur dan naik ke atas kasur. Ia ingin menggapai bantal guling, tapi sesuatu yang dia pegang terasa aneh. Pria itu terus meraba-raba dan meremas benda yang terasa kenyal itu dan seperti ada bijinya.
Apa ini?
Shawn membuka matanya dan menyibak bed cover yang dia pikir di dalamnya adalah bantal guling. Pada saat yang sama, Zuya juga membuka matanya. Tatapan mereka bertemu. Hening sebentar, kemudian Zuya yang kaget dengan keberadaan orang lain dalam kamar itu, bahkan tadi ...
"Ahhhh ... Mmph," gadis itu berteriak kencang tapi laki-laki di depannya
cepat-cepat membekap mulutnya.
Om jelek mesuum!
Umpat Zuya dalam hati. Kenapa laki-laki itu ada di sini?