Antagonis Nyeleneh
Rania, dengan gaya santainya yang khas, melirik Hazel yang sedang sibuk mengelilingi rak buku dengan tatapan yang tak sepenuhnya yakin.
Rania mendekat perlahan, langkahnya mengikuti irama tawa di antara rak-rak yang dipenuhi oleh berjuta cerita.
"Udah dapet belum?" tanyanya, seolah meragukan kemampuan Hazel untuk menemukan sesuatu yang benar-benar menarik.
Hazel menghentikan jari-jarinya yang tengah meraba cover sebuah novel, matanya bergerilya dari satu judul ke judul lainnya. "Belum ada yang srek nih," ujarnya sambil mendesah pelan. "Ceritanya itu-itu aja."
Rania tersenyum penuh kemenangan saat dia menemukan apa yang dicarinya. Dengan gemetar sedikit, ia mengulurkan novel yang dipegangnya ke arah Hazel.
"Nih," ucapnya sambil menunjukkan sinopsis di belakang cover yang dihampirinya.
Hazel menerima buku itu dengan tatapan yang skeptis, matanya meluncur dari cover yang menarik ke sinopsis yang terpampang di halaman belakang.
"Ceita macam apa nih?" ujarnya sambil mengernyitkan keningnya. "Sinopsisnya kurang gereget, tapi covernya bagus sih."
Rania tertawa lepas, membalas dengan candaan, "Emangnya kita beli buku buat makan covernya, Haz? Kita kan mau cerita yang bisa bikin hati srek."
"Ya enggak juga sih. Tapi gue males bacainih novel, karakter antagonisnya pake nama gue," ucapnya dengan suara yang agak malas.
Rania, yang selalu ceria, mendekat dengan senyuman penuh arti di wajahnya. "Nama doang yang sama, tapi takdir beda," katanya sambil mengedipkan mata.
"Kalau pala lo kena nih novel, sakit loh," goda Hazel sambil menepuk-nepuk novel di tangannya seolah-olah bersiap untuk menimpuk kepala Rania.
Mereka berdua terkekeh dalam suasana yang riang di antara rak-rak buku yang penuh warna dan cerita.
Namun, tiba-tiba saja, seperti petir di siang bolong, Hazel merasa pusing yang tak terkendali. Semuanya berputar-putar di sekelilingnya dan pandangannya menjadi buram. Perasaannya seakan-akan melayang di antara kesadaran dan kegelapan.
Yang terakhir terlihat oleh matanya adalah senyuman lebar Rania sebelum semuanya menjadi hitam.
"Selamat berjuang, Hazel,"
***
Hazel membuka matanya perlahan-lahan dan mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang bernuansa putih bersih.
Ia mengamati sekelilingnya dengan penuh kebingungan, mencoba memahami di mana ia berada.
Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan, dan ia melihat Tania, seorang wanita yang terlihat elegan dengan aura duit yang kental.
"Lo udah bangun?" tanya Tania sambil meletakkan handpon-nya di meja dan mendekati tempat tidur Hazel.
"Bening banget nih cewek," batin Hazel, matanya tak henti-hentinya menatap Tania dengan penuh kekaguman.
"Zel, otak lo masih aman kan?" tanya Tania dengan kening yang mengerut, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam terhadap Hazel.
"Aman, aman kok," jawab Hazel dengan cepat, mencoba menenangkan Tania meskipun dirinya sendiri masih merasa kacau.
Namun, kebingungan Hazel tak berhenti sampai di situ. Ia memandang Tania dengan tatapan yang semakin membingungkan.
"Tapi lo siapa?" tanya Hazel tiba-tiba, keheranan terpancar dari wajahnya.
Tania langsung merespons dengan cepat. Tanpa ragu, kepala Hazel langsung digetok oleh Tania.
"Makin puyeng nih kepala gue," keluh Hazel sambil memijat pelan pelipisnya, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin mengganggu.
"Lo sih ada-ada aja. Gue Tania, sahabat dekat lo," ucap Tania sambil melontarkan senyum manis, tapi matanya merajuk.
"Hah, sahabat?" Hazel menjawab dengan keheranan yang jelas terpancar di wajahnya. "Lo ngelindur ya? Gua cuma punya sahabat satu orang dan namanya Rania, bukan Tania."
Tania menatap Hazel dengan tatapan campuran antara tidak percaya dan sedikit kesal.
"Kayaknya otak lo geser ya?" celetuknya sambil memperlihatkan jemarinya yang tersusun rapi.
Hazel menatap jemari Tania dengan tatapan terbelalak, tidak mengerti apa maksud dari gerakan itu. Namun, sebelum dia sempat bertanya, Tania dengan cepat menggerakkan jemarinya dengan lancar dan lihai di depan wajah Hazel, seakan-akan menciptakan efek suara yang menyeramkan.
***
Revan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, atmosfer di dalam mobil terasa tegang. Di kursi belakang, Liliana duduk dengan tatapan cemas, sementara jemarinya terus bermain-main.
"Kak Revan, jangan marahin Hazel ya. Dia enggak sepenuhnya salah," ucap Liliana pelan, matanya tetap tertuju ke arah luar jendela.
"Iya," jawab Revan dengan suara datar, tangannya yang memegang kemudi terasa semakin erat di kepalkan.
Suasana di dalam mobil terasa hening sejenak, hanya suara mesin dan gesekan ban dengan aspal yang terdengar.
Revan terlihat tenggelam dalam pemikiran, matanya fokus pada jalan di depan namun pikirannya jelas terganggu oleh sesuatu yang baru terjadi.
***
Tania mengantar Hazel pulang ke rumahnya. Setelah mobil berhenti tepat di depan pintu rumah Hazel, Hazel segera membuka pintu dan dengan hati-hati turun dari mobil.
Sementara itu, Tania masih duduk nyaman di dalam mobil, membuka kaca dan tersenyum melihat Hazel yang sudah berdiri di luar.
"Kalau otak lo rusak, kita beli yang baru, lagi banyak flash sale," celetuk Tania dengan nada bercanda, sambil menahan tawa.
"Gak boleh berkata kasar, gak boleh berkata kasar, harus sabar. Tapi, dia minta di kasarin, gak bisa di sabarin" batin Hazel sambil menjaga ekspresi wajahnya.
"Istirahat sana, besok gue jemput," ucap Tania.
"Jalan pak," seru Tania kepada sopirnya, dan mobil mulai bergerak menjauh dari Hazel yang masih berdiri di pinggir jalan.
Hazel menghela napas panjang, merenung sejenak di tengah keheningan malam yang mulai menyelimuti. Dia memandang langit yang gelap, mencoba meredakan pikirannya yang masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang pasti.
"Ooo, asu..." gumam Hazel tanpa sadar, mengeluarkan umpatan spontan yang menggambarkan kebingungannya.
Ia menggosok-gosok pelan lengannya yang terasa dingin karena angin malam yang sejuk.
"Sebenernya Rania siapa sih? Kok gue bisa nyasar ke dunia novel kayak gini," keluhnya, ekspresinya penuh frustrasi. Semakin ia mencoba menerka-nerka, semakin tak masuk akal baginya.
Dunia di sekitarnya terasa begitu aneh, seolah-olah dia telah terjebak dalam sebuah cerita yang tidak masuk akal. Dia merasa seperti terdampar di tengah-tengah plot yang rumit dan tak terduga, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana dia bisa sampai ke situ.
"Dunia ini benar-benar gak masuk akal," gumamnya lagi, mencoba meredakan frustrasinya.
***
Setelah mengantar Liliana, Revan melangkah cepat menuju rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Liliana. Langkahnya mantap, namun pikirannya masih terbayang-bayang kejadian beberapa menit yang lalu. Di teras rumahnya, dia disambut oleh Hazel.
"Bisa enggak sekali aja jangan bikin masalah!" ucap Revan dengan suara agak tertekan, ekspresinya mencerminkan kelelahan dan ketegangan setelah perjalanan panjang hari ini.
Hazel hanya diam, tetapi tatapannya menusuk ke dalam wajah Revan dengan tajam. Di dalam hati, dia merenung, "Gila, visual cowok gepeng memang bukan kaleng-kaleng."
Sebuah pikiran aneh menyelinap di benak Hazel. Apakah dia sudah masuk ke dalam dunia novel? Segalanya terasa terlalu dramatis seperti dalam cerita yang biasa dia baca atau tonton.
Namun, suasana di sekitarnya terasa nyata, bunyi langkah kaki Revan yang berat, angin malam yang berdesir lembut di sekitar mereka.
"Kamu denger, Kakak gak!" bentak Revan dengan nada yang semakin meninggi, mulai kehilangan kesabarannya.
Suaranya memecah keheningan malam, membuat Hazel tersentak kaget. "Jantung gue," batinnya, merasakan denyut yang berdegup kencang di dadanya.
Hazel mencoba menenangkan diri. Dia tidak yakin apakah ini benar-benar kejadian nyata atau hanya mimpi aneh yang dia alami.
Mungkin ini hanyalah fantasi yang terjadi dalam imajinasinya yang liar. Tetapi ketegangan di udara membuatnya semakin yakin bahwa ini bukanlah sekadar khayalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Hikam Sairi
baca
2024-08-19
1
halu
kalau bisa marah ngapain harus sabar?🤣🤣
2024-07-12
1
Kanian June
mampir ya Thor ...
2024-06-27
1