Perjuangan dan kesabaran seorang Langit Maheswara, berakhir sia-sia. Wanita yang selalu dia puja, lebih memilih orang baru. Niat hati ingin memberikan kejutan dengan sebuah cicncin dan juga buket bunga, malah dirinya yang dibuat terkejut saat sebuah pemandangan menusuk rongga dadanya. sekuat tenaga menahan tangisnya yang ingin berteriak di hadapan sang kekasih, dia tahan agar tidak terlihat lemah.
Langit memberikan bunga yang di bawanya sebagai kado pernikahan untuk kekasihnya itu, tak banyak kata yang terucap, bahkan ia mengulas senyum terbaiknya agar tak merusak momen sakral yang memang seharusnya di liputi kebahagiaan.
Jika, dulu Ibunya yang di khianati oleh ayahnya. maka kini, Langit merasakan bagaimana rasanya menjadi ibunya di masa lalu. sakit, perih, hancur, semua luka di dapatkan secara bersamaan.
Ini lanjutan dari kisah "Luka dan Pembalasan" yang belum baca, yuk baca dulu 🤗🥰🥰
jangan lupa dukungannya biar Authornya semangat ya 🙏🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hak Mutlak
Keluarga Langit pamit pulang ke kediamannya, kini di rumah Meta hanya menyisakan tiga orang. Kejora membereskan bekas makanan dan juga karpet, Ayra ikut membantu dan Meta memasak makan malam untuk ketiganya.
Semua sudah rapih kembali, makanan pun sudah tersaji diatas meja makan. Ketiganya makan malam bersama dalam keheningan, tidak ada yang bersuara kecuali dentingan sendok yang beradu.
Kejora membereskan sisa makanan, setelahnya dia pergi ke kamarnya karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam lebih. Kejora berdiri di depan jendela, cahaya bulan menyinari wajahnya dan beberapa bintang bertabur di malam yang begitu indah.
"Gladys, apa kamu sudah menyampaikan rasa rindu Kakak sama Abang dan Nenek? Jika suatu saat Kakak gak bisa penuhi semua permintaan terakhirmu, Kakak harap kamu gak kecewa ya, karena sejujurnya Kakak sudah lelah dan Kakak yakin kemarin ada empat pria yang nyeret Kakak ke mobil. Kamu tahu? Trauma Kakak kembali lagi, tapi beruntung sekali ada keluarga yang begitu baik sampai mengadakan pengajian untuk kalian disana." Kejora berbicara seolah bulan di atas itu adiknya, perlahan tangannya membuka jendela dan menikmati hembusan angin malam yang begitu sejuk.
Besok adalah hari pertama dia bekerja di Butik milik Laras, tubuhnya berbalik dan berjalan menuju laci dimana ia menyimpan ponsel milik Gladys. Kejora belum membuka isi ponselnya, saat di rumah sakit dia hanya membuka suratnya saja.
Di dalam amplop panjang berwarna putih, ada sebuah kertas berisikan tulisan dan juga sebuah buku rekening. Kejora membekap mulutnya sendiri melihat nominal yang tertera di dalam buku tersebut, jumlah uang yang terkumpul disana begitu banyak bagi anak seumuran Gladys yang masih duduk di bangku sekolah SMA.
Kak, jika kakak membuka surat ini berarti aku sudah berpindah alam.
Jangan terkejut dengan jumlahnya ya, itu adalah hak Kakak selama ini. Tolong buka dokumen di dalam hp aku, disana tertulis sebuah kebenaran yang sebenarnya. Tolong kakak pakai uang itu, aku tahu kakak kesulitan selama ini.
Semua kekayaan yang Papa miliki adalah punya Kakak, kebencian Papa itu semakin menjadi karena sejak kepergian Nenek semua harta peninggalan Kakek sudah menjadi atas nama Kakak. Kakak pasti tidak sadar, setiap kali Papa meminta Kakak menandatangani sebuah kertas di bawah cahaya remang-remang kamar Kakak. Itu adalah kertas persetujuan kalau kakak menyetujui apapun yang papa lakukan di perusahaan, termasuk menggunakan uangnya untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk membalikkan aset itu menjadi milik Papa seutuhnya tidak bisa. Semua harus tertulis dan juga pengacara harus melihat sendiri penyerahan itu, sedangkan pengacara kepercayaan Kakek menjalankan amanah Nenek untuk jangan pernah memberikan kepemilikan itu pada Papa karena semua memang sudah menjadi hak Kakak mutlak.
Di dalam tabungan tersebut ada jumlah uang senilai 100 juta, sebelum Gladys di bawa ke rumah sakit, dia menjual semua perhiasannya dan juga barang berharga miliknya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Ternyata sesayang itu adiknya pada Kejora, ketika membuka dokumen yang di maksud oleh Gladys ternyata ada sebuah surat pernyataan dengan tanda tangan Neneknya diatas matrai.
"Ya Allah, Nenek." Lirih Kejora membekap mulutnya agar isakannya tak terdengar oleh Ayra dan Meta.
Kejora memeluk hp milik Gladys, dia menatap layar dimana adiknya tersenyum manis. Kejora bangkit dari duduknya, dia menutup jendela dan membaringkan tubuhnya diatas kasur.
Diam-diam ternyata Gladys mencari tahu hal lain yang membuat kedua orangtuanya membenci kakaknya, padahal selama ini Kejora tak memiliki cacat cela yang bisa mereka jadikan alasan atas rasa bencinya. Kejora merupakan anak yang penurut dan pekerja keras, entah mengapa susah sekali mencairkan hati Hendra dan Eva yang sudah membeku itu. Gladys sudah berulangkali mencoba menyatukan benteng orangtuanya, tetapi lagi-lagi Syifa meruntuhkan tembok yang sudah mulai tersusun itu.
"Gladys, hiksss..." Lirih Kejora sampai ia tertidur dengan posisi memeluk foto Gladys.
*******
Langit tak mampu memejamkan matanya, waktu sudha menunjukkan pukul 11 malam. Padahal Langit tipikal orang yang mudah mengantuk, tetapi kali ini matanya begitu segar seakan menolak untuk tertutup.
"Ini gue kenapa sih? Padahal biasanya pelor banget, lanjutin kerjaan pun males banget." Gerutu Langit sambil menendang gulingnya.
Bayangan wajah Kejora tiba-tiba saja muncul di langit-langit kamarnya, Langit mengucek matanya memastikan apa yang di lihatnya. Bisa-bisanya gadi yang sudah beberapa kali ia tolong berkelebatan di dalam benaknya, padahal begitu dia berpacaran maupun dekat dengan Jennie sebelum memiliki status, tak pernah sekalipun bayangannya melintas begitu saja.
"Astagfirullah. Kudu mandi garam rukyah ini mah, udah ngaco banget pikiran gue." Monolog Langit.
Langit pun beranjak dari kasurnya, dia berjalan keluar dari kamar dengan harapan setelah dia memakan makanan dapat membuatnya kekenyangan da tidur. Namun saat hendak turun, langkah kakinya terhenti saat seseorang memegang pundaknya. Langit pun menoleh ke belakang, alangkah terkejutnya dia melihat sosok di belakangnya dengan pakaian serba putih sampai ke wajahnya.
"Aaaarrgggghhhh!"
Plukkk...
Posisinya setiap akan tidur sebagian lampu akan di matikan, mulut Langit di pukul dan juga di raup menggunakan tangan agar tak kembali menimbulkan suara.
"Kamu ini, tengah malam malah teriak-teriak kayak yang udah liat hantu aja." Tegur Laras.
"Ibu?"Langit memastikan suara yang di dengarnya memang suara ibunya.
"Iya, ini ibu. Kamu mau kemana jam segini? Bukannya tidur." Tanya Laras.
"Mau makan, Bu. Gak bisa tidur, kali aja kalo dah makan bisa tidur." Jawab Langit sambil berjalan menuruni anak tangga diikuti oleh Laras.
Laras masih memakai baju tidur putih dan juga masker yang menempel di wajahnya, walaupun umurnya sudah terbilang tua, dia tetap melakukan perawatan dari rumah.
"Yasudah, kamu tunggu aja di meja makan, biar Ibu yang buatin makanannya." Ucap Laras sambil berjalan menuju wastafel, dia membersihkan masker wajahnya terlebih dahulu, setelahnya dia mengambil udang dan juga bahan-bahan yang di butuhkan.
Sambil menunggu Ibunya memasak, Langit memainkan ponsel yang dibawanya. Karena tidak ada yang menarik, akhirnya Langit pun mematikannya dan melamun.
Beberapa menit berlalu.
Nasi goreng udang sudah siap untuk di santap, Langit masih melamun tanpa menyadari kehadiran Ibunya.
"Langit," Panggil Laras.
Tak ada respon apapun dari anaknya, akhirnya Laras menepuk pipi anaknya sampai tersadar dari lamunannya.
"Eh, Ibu. Udah jadi makanannya?" Tanya Langit.
"Tuh." Laras menunjuk kearah nasi goreng buatannya.
Langit pun menyantap makanannya, dia begitu lahap sampai Laras menggelengkan kepalanya.
"Ada yang sedang kamu pikirin, Nak?" Tanya Laras dengan lembut.
"Enggak sih, Bu. Kenapa emangnya?" Tanya Langit.
"Jangan bohong sama Ibu, Ibu tahu kamu seperti apa. Coba cerita sama Ibu, siapa tahu Ibu bisa memberikan solusi atau saran yang bisa bantu kamu." Ucap Laras.
Sejujurnya, Selain bayangan Kejora yang tiba-tiba menghalau jam tidurnya dan memenuhi pikirannya. Langit juga kepikiran dengan Jennie yang hampir tiap hari mencarinya di kantor, dia risih karena setiap melihat wajah Jennie luka itu kembali perih walaupun dengan apik Langit menyembunyikannya.
Langit meletakkan sendok dan garpunya, makanannya juga tersisa sedikit lagi setelah dia menimang untuk bercerita pada Ibunya.
"Jennie sering datang ke kantor, Bu. Jujur saja, Langit gak kuat saat sakit itu datang lagi, kebersamaan kami itu dari kecil dan itu membuat Langit yang susah untuk keluar atau move on." Ucap Langit dengan pelan.
Laras paham apa yang sedang di pikirkan oleh Langit, tapi dia sendiri akan mencari tahu apa tujuan Jennie datang menemui Langit.
"Memang tak mudah untuk melepas apa yang sudah pernah kita jalani, segala suka duka sampai puncaknya rasa sakit yang kita terima dan kita sendiri merasa Tuhan itu tidak adil. Tapi kamu percaya kan, kalau Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya, dengan di perlihatkan kebenaran sebelum hubungan kamu melaju jauh ke jenjang sakral yang tidak boleh di permainkan. Itu berarti Tuhan percaya kamu bisa melewatinya dan mendapatkan gantinya yang lebih baik lagi, jangan pernah sekalipun kamu melibatkan orang baru untuk mengobati lukamu dengan masa lalumu, karena itu akan menyakitinya. Sekarang kamu coba kubur semua kenangan itu dengan pelan, Ibu juga dulu mencoba berdamai dan juga mengikhlaskan apapun luka yang Ibu terima. Setelah luka Ibu perlahan terobati, Ibu mencoba menerima orang baru dan merakit bahagia sampai saat ini kita tetap bersama membangun keluarga impian kita." Ucap Laras mengusap rambut Langit, se-menyebalkan apapun Langit sebagai anak, Laras pasti tidak mau anaknya terluka.
Langit menundukkan kepalanya, dia mengangguk pela sebagai tanda kalau dia setuju dengan ucapan Ibunya. Sepertinya usahanya belum maksimal, dia harus segera membuang jauh kepahitan itu agar disaat dia melihat sumber lukanya pun rasanya sudah hambar.