Kenangan mungkin tak selalu berisi manis.
Rasa pahit akan selalu menyertai.
Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keping ke-24
Vian menepuk jidatnya kuat-kuat. Harusnya ia tahu Venus akan mengajaknya ke tempat Amira dan Nando berada. Memang lebay jika kepalanya berdenyut nyeri tiap melihat Amira. Tapi itulah yang saat ini kembali dialaminya.
“Kamu benar-benar mau membunuhku?” Vian menepuk jidatnya sekali lagi. Berharap sakit kepalanya tidak makin menjadi dan cepat hilang kali ini. “Dari mana kamu tahu keberadaan mereka di sini?”
“Dari Nando sendiri. Semalem dia telepon aku, bilang mau ke sini sama Amira. Makanya aku buru-buru pulang dari Surabaya, naik kereta,” terang Venus. “Please, Vian. Aku janji ini yang terakhir kali.” Nada memohon Venus terdengar begitu memelas, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan sebaliknya. Alisnya mengerut tajam, terlihat jelas sedang menahan amarah.
Vian tak punya pilihan. Meski sesak karena cemburu, bisa melihat Amira lagi setidaknya lumayan menenangkan hati.
Tampak Nando sedang menarik mesra tangan Amira menuju sebuah resto. Sedangkan mobilnya terparkir di tepi jalan. Tiba-tiba Amira menghempas tangan Nando, air mukanya terlihat kesal.
“Aku masih kenyang, Ndo. Aku mau pulang.”
Nando menoleh pada Amira. “Tapi aku pengen kamu nemenin aku lagi hari ini.”
“Akunya nggak mau.” Mata Amira menatap ketus pada pemuda blazer abu-abu di hadapannya.
Nando menghela napas, berusaha sabar dengan sikap keras Amira yang kemarin-kemarin juga ditunjukkan padanya. “Kenapa kamu... nggak bisa sekali ini aja terima cintaku?”
Deg! Jelas sekali Venus dan Vian melotot bersamaan. Venus menoleh pelan pada Vian. “Kamu juga dengar?” tanya Venus. Vian mengangguk. “Kita nggak salah dengar kan?” tanya Venus sekali lagi. Kemudian Vian menggeleng.
Seketika ada aliran rasa lega yang meresap di dalam dada mereka berdua. Dasar, kompak labilnya.
Amira terdiam cukup lama. Ia hanya bisa menunduk menatap kosong ke arah pavingan, tak mampu menatap ke mata cokelat Nando yang alami hingga membuatnya begitu tampan. “Sorry...” Hanya itu yang saat ini bisa Amira ucapkan.
Nando kembali menghela napas. “Aku nggak peduli kayak gimana masa lalumu.” Ya, Amira memang pernah sengaja menceritakan masa lalu kelam itu ketika Nando menembaknya.
“Aku cinta sama kamu, Ra,” tegas Nando dengan volume suara yang sedikit tinggi dari sebelumnya. “Aku emang duda, aku emang nggak bisa mengurus dengan baik rumah tanggaku sebelumnya. Tapi... tapi cintaku sama kamu tulus...”
Sungguh Amira tidak ingin menyakiti perasaan pria manapun lagi. Cukup ia terbebani dengan masalah tragis yang menimpa Vian. Ah, tiba-tiba saja pemuda baik itu terlintas di benaknya lagi. Tidak akan bisa Amira menghapus atau melupakannya begitu saja.
“Tolong jangan kirim bunga-bunga anyelir dan surat ucapan cinta ke kost-anku lagi.” Amira berusaha tersenyum.
Nando tersentak dengan permohonan Amira itu. “Bunga... anyelir?” tanyanya, lirih.
“Ya... tolong jangan kirim lagi.”
Nando berusaha bersikap sewajarnya. “Ke—kenapa nggak boleh kirim lagi? Kamu bener-bener terganggu dengan itu?”
“Aku cuma nggak bisa nerima bunga tanda cinta kalau itu semua dari kamu!” Muak. Amira tidak bisa lagi merangkai kata dengan semestinya. Ia tak suka dipaksa mencintai seseorang yang memang tidak bisa dicintainya, meski setampan dan sekaya apapun dia.
“Sorry... Aku udah nggak sematre dulu. Sekaya dan sesukses apapun kamu, aku nggak bisa jatuh cinta sama kamu.”
“Jadi... kamu maunya bunga itu dikirim oleh siapa?” Nando membenahi blazernya. Tampak tangannya gemetaran.
“Ah, itu... Aku nggak bisa bilang.”
“Vian? Iya?” celetuk Nando tiba-tiba. “Hahahaha! Amira, Amira... mungkin aja bunga dan surat cinta itu emang darinya. Karena aku nggak pernah sekalipun datang ke kost-mu lagi sejak kamu lebih peduli padanya yang mendadak pingsan di Matos kemarin lusa.”
“Apa?” Badan Amira melemas seketika.
***
Tidak. Mustahil Vian yang mengiriminya bunga anyelir itu setiap hari. Yang tahu alamat kost-nya hanya Nando. Karena Nando lah yang mencarikannya tempat mendapatkan privasi ini.
“Woi, Non. Dapet bunga lagi tuh.” Anti melempar tumpukan jemuran Amira yang tadi buru-buru diangkatnya karena mendadak hujan lebat di luar sana.
Amira nyaris berteriak jika Anti tidak segera menyambung kalimat, “Lain kali lebih peduli dong sama jemuran sendiri. Lihat, aku basah kuyup gini...”
Amira menunduk menatap nanar tumpukan jemurannya. Kemudian beralih menatap Anti. “Maaf, ya. Makasih...” Amira tidak tahu lagi harus berkata apa.
“Yo.” Anti tak begitu peduli. Ia lebih memilih keluar kamar Amira untuk berganti baju segera. “Oh, iya...” Anti melongokkan kepala. “Nanti habis makan malam kamu datang ke kamarku.”
“Dih, apa-apaan itu. Nyuruh-nyuruh orang seenaknya,” kesal Amira.
“Kamu tuh nggak tahu terimakasih ya. Aku basah-basahan di bawah ujan demi ngangkat jemuranmu biar nggak kebasahan, tapi kamu kuminta datang ke kamarku reaksinya nggak sopan gitu.”
“Aku kan nggak nyuruh kamu angkatin.” Amira menarik selimutnya sampai menutupi mata.
“Hoi! Kamu tuh... ck, ah! Beneran nggak bisa diajak akrab ya?” Anti menggebrak pintu kamar Amira.
“Iya, iya. Nanti aku ke sana!”
***
Tawa Amira belum reda sejak beberapa menit lalu. Deretan kata yang menjadi hasil ketikan Anti di monitor laptop silver itulah yang membuatnya terpingkal tak terkendali. Anti hanya bisa duduk meringkuk di pojok ranjang sambil bersungut.
“Ngakak aja teroooos!” begitu Anti menimpali.
Amira berusaha kuat menghentikan tawa saat dirasa perutnya kaku dan melilit. “Aduh... aduh, maaf. Beneran ini mau diikutin lomba? Hahahaha!” Amira kembali tertawa.
Kedua sudut bibir Anti melengkung ke bawah. “Kamu tuh ngetawain kata-katanya, atau cara ngetiknya?”
“Dua-duanya! Hahahaha!” Amira benar-benar perlu disambit sendal sepertinya.
“Yaudah, buruan benerin. Jangan ketawa mulu napa?!”
Amira melambaikan tangan di depan laptop Anti. “Nyerah, nyeraaaah!”
“Kamu pikir ini acara Dunia Lain?”
Amira menggigit bibir bawahnya. “Oke. Aku cuma akan bantu kamu benerin format ketikannya, biar nggak amburadul kayak gini lagi. Tapi soal kata-kata puisinya...” Amira mengenakan kacamata yang tadi sempat dilepasnya, ia baca puisi buatan Anti lagi dengan seksama. “Kupikir ini udah oke.”
“Yakin?” Berbeda dengan saat marah tadi, kini Anti hanya bisa mendelik di balik bantal gambar Narutowati. Memang baru kali ini ia membuat puisi, yah, tentu untuk tujuan mendapat banyak uang jika menang di lomba puisi yang sedang ia ikuti.
“Udah bagus, kok.” Amira menarik kursi yang ia duduki supaya lebih nyaman saat mengetik. “Ngomong-ngomong... kenapa kamu tertarik ikut lomba begini? Kamu bilang ini diadain di facebook kan? Kamu nggak takut, kalau ternyata ini penipuan dan kamu menang malah nggak dapet apa-apa trus mereka ambil karyamu buat di jual ke lain media?”
“Kok kamu ngomongnya gitu?” Kening Anti mengerut.
“Soalnya aku pernah liput berita penipuan yang sama,” jawab Amira.
Anti turun dari ranjang dan berdiri di sebelah Amira sambil punggungnya menyandar di dinding. “Kamu bisa dituntut Kepala Sekolahku kalau coba bikin isu buruk soal lomba yang beliau adain ini.”
“Hee?” Amira menatap Anti tak percaya. “Jadi maksudmu....”
“Ini lomba dari SMA-ku, dan Bu Kepsek yang jadi penanggungjawabnya. Jadi pasti terpercaya. Mereka buat lomba ini untuk umum, makanya disebar di dunia maya. Kalau mau, kamu ikut aja.”